02 𖦁ׅ ࣪ ⸼ ׂ KORELASI NADIR ៵🌻 ࣪ ִֶָ ⋆

25 5 0
                                    

"Pertemuan lalu perpisahan. Perpisahan untuk pertemuan selanjutnya yang lebih baik. Mungkin itu yang disebut dengan perpisahan yang cantik."

𖧵 ࣪ ›› 𝐀𝐒𝐑𝐀𝐑 ˖་ 💭 ࣪ ‌˒


Satu tahun lalu.

Sebuah perkumpulan remaja penyuka sastra mengadakan acara yang diadakan selama dua hari berturut-turut dengan serangkaian acara yang tidak membosankan guna mengajak anak muda agar lebih mencintai sastra yang terlihat jarang sekali tersentuh oleh anak zaman sekarang.

Perkumpulan itu dinamakan 'Sastra Circle' yang terletak di salah satu sudut kota hujan yang saat itu tengah terik-teriknya. Pun, acara itu diberi tema 'Bersama Sastra Aku Bisa Merasa'.

Acara akan dibuka dengan sebuah sajak milik perempuan pengagum senja. Untaian diksi cantik miliknya sudah tak asing lagi bagi anggota SaCir. Terdengar sendu namun berisikan rindu yang terkadang tak bertuan.

"Siap belum, Anya?"

Anya membenarkan letak jepitan besi bercorak bunga yang terselip di antara poni panjangnya lantas mengangguk kecil.

"Bismillah," katanya mantap.

Iren- seksi acara itu mengacungkan jempolnya kepada Anya.

Pembawa acara yang sedikit mengeluarkan intermezo-nya setelah acara sambutan oleh pihak-pihak penting segera mengangguk samar saat salah satu seksi kegiatan memberikan sebuah kode.

"Baiklah! Dari pada berlama-lama bersama saya dan Miwa yang memang hanya sebastian-"

"Apa tuh sebastian?" celetuk salah seorang penonton kepada Jiko.

Jiko berdehem. "Sebastian. Sebatas teman tanpa kepastian,"

"Heh! St!" Miwa menyenggol lengan Jiko. "Jangan bongkar hubungan yang tidak memiliki ketidakjelasan sebagai alas ini dong," katanya yang disusul dengan tawa renyah dari para penonton.

Jiko menyengir lebar. "Ya baik, nona." ujarnya menurut.

Sekilas mereka bersitatap kemudian mengangguk kecil.

"MARI KITA PANGGIL . . . ANYARA EVANGELINE!"

Suara derap langkah yang gemetar itu tertutupi dengan riuh tepuk tangan penonton dan binar mata penasaran yang tertuju jelas ketika sebuah lampu menyorot ke arahnya. Menjadikannya sebuah objek utama. Anya menyukai hal itu.

Bibir tipis itu semakin mengembang tatkala pandangannya menyapu sekitar. Banyak orang menatapnya dengan tatapan penuh rasa kagum. Tatapan yang selama ini selalu ia inginkan akhirnya ia dapatkan.

Sepersekian detik kemudian binar mata miliknya redup dan sabit pun tak lagi bersinar di wajahnya.

"Aku bukanlah perempuan dengan banyak diksi pada untaian puisi yang daksa ini miliki. Aku hanya insan dengan beberapa kiasan yang semoga bisa menyentuh semua hati dari segala lapisan," kata Anya sebagai kalimat pembuka.

Anya kembali menarik napas, mempertahankan senyumnya, lalu kembali membuka suara. "Selamat datang di pusat sastra bersama saya Anyara. Mari kita menyelam rasa dengan senja sebagai sajak yang akan saya bawa," ujarnya.

Riuh tepuk tangan kembali terdengar selaras dengan detak jantung milik Anya yang menggelora.

"Untuk apa semburat senja?
Jika daksaku saja tak mampu
untuk merangkai derap menuju buana.

ASRARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang