Kata orang hujan turun membawa kenangan
Tapi, apakah hujan juga bisa membawa rindu kepada mereka yang mustahil untuk dipertemukan?***
Siang itu, mendung berarak di langit Jogja. Bersamaan dengan rintik tipis yang mulai membasahi tanah gersang yang berbulan-bulan ini menantikan kehadirannya. Hari berlalu begitu saja, cepat menurut perhitungan manusia. Namun, lambat bagi gadis yang tengah menenteng beberapa buku tebal di tangannya. Menurutnya, waktu akan berjalan lebih lama jika hujan sudah tiba.
“Kenapa harus sekarang sih hujannya? Kan nggak bawa jas hujan. Mana bawa buku banyak banget lagi,” kesal Raina melihat hujan yang rintiknya semakin rapat.
“Masih aja nggak suka hujan,” cerca manusia di sampingnya. Berbanding terbalik dengan gadis yang menggerutu sejak rintik pertama kali turun, manusia itu justru sibuk menikmati aroma petrikor kesukaannya. Menengadahkan tangan kepada tetesan air yang jatuh di antara genteng toko buku yang disinggahinya, “tahu nggak, Na, hujan adalah kidung semesta paling merdu yang diciptakan langsung dari tangan Tuhan. Hujan juga bisa menjadi timing yang pas untuk manusia berdamai dengan dirinya. Aroma petrikor yang tercipta akibat pertemuan air dengan tanah di bawahnya membuat hati damai. Hujan juga menjadi hal yang paling ditunggu penduduk bumi. Karena hujan, berbagai tanaman bisa tumbuh dengan baik, hewan bisa minum, dan manusia bisa memanfaatkan air hujan di kehidupan sehari-harinya. Tanpa air, bumi akan kering, dan kehidupan bisa saja musnah. Jadi, nggak ada alasan yang tepat bukan untuk kamu membenci hujan?” ujar Raka panjang lebar menceritakan perihal hujan yang selalu menjadi kesukaannya.
Sebenarnya Raina sudah sangat bosan dengan perkataan yang selalu Raka lontarkan saat hujan tiba. Dirinya hanya bisa manggut-manggut maklum. Menyimpulkan senyum tipis mengisyaratkan kata “iya Nana tau,”
Dulu, Raina suka sekali dengan hujan. Tapi entah sejak kapan, hujan berubah menjadi hal paling membosankan sekaligus menakutkan.
Jika Raka punya alasan mengapa dirinya sangat menyukai hujan, maka Raina juga punya alasan sendiri mengapa dia selalu setidak suka itu dengan hujan.
Pertama, hujan selalu bisa membawanya kembali kepada pilu. Seakan ada interaksi magis antara hujan dengan dirinya, bahwa hujan di luar mampu mendatangkan banjir dalam hatinya. Salah satu alasan klise yang mengiyakan bahwa hujan datang bersama kenangan.
Kedua, suasana dingin yang mencekam, desir angin yang menusuk tulang, cukup membuat Raina malas melakukan berbagai kegiatan. Karena nyatanya, hujan tidak bisa membuat Raina bergerak leluasa seperti biasanya. Itulah salah satu alasan mengapa manusia hiperaktif seperti Raina, mood-nya bisa langsung hancur kala mengetahui hujan akan segera tiba.
Ketiga, lingkungan lembab di musim penghujan selalu membuat dirinya kerepotan. Raina yang tidak pernah bisa bersahabat dengan udara dingin apalagi hujan, bisa dipastikan akan langsung terserang flu jika memaksakan diri berkenalan dengan dingin dan hujan.
“Dasar anak hujan,” lirihnya memutar bola mata malas.
Raina terus menggosok lengannya, mencoba menyalurkan hangat pada tubuh mungil yang mulai menggigil karena dingin tanpa permisi menelisik setiap inci tubuhnya.
“Tangan mana tangan,” Raka merentangkan jaket jeansnya kala melihat gigi-gigi Raina mulai bergemeletuk menahan dinginnya angin dan hujan dengan intensitas yang semakin tinggi.
“Ngapain?”
“Cepetan!”
Akhirnya, Raina memilih untuk menurut mengenakan jaket sahabatnya.
“Kamu gimana?”
“Aku? Sini peluk biar sama-sama anget,” ujar Raka mendekat kepada Raina. Alih-alih mendapat sambutan hangat justru muka Raka yang harus terima kala dipaksa bercumbu dengan buku-buku di tangan Raina, “Nana, sakit, ih. Kalau aku amesia gimana gara-gara benturan dari buku-buku tebal kamu itu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Raina
Ficção GeralDan dari sekian banyak makna tentang kota Jogja, istimewanya kota ini menurut Raka adalah karena takdir mempertemukannya dengan sosok yang saat ini tengah duduk di sampingnya. Sosok berharga yang ingin sekali ia jaga seperti kaca. Tak akan membiarka...