Chapter 2 : Orang Asing
* * *
Lalisa terbangun dari ranjang.
Matanya spontan mengedip-edip, beresonansi dengan suar-suar mentari yang menelisik masuk lewat jendela. Detik demi detik ia biarkan bergulir sia-sia, sembari ia menemukan dirinya perlahan menyentuh permukaan, berderap ke arah kehidupan.
Lalisa berakhir dengan posisi menelungkup, satu kepala menghadap ke satu sisi—sehingga hal pertama yang menyambutnya ketika ia membuka mata adalah jendela kamarnya. Memberi sambutan visualisasi jajaran pohon pinus yang bergoyang dalam gerak semu, serta merta dengan sawang sang langit yang berwarna kebiruan terang. Intensitas hangat sinar mentari yang mengguyur wajahnya membuat Lalisa memiliki praduga bahwa ia bangun lebih siang dari biasanya.
Kepalanya ia paksa angkat dari bantal untuk melirik ke arah jam di atas bedside table. Dan benar saja—waktu telah menunjuk pukul 10.35 siang. Mungkin karena kemarin ia kelelahan, jadi ia tidur lebih lama.
Lalisa kemudian menggeliat, membalik tubuhnya ke posisi terlentang. Lalisa baru menyadari betapa terasa besarnya kasurnya ini untuk ditempati seorang diri. Tiba-tiba saja, rasa sepi yang kemarin mengirinya tidurnya datang lagi. Mendadak, ia merasa kesepian berbaring seorang diri di atas kasur ini.
Aneh. Tak biasanya pagi-pagi dia sudah mellow begini.
Mungkin karena realisasi baru menghampiri—bahwa ia kini tinggal sendiri.
Tanpa kedua orang tuanya. Tanpa siapa-siapa.
Suara Mommy dan Daddynya yang biasanya sudah mengisi ruang tengah di pagi hari sekarang sudah tak ada lagi. Wajar kalau ia merasa sepi.
Berusaha menepis pahit yang hadir di sanubari, ia bawa dirinya ke posisi duduk, meregangkan lengannya ke atas untuk mereduksi kaku yang tertinggal. Ia mengusak rambutnya yang sedikit berantakan setelah bergulat dengan bantal. Matanya yang masih sayu bergerilya ke segala arah.
Perasaanya saja atau bukan, tetapi kamarnya terlihat... agak berbeda dari kemarin yang ia ingat?
Terasa lebih penuh dan tidak selenggang kemarin?
Tunggu.
Lalisa mengerjap, tangannya buru-buru mengucek matanya agar ia bisa melihat lebih jelas.
Tidak. Tidak.
Rasanya memang berbeda. Dan ia tak hanya merasa.
Ia yakin itu.
Tidak ada box-box di atas lantai yang kemarin malam ia tinggalkan. Lemari, cabinet, karpet, dekorasi yang kemarin ia pasang memang masih ada, tetapi ada perabotan lain yang mengisi ruang kamar. Ia tak ingat ia punya papan kolase foto. Ia tak ingat ia pernah membeli lukisan-lukisan yang kini berjajar di dinding.
Ia tak ingat sejak kapan ia memiliki cat-cat lukis, bahkan punya sebuah atelier dengan kanvas tersangga di sisi kiri ranjang. Sebuah kanvas yang berisi potret lukisan dirinya—ia tahu pasti itu dirinya. Rambut pirang mata biru. Siapa lagi? Itu jelas adalah wajahnya yang sedang tersenyum.
Lalisa juga tak ingat, sejak kapan ia pandai melukis seindah itu.
Kerjaan siapa ini?
Kepalanya tertoleh cepat, menyusuri setiap sudut ruangan. Kamar ini masih sama. Tapi terasa berbeda. Bagaimana ya menjelaskannya?
Seperti bukan miliknya, tapi... serasa tetap miliknya juga.
Aneh.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
The House (CHRISA)
Fanfiction"Mundur!" ancam Lalisa berang, "Jangan mendekat, orang asing!" "Sayang, aku ini bukan orang asing." Sekali lagi pria itu berkata. Ekspresinya masih kebingungan, tetapi pandangannya lurus ke depan, menatap Lalisa tanpa keraguan. "Aku ini suamimu." La...