2. Tragedi Proposal Pensi

12 1 5
                                    


Jika memang sendiri adalah cara terbaik untuk mendamaikan diri
Lalu bagaimana dengan hati yang terus berkecamuk menginginkan solusi?

***

"Aditya Surya Mahesa! Di mana kamu?!" teriakan itu jelas mengejutkan penghuni ruang OSIS yang masih lengang.

Pagi ini, dingin masih setia berkarib dengan tetesan embun yang bertengger di ujung dedaunan halaman sekolah. Sejenak, langit tampak mengabu, pertanda kemarau sudah di ujung waktu, sedang rintik belum juga turun sebagai tanda bermulanya musim baru. Namun sayang, dingin itu tidak lantas membuat Raina Almira meredam api yang sedang bergejolak di kepalanya.

"Apaan sih, Na, pagi-pagi udah teriak-teriak?! Bisa kali ketuk pintu dulu kalau masuk. Untung nggak jantungan." Seorang gadis menghela napas panjang sembari menetralkan detak jantungnya yang masih memburu akibat kegaduhan yang dibuat Raina.

"Please deh, Ras. Ini serius. Ketua OSIS kamu udah gila." Raina melempar satu proposal pensi yang tadi dibawanya tepat di meja Laras.

Dirinya mengusap wajahnya fustasi, mengingat isi proposal yang jauh dari ekspektasi. Laras yang membaca isi proposal ingin sekali tergelak detik itu juga. Tapi mengingat partner kerjanya yang stres parah gara-gara proposal itu, ia pun urung melakukannya.

"Good morning eperibadi!!" Teriak Adit setelah masuk ruang OSIS dengan hati riang gembira tanpa tahu ada predator yang sedang mengintainya.

Merasakan atmosfer ruangan yang tidak bersahabat, Adit melempar pandangan heran kepada Laras. Namun, alih-alih mendapat jawaban dari sekretarisnya, Adit hanya mendapat pandangan mematikan dari gadis lain di sampingnya.

"Suryo! Ini kenapa yang di proposal ditulisnya Rhoma Irama?! Bukannya terakhir kali rapat kita udah sepakat bakalan ngundang Sheila On 7?" Raina membuka lembar proposal yang menuliskan nama Raja Dangdut itu tepat di wajah Adit.

Satu fakta dari sepasang ketos dan waketos itu, jika Raina memanggil Adit dengan sebutan Suryo, bisa dipastikan kalau emosi Raina sudah sampai di ubun-ubun.

"Lah, tanya Laras lah dia kan yang ngetik," elak Adit.

Detik itu juga, kedua mata nyalang Raina mengarah kepada Laras yang masih termangu di belakangnya.

"Kok aku? Waktu itu kan aku nggak masuk karena sakit. Ya, aku cuma nyalin tulisan Ryan aja," ujar Laras seadanya.

"Hei. Boss! Satu rim selebaran konser Bang Haji Rhoma siap di edarkan," sungguh, kedatangan manusia satu itu menambah hawa panas yang ada di tengah dinginnya pagi di ujung kemarau ini, "ngapa pada diem-diem bae dah? Nih notanya, jangan lupa nanti kasih Dinda, suruh bayar ke tempat fotocopy-an Cak Apin," ucapnya santai menyodorkan nota kepada Laras.

Raina hanya bisa melongo melihat setumpuk kertas berisi selebaran pensi sekolah mereka dengan tampang jelas Sang Raja Dangdut, Rhoma Irama. Setelah menghela napas sepanjang jalan tol, Raina mengelus dadanya, berusaha menetralkan emosi yang saat ini memuncak pada dirinya, "Bambang, sini, Nak," panggil Raina melambaikan tangan.

"Nama gue Ryan, ngapa jadi Bambang?!" ucap Ryan ngegas, melangkah mendekati Raina.

"Bukankah nama anda Abdul Bambang Ryanto?" Kadar kesabaran Raina mungkin memang harus dipertebal untuk menghadapi spesies manusia satu ini. Jika dia ikut ngegas, yang ada semua perkataannya tidak akan pernah sampai di telinga Ryan, karena sudah pasti laki-laki berambut keriting itu akan ngibrit kabur seperti sebelum-sebelumnya.

"Oh iya, gue lupa," ucap Ryan cengengesan.

"Yang nyuruh kamu cetak selebaran siapa?" tanya Raina santai.

Hi, RainaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang