2. Reunion

196 32 24
                                    

Vote & Comment!

•••

Shanina

Melintasi koridor sekolah, mampu kulihat banyak orang tengah ramai berkumpul di pinggir lapangan basket. Awalnya aku sama sekali tak berminat mengetahui lebih, namun saat netraku melihat sosok yang kukenali ada disana, maka aku tak bisa berlalu begitu saja. Aku pun memutuskan melangkah dan menyibak kerumunan disana.

Di area lapangan basket ku lihat nampak dua orang laki laki, sosok yang memakai jam tangan hitam-namanya Fabian- itu aku mengenalnya, namun sosok lain yang nampak berantakan itu aku tak mengenalnya.

Aku tak faham apa yang terjadi disana, atau ada masalah apa yang terjadi diantara keduanya itu. Yang jelas, bisa ku lihat pada sudut bibir Fabian sudah terlihat berdarah. Belum sempat aku mencerna kejadian yang ada, suara teriakan mampu menyita perhatianku, hingga ternyata kudapati Fabian yang nampak berhasil membuat sosok asing didepannya jatuh tersungkur.

Tak bisa melihat dan mengabaikan ini lebih lama lagi, maka aku memutuskan lari ke arah keduanya. Masa bodoh dengan komentar para siswa lainnya yang menyebut aksi sok pahlawanku-aku sangat amat tidak peduli- sebab yang lebih ku pedulikan adalah bagaimana nanti jika Fabian hilang kendali menghajar laki laki disana lalu berakhir dengan Fabian harus berurusan dengan guru BK.

"Fabian stop."

Aku menahan lengannya yang sudah akan melayangkan tinju pada laki laki yang kini berbaring di bawah. Beruntung Fabian kemudian melepaskan cekalan tangan kirinya pada kemeja laki laki tadi, lalu menghempaskannya begitu saja. Aku pun menarik lengan Fabian bermaksud memaksanya pergi.

"See, nyali lo nggak setinggi ucapan lo kalo lagi pamer."

Aku benar benar merutuki laki laki tadi yang dihempaskan oleh Fabian, bahkan kini laki laki itu masih sempat berceletuk kalimat tak berbobot sama sekali. Beruntung aku tak melepaskan lengan Fabian yang ada disampingku, sebab kemungkinan bisa saja Fabian kembali menghampiri laki laki tadi untuk menerjangnya apabila aku tak menahan.

Terpaksa aku merangkul Fabian dan membawanya secara paksa untuk melangkah menuju ruang UKS. Sekali lagi, aku sama sekali tak peduli banyak pasang mata yang memberikan tatapan tak sukanya padaku. Meskipun dalam hati aku mengakui, tatapan mereka begitu mengerikan, sudah seperti ingin meninju wajahku yang begitu polos ini.

Kami tiba di ruang UKS, kemudian segera ia kusuruh untuk duduk di bed pasien, sedangkan aku inisiatif mencari kotak P3K yang tersedia untuk mengobatinya.

"Lo nggak apa apa?" Aku bertanya sambil mencoba membersihkan sudut bibirnya yang mengeluarkan darah.

"Sorry, udah buat lo khawatir."

Aku hanya tersenyum sangat tipis. "Gue lebih khawatir soal gimana reaksi tante Sandra kalau sampe beliau dipanggil ke sekolah karena lo berulah untuk pertama kalinya. Lagian ngapain sih berantem gitu? Ditengah lapangan basket pula."

Sebab setahuku ini kali pertama aku melihat Fabian emosi hingga bahkan melakukan penyerangan secara pribadi di sekolah. Aku masih tidak percaya bahwa barusan ia melayanhkan tinju pada orang lain, bahkan sampai mau memukulnya lagi untuk kedua kalinya.

"Dia yang cari masalah, tadinya gue cuma lagi main basket biasa sama anak anak. Terus dia dateng, nantangin gue satu lawan satu. Hasilnya dia kalah, tapi dia nggak terima kalau dia kalah, dia pancing emosi gue terus kita saling tonjok."

"Terus kenapa temen temen lo nggak ada yang bantuin tengahin coba, kalau gue nggak maju tadi pasti sekarang kalian berdua udah di dudukin di ruang BK tahu."

CI[N]TA-CITA (Pending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang