"Silakan, pesanannya..." Suara Adeline melemah saat gadis itu menatap wajah seorang pria yang menempati meja nomor lima belas.
Waktu yang sedang ia jalani rasanya seperti terhenti seketika, bahkan udara di sekitarnyapun serasa menghilang begitu saja, membuat dada Adeline terasa sesak bersamaan dengan degup jantungnya yang kian menggebu.
Dengan tangannya yang sedikit bergetar, gadis dengan apron coklat yang melekat pada tubuhnya itu dengan cepat meletakan dua piring nasi goreng dan dua gelas teh hangat yang ia bawa di atas nampan.
Kemudian tanpa menunggu jawaban sang pelanggan, kaki Adeline melangkah dengan cepat, menjauhi dua pemuda dan pemudi yang baru saja dia temui.
Adeline menyandarkan tubuhnya di balik dinding bercat coklat, napasnya terasa berat, membuat Gea-rekan kerjanya menatap Adeline kebingungan.
Kebetulan suasana kafe sore ini lumayan sepi, membuat Gea yang sedang senggang bisa menghampiri Adeline, kemudian menepuk pundaknya.
"Lo kenapa, Del?" tanya Gea.
Adeline berdeham, gadis dua puluh tahun itu menggeleng seraya menetralkan degup jantungnya yang perlahan berdetak normal.
"Oh, nggak, kak. Aku gak papa," ucap Adeline sambil menunjukkan senyum, guna meyakinkan Gea.
Rekannya itu mengangguk, "Yaudah, kalo gitu. Boleh tolong cuciin piring, Del?"
"Eh, boleh, Kak. Emang Mas Bayu kemana?"
"Lagi ke kamar mandi dia, dari tadi belum balik-balik."
Adeline mengangguk paham, gadis itu menyerahkan nampan yang masih ia pegang, kemudian berjalan ke tempat mencuci piring dengan pikiran yang masih berbelit kacau, layaknya benang yang kusut.
Gadis itu menghembuskan napas pelan. Bisa-bisanya dia kembali dipertemukan dengan seseorang yang sedang mati-matian untuk dia lupakan. Dan hal yang paling menyakitkannya lagi, sosok itu sedang bersama perempuan yang entah hanya teman biasa atau ... teman hidupnya.
Hal itu tentu saja membuat hati Adeline terasa disentil.
Sudah hampir dua tahun Adeline tidak dipertemukan lagi dengan lelaki itu, dan dua tahun juga Adeline berusaha agar perasaan yang sudah ia kubur dalam-dalam tidak kembali bangkit ke permukaan hanya dengan mendengar kabarnya atau bahkan namanya.
***
Sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Setelah berpamitan dengan rekan-rekan kerjanya, Adeline berdiri di depan kafe tempat ia bekerja, matanya fokus menatap layar ponsel, lalu sesekali memperhatikan sekitarnya, menunggu ojek online pesanannya datang.
Perempuan itu membuang napas kasar. Lagi-lagi bayangan lelaki yang ia temui sore tadi terus mengganggu pikirannya, membuat kepalanya kembali memutar kisah-kisah masa lalu yang bahkan belum sempat mereka mulai.
Adeline tersenyum miris.
Ada rasa sesal yang mengendap di hatinya.
Ada beberapa andai yang kini kembali ia rapalkan di pikirannya.
Tentang masa sekolah yang ia habiskan untuk mencintai sosok yang pada akhirnya tidak bisa ia miliki.
Tentang andai saja Adeline sedikit sabar waktu itu.
Dan masih banyak lagi cuplikan-cuplikan kisah yang sudah lalu, kembali terputar acak di kepalanya.
Lamunan Adeline buyar ketika sebuah tangan menepuk pundaknya, gadis itu kontan menoleh, sedetik kemudian ia terkejut saat matanya bertabrakan dengan bola mata yang dulu sangat senang ia pandangi.
"Raja?"
Lelaki itu tersenyum.
Senyuman hangatnya masih sama seperti dulu.
"Adeline," ucapnya.
Hening beberapa saat, baik Adeline dan lelaki yang dipanggil Raja itu masih bergelut dengan pikirannya masing-masing.
"Apa kabar?"
Adeline tertegun. Pertanyaan Raja membuat tubuh dan pikirannya membeku.
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Dan Kamu, Bukan Kita
Teen FictionAdeline dan Raja saling mencintai, seharusnya mereka tidak memiliki alasan untuk tidak bersama. Semua orang juga tahu kalau mereka terlihat begitu bahagia ketika sedang berdua. Namun, untuk memulai sebuah hubungan, masih ada sepucuk keraguan yang te...