bagian 1

7 0 0
                                    

"Duh, panas banget, ya, perasaan hari ini."

Adeline melirik perempuan yang ada di sampingnya dengan tatapan sinis, merasa di sindir, gadis itu menghela napas lalu menghentikan aktivitasnya memperhatikan dua remaja yang sedang berduaan di meja kantin sebrang sana.

Gadis berambut sebahu itu menyuapkan kembali ketoprak yang sempat ia diamkan beberapa saat, membuat Sophia yang berada di sampingnya tertawa melihat wajah malas Adeline.

"Makanya, Del, kalo suka tuh bilang. Jangan diem-diem aja," kata Sophia.

"Lo aja, deh, yang bilang sana." Adeline menunjuk lelaki di sebrangnya dengan dagu. Mendengar itu, Sophia segera berdiri dan hendak menghampiri pria itu, namun detik berikutnya Adeline menahan Sophia.

"Gue becanda, anjir!" Wajah Adeline terlihat panik, sebab selama ini yang tahu tentang perasaannya kepada pria yang sedang ia bicarakan hanya Sophia, itu juga Adeline baru memberi tahu Sophia sekitar dua hari yang lalu.

Gadis itu memilih merahasiakan perasaannya, sebab dia tidak mau hal yang sebelumnya terjadi, kembali terulang; menyampaikan perasaannya, kemudian dijauhi.

Ia membiarkan dirinya menikmati perasaannya sendirian. Jatuh cinta sendirian, berdebar sendirian, dan merasakan kecewa sendirian.

Sophia mendengus, "Gimana, sih. Baru aja gue mau bilangin," ucapnya sambil kembali duduk di samping Adeline.

"Gue kasih tau, nih, Del," lanjut Sophia, tangannya menyentuh pundak Adeline. "Kalo lo diem-diem aja, itu si Raja keburu jadian sama Anika. Emang lo mau?"

Adeline terdiam sejenak. Kepalanya berusaha mencerna ucapan Sophia.

Memangnya siapa yang mau orang yang dicintai malah bersanding dengan perempuan lain?

Adeline memang sudah tidak asing lagi mendengar kedekatan Raja dan Anika. Tapi, untuk mengikuti perkataan Sophia, rasanya gadis itu terlalu takut, mengingat dirinya tak secantik Anika, sudah pasti Raja akan mengabaikannya.

"Biarin, lah. Jodoh gak bakal kemana, Sop."

Sophia mendelik, gadis itu sudah tidak mengerti lagi bagaimana cara memberitahu Adeline bahwa apa yang dia pikirkan belum tentu terjadi.

"Iya, deh. Terserah." Sophia menyeruput es jeruk yang berada di genggamannya, " Tapi kalo mereka beneran jadian, gue bakal siapin ember buat nampung air mata lo."

Baru saja ingin menanggapi ucapan Sophia, Adeline menoleh ke belakang sebab seseorang menyerukan namanya.

Beberapa langkah di belakang Adeline, lelaki dengan seragam yang dikeluarkan itu mendekat.

"Pulang sekolah jangan lupa latihan di tempat biasa, ya!" ucap pria dengan mata sayunya.

Adeline tersenyum dan mengangguk sebelum lelaki itu pergi dan menghampiri Raja di meja sebrang sana.

Memiliki suara yang bagus, Adeline mendapat kepercayaan untuk mewakili kelasnya di acara pentas seni yang diselenggarakan oleh sekolahnya, bersama Dipta yang mahir dalam bermain alat musik.

"Itu anak gak tidur berapa malem, deh. Matanya rapat amat," ucap Sophia setelah Dipta berlalu dari hadapannya.

—oOo—

Sudah terhitung satu jam Adeline dan Dipta berada di ruang musik. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore dan sudah saatnya mereka untuk pulang.

Adeline meraih ransel berwarna merah mudanya yang tergeletak di sofa.

"Dip, gue pulang duluan, ya," ucap Adeline. Dipta yang masih merapikan alat musiknya menoleh sambil mengacungkan jempolnya.

"Thanks, ya, Del. Hati-hati pulangnya," kata Dipta.

Adeline mengangguk, baru saja gadis itu membuka pintu, sosok yang sejak tadi memenuhi pikirannya kini sedang berdiri tepat di hadapannya.

Raja tersenyum, sementara Adeline berdiri dengan wajah kaget disertai jantungnya yang berdegup kencang sampai rasanya ia bisa mendengar suara jantungnya yang seperti menjerit di dalam sana.

Gadis itu meremat tali ranselnya, menelan ludah sebelum ia memberanikan diri menatap mata pria yang sangat ia puja.

"Eh, Adel," kata Raja. Lelaki itu diam sebentar, sedetik kemudian ia merogoh sesuatu yang berada di saku celana abunya.

"Kebetulan. Ini ada titipan dari Maudy." Raja menyerahkan satu lembar kertas yang ternyata isinya adalah undangan pesta ulang tahun temannya—Maudy.

Adeline masih membeku, matanya beralih menatap kertas tersebut kemudian segera mengbilnya.

"O–oke, makasih, ya, Ja," kata Adeline, sedikit gugup.

Raja mengangguk, "Diptanya masih di dalem?"

"Iya, kayaknya masih nyantai di dalem, Ja. Mau gue panggilin?"

"Eh, enggak usah. Gue masuk aja ke dalem, sekalian mau ngadem juga." Raja tersenyum, lalu pria itu melepas sepatunya.

"Yaudah, kalo gitu gue duluan, ya, Ja," ucap Adeline, gadis itu mengambil sepatunya yang berada di atas rak, ia memakainya kemudian berlalu dari hadapan Raja.

Adeline menarik napas dalam-dalam, gadis itu berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih tidak karuan.

Selama hampir dua tahun diam-diam menyukai Raja, ini adalah kali kedua Adeline berbicara dengan lelaki itu, sebab setiap ada kesempatan untuk mengobrol, Adeline selalu menghindar. Gadis itu terlalu takut jika ia tidak bisa mengontrol dirinya, lalu hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, kemudian Raja malah tak menyukainya.

Gadis itu menatap kartu undangan yang tadi diberikan Raja.

Acaranya akan diadakan dua hari lagi. Adeline sebenarnya tidak biasa pergi ke acara seperti ini, apalagi ia dan Maudy tidak terlalu dekat. Gadis itu masih menimbang-nimbang untuk pergi atau tidak.

Tapi Raja pasti akan datang, karena lelaki itu adalah teman Maudy sejak kecil.

Mengingat itu, Adeline tersenyum tipis. Selama ini gadis itu hampir tidak pernah melihat Raja di luar sekolah, sebab rumah mereka yang lumayan jauh.

Jadi, kapan lagi melihat Raja tanpa seragam?

tbc.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Dan Kamu, Bukan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang