Hidup itu sebuah kombinasi
Karena, beda adalah cara Tuhan mencipta keindahan yang sesungguhnya***
Manusia tidak bisa memilih, di belahan bumi mana ia ditempatkan, di keluarga mana ia dilahirkan, dan di lingkungan seperti apa ia dibesarkan. Sebagai manusia, mereka hanya bisa mengusahakan setiap jalan terbaik untuk mencapai sebuah tujuan dalam asa bernama kehidupan.
Terlahir dari keluarga abdi negara seorang gadis yang sudah memasuki usia remaja itu tumbuh menjadi gadis disiplin dan mandiri. Bagaimana tidak, setiap pagi ia akan dibangunkan sebelum fajar menyapa bumi. Menjalankan kewajiban sebagai hamba kemudian mempersiapkan diri untuk menyapa esok hari. Begitulah ayah mendidik anak-anaknya.
Ibu adalah seorang desainer. Beliau punya butik juga usaha buket bunga karena kecintaannya dengan tumbuhan indah satu itu. Dan kegemarannya dengan bunga, kini menurun pada anak gadisnya. Tak jarang ibu membawa beberapa tangkai bunga hanya untuk di pajang di beberapa vas di rumah. Satu di ruang tamu, satu di pojokan ruang keluarga, di kamar ataupun di dapur dekat kulkas pintu dua. Ibu juga punya taman yang cantik di belakang rumah. Dengan dominasi bunga matahari kesukaan gadis mungil bernama Raina Almira.
Pagi hari akan selalu ramai dengan keributan anak gadis dan putra bungsunya. Dulu ada satu lagi biang jail di rumah itu, tapi sayang, Tuhan lebih menyayanginya, menginginkan si sulung kembali lebih cepat menghadap daripada yang lainnya.
Seperti pagi ini, selesai sarapan semua orang di rumah kecil bercat hijau muda itu segera menyambut aktivitasnya masing-masing. Raina ke sekolah dengan sepeda merah muda kesayangannya. Ayah yang sedang mendapat cuti dengan sabar menunggu Fajar yang selalu gontai saat berjalan menuju teras rumah. Dan Ibu yang masih sibuk dengan kran air untuk menyiram tanaman hias di halaman rumah. Niat hati ayah akan mengantar anak-anaknya, tapi gadis kepala batu seperti Raina akan kekeuh memilih sepeda kesayangannya.
“Dek, ayam!” teriak Raina kala mendapati Fajar keluar rumah dengan wajah kusut karena kantuk yang masih setia bersarang di matanya.
“Mana ayam, mana ayam!” Fajar kaget setengah mati. Pasalnya ayam menjadi hewan yang sangat ia takuti, sejak kejadian matanya di patuk karena ia mengganggu ayam betina yang sedang bertelur di tempat Mbah di desa, “Mbak Nana, ih! Mana ada ayam di sini?!” kesal Fajar menghentakan kakinya lucu dengan bibir manyun beberapa centi.
“Makanya kalau jalan itu matanya di buka. Beruntung Mbak kagetin kamu sebelum kamu lewat kolam itu. Kalau enggak? Udah renang bareng ikan-ikan kamu. Hahaha,” gelak Raina melihat adiknya yang terkejut karena ulahnya.
“Kamu ini ya, Mbak. Sehari aja nggak gangguin adik kamu sepertinya hidup kamu hambar gitu, ya?” Ibu yang sedari tadi sibuk dengan kegiatannya pun buka suara.
“Sudah-sudah. Mbak berangkat, gih. Udah ditunggu teman kamu itu di luar,” sambung Ayah yang baru saja keluar dari memanasi mobil.
“Siap, Ayah,” Raina segera meraih dan mencium tangan keriput Ayah, hal sama ia lakukan juga kepada Ibu, “salim dulu,” kali ini giliran Fajar yang harus mencium tangan kakaknya.
“Nggak mau, Mbak nakal,” ujar Fajar bersungut membuang muka.
“Dek, nggak boleh gitu. Cepat salim,” ucap Ibu tanpa mengalihkan pandangan dari tanaman-tanaman di depannya.
Merasa dibela, dengan tampang jemawa Raina menaik turunkan alisnya, “Kalau kamu nggak salim sama Mbak, nggak berkah sekolahmu nanti,” bisiknya di telinga lelaki kecil berseragam putih merah itu.
Dengan gerak cepat, Fajar menuruti permintaan Raina, karena memang sudah menjadi kewajiban mencium tangan orang-orang yang lebih tua. Satu bentuk unggah ungguh kepada orang tua, begitu Mbah selalu berkata ketika lebaran rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Raina
General FictionDan dari sekian banyak makna tentang kota Jogja, istimewanya kota ini menurut Raka adalah karena takdir mempertemukannya dengan sosok yang saat ini tengah duduk di sampingnya. Sosok berharga yang ingin sekali ia jaga seperti kaca. Tak akan membiarka...