Sebuah Perpisahan

2 0 0
                                    


  Satu tahun berlalu, kami naik kelas delapan. Murid-murid kembali diacak. Aku melihat daftar siswa, aku ditempatkan di kelas 8B dan Iky di kelas 8C. Sedih sih, karena tidak menjadi classmate lagi. Tapi tak apa, aku akan selalu berusaha berada disampingnya. Menjadi teman baiknya. Meski sudah menjadi teman baik, Iky masih saja menyembunyikan penyakitnya padaku. Aku berusaha untuk positive thinking, mungkin itu memang privasinya.

   Kami mengucapkan salam sampai jumpa lagi karena untuk 3 minggu kedepan kami menjalani masa liburan. Aku dan Iky saling bertatapan, dia memberiku senyuman manisnya, begitupun aku. Entah kenapa aku merasa hal buruk akan terjadi.
Tiga minggu, aku habiskan waktuku untuk berdiam diri dirumah. Mengasah bakatku dan bermain game dengan temanku yang lain. Sayangnya Iky tidak suka bermain game, dia hanya suka membaca buku. Aku akui dia anak yang pintar. Aku kangen. Aku ingin mengobrol dengan Iky, aku ingin memberinya sebuah pesan. Tapi dia tidak mempunyai hp, agak aneh sih, untuk jaman sekarang, manusia mana yang tidak memiliki hp. Sekarang semuanya serba elektronik.
Tak menyangka bahwa waktu secepat itu berlalu. Sudah tiga minggu lamanya aku berdiam diri di rumah. Tak sabar ingin bertemu Iky. Aku bersiap-siap memakai seragam sekolahku. Aku menatanya dengan rapi, setelah itu memakan sarapan yang dibuat oleh ibuku dan segera berangkat ke sekolah. Aku menuju ke ruang kelasku.
Suasananya masih belum terlalu ramai, aku segera menduduki kursi barisan ketiga dari depan.

   Tak berapa lama kemudian kelasku mulai ramai dan ada seseorang yang duduk disebelahku, dia adalah teman kelas 7-ku dulu. Namanya Andi. Dia mantan ketua kelas 7 dulu dan dia anak yang sangat rajin, bagaimana tidak, dia anak seorang guru di sekolah ini, dia juga teman yang menemaniku bermain game saat liburan. Namanya juga laki-laki, hobi bermain game itu, sudah menjadi hobi mayoritas anak laki-laki.

   Aku menuju keluar kelas dengan maksud mencari Iky. Andi yang tau maksudku segera berkata. "Oh ya Key, kata ibuku tadi si Iky izin tidak masuk sekolah, kalau tidak salah alasannya sakit apa gitu, aku lupa nama penyakitnya, pokoknya rumit gitu nama penyakitnya, aku hanya hafal kata disorder? Iya, itu yang aku ingat,"
Disorder? Penyakit apa itu? Nama penyakitnya juga rumit. Wahh, pasti ini penyakit yang parah. Duh, kok bisa sih aku tidak tau apa-apa tentang teman baikku. Aku mengurungkan niatku untuk mencari Iky. Aku lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan berpikir, penyakit apa yang Iky derita. Aku berniat mencari tau segala penyakit saat aku sampai rumah nanti.

   Kelas sudah dimulai. Kami berkenalan satu sama lain. Entahlah, teman-teman kelas 8 ku ini orangnya mudah berteman. Aku yakin dimasa ini temanku pasti akan lebih banyak dibanding kelas 7. Sepulangnya aku dari sekolah, tubuhku terasa sangat kelelahan. Baru juga masuk sudah mendapat pr mengarang saja. Untung saja aku handal dalam membuat cerita.
Saking bersemangatnya aku, aku merasa sangat lelah dan akhirnya tertidur setelah prku selesai. Aku lupa akan niatku tadi. Aku harap Iky besok masuk sekolah agar aku bisa menanyainya langsung.

   Keesokan hari telah tiba. Aku berangkat lebih siang daripada biasanya,berharap aku bisa bertemu Iky di gerbang sekolah. Syukurlah harapanku didengar oleh Tuhan. Tuhan mengabulkan harapanku. Kami bertemu di gerbang sekolah dan saling mengobrol kembali. Aku tak lupa akan tujuanku untuk menanyai alasan kemarin dia tidak masuk sekolah. Katanya dia akan menceritakan semuanya saat istirahat. Aku menyetujuinya.

   Bel istirahat telah berdering, aku sesegera mungkin menuju ke kelas Iky. Dia menungguku di tempat duduknya. Dia tak mempunyai teman sebangku, kasian sekali teman baikku ini. Dia berkata sejujurnya bahwa dia mengidap penyakit Anxiety Disorder, suatu keadaan dimana kamu mempunyai rasa kekhawatiran berlebih dan juga dia mengalami sedikit gejala depresi . Kemarin dia pergi ke psikiater karena keadaannya makin parah.

   Dia mengalami sesak di dada, cemas dan lain-lainnya. Aku yang mendengarnya ikut sedih. Aku semakin sedih ketika dia mengatakan bahwa penyakit ini tidak bisa disembuhkan atau dihilangkan total begitu saja. Dia tersenyum lebar padaku.
"Jangan khawatir yaa, kalau ada kamu, mungkin penyakit ini bisa berkurang kok. Kamu jangan khawatir," aku berusaha tersenyum dan memberi semangat untuknya dan kami saling mengobrol kembali sampai waktu istirahat selesai.
Seiring waktu manusia akan berubah. Bodohnya aku yang sudah tahu bahwa Iky mengidap penyakit yang parah, aku malah semakin jauh dengannya. Entah karena kita beda kelas jadi sulit untuk mengobrol bersama, entah itu temanku yang semakin banyak, atau keadaan yang menghalangi kami bertemu. Sampai suatu saat hal yang tidak kuinginkan terjadi.
Akhir-akhir ini dia tidak masuk sekolah tanpa sepengetahuanku karena aku sibuk sendiri. Aku khawatir tapi tak tau harus menghubungi siapa. Aku berniat untuk menghubungi orang tuanya dengan meminta nomor teleponnya ke ibu Andi. Tapi sayang ternyata nomor kedua orang tuanya sudah ganti. Aku tak menyerah, aku mencari wali kelas 8C untuk meminta nomor orang tua Iky. Beruntungnya aku mendapat nomor telepon itu.

   Sesampainya di rumah aku langsung menghubungi nomor tersebut dan orang tuanya mengerti bahwa aku ingin bertemu dengan anaknya itu. Aku sesegera mungkin pergi menuju alamat rumah yang telah diberikan. Aku mengetuk pintu rumahnya. Datanglah seorang perempuan dengan baju babydoll yang bergambar pelangi di bagian depan dengan lengan panjang dan celana panjang. 'Iky, itu Iky,' batinku. Dia membukakan aku pintu dan segera aku memeluknya. Dia terlihat seperti orang normal pada umunya hanya saja lebih lemas dari biasanya, tapi batinnya yang sakit.

   Dia bercerita kembali, dia merasakan sakitnya terus-menerus terutama pada malam hari. Dia sudah tak tahan lagi, sudah 2 kali dia mencoba untuk membunuh dirinya sendiri, gejala depresinya pun semakin bertambah dan lebih parahnya lagi, ada penyakit yang tiba-tiba datang tanpa permisi. Dia mengidap penyakit meningitis. Dia membuka kain yang menutupi kulit tangannya itu. Terlihat ruam merah disana. Salah satu tanda-tanda penyakit meningitis.
Aku tak tau harus bereaksi apa. Tapi hatiku menangis melihat keadaannya ini. Dia memberi senyuman manisnya padaku. Dia juga memberi buku coretan-coretannya yang pernah ia beri saat kelas 7. Dia berkata, "bacalah saat kau sampai di rumah,". Aku mengangguk. Dia kembali memberi senyumannya dan segera menyuruhku pulang agar bisa membaca buku itu sesegera mungkin. Sempat aku menolaknya tapi aku tahu, dia butuh istirahat sehingga aku menurutinya.

   Sesampainya di rumah, aku membaca buku tersebut denga seksama, aku menangis. Tetesan air mataku bercucuran dan terserap oleh buku tersebut. Diakhir halaman dia menggambar pelangi dengan warnannya yang lengkap. Dia juga memberikan kata-kata yang cantik, isinya 'Keyala atau Ai, bertemu pertama kali di taman dan bertemu kembali di SMP. Dia menjadi teman baikku sekaligus pelangiku. Aku hafal sebutan anak-anak kelas untukku dan dia. Dimana ada aku, di situ ada dia. Pelangi itu menarik karena warnanya, pelangi sangat akrab dengan warna. Maka aku simpulkan, bahwa aku warna dari sang pelangi itu. Selalu bersama dan tak terpisah. Jika warna pelangi hilang, aku yakin sang pelangi bisa kembali berwarna dengan kehadiran hujan. Setelah hujan selesai dia mendapat warna yang baru dan kembali menarik orang-orang.' Aku membacanya dan menangis. Aku tahu ini hari terakhir dia hidup. Disaat bersamaan, pesan dari orang tuanya masuk. Mengabarkan bahwa sang warna dari pelangi itu telah menghilang untuk selamanya. Hujan akan datang dan menggantikan warna yang telah menghilang dari sang pelangi. 

                                                                                                - The End-

Pelangi Yang Kehilangan WarnanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang