Surat Undangan.

226 14 11
                                    

Cha Duri, atau nama aslinya Kory Char adalah seorang pemuda yang kini sedang berbaring di rumah sakit karena kelelahan mengajar murid di Daedo School. Sosok pemuda yang berprofesi sebagai guru olahraga itu telah meminta cuti kepada kakaknya, Hana atau nama aslinya adalah Ryan, yang berprofesi sebagai kepala sekolah. Kini, sudah beberapa hari Duri berada di rumah sakit dan itu membuat Hana curiga dengannya.

Hana segera menjenguk saudara kembarnya, atau lebih tepat adalah adiknya tersebut di rumah sakit. Dia membuka pintu ruangan Duri dan menatap Duri yang sedang duduk di ranjang sambil menonton pertandingan sepak bola di televisi.

"Hai, Duri!"

"Oh, Hai! Hana, senang kau kemari."

"Bagaimana keadaanmu? Apa kata Dokter padamu? Apa kau bisa pulang dari sini dalam waktu dekat?"

Duri menatap Hana, lalu mematikan televisi. "Kata dokter, aku tak bisa pulang dalam waktu dekat. Bisakah kau menunggu?"

"Aku tak bisa menunggu selama itu, Duri. Aku harus mencari guru olahraga baru untuk anak-anak kalau begitu." Hana meletakkan keranjang buah di atas meja.

"Semoga kau cepat sembuh ... dari rasa lelahmu." lanjut Hana dan keluar dari ruangan.

Kory menggaruk kepalanya dan kebingungan. "Sepertinya Hana marah, deh. Ah, mungkin karena dia pikir aku meminta cuti karena aku malas."

"Aku ingin segera keluar dari sini, tetapi aku tidak tahu kapan." Duri mengambil sebuah jeruk lalu mengupasnya.

"Ngomong-ngomong, aku dengar Dingyo dan Semo beberapa hari yang lalu sudah pulang dari Amerika. Apakah mereka sudah bertemu dengan Hana? Ah, aku merindukan mereka berdua setelah 5 tahun berpisah dengan mereka."

Duri menikmati buah jeruknya dan kembali menyalakan televisi. "Oh, ya! Apakah Dingyo masih mengingat janjinya padaku lima tahun lalu?"

"Aku harap dia mengingatnya."

***

Beberapa hari berlalu, Duri masih tetap berada di ranjang rumah sakit. Ia lelah melakukan aktivitas yang membosankan tiap saat. Dia tahu kenapa Dokter tak mengijinkannya pulang, tetapi dia sama sekali tak memberitahu Hana soal itu.

Duri benar-benar ingin bertemu Dingyo dan Semo, tetapi dia tak bisa keluar dari rumah sakit.

Suatu hari, Dingyo dan Semo menjenguknya. Itu membuat Duri sangat senang karena akhirnya bisa bertemu teman masa kecil dan remajanya sekaligus cinta pertamanya.

"Duri!" Dingyo memeluk pemuda itu setibanya di ruangan itu.

Duri menyambut mereka berdua dengan bahagia. Mereka saling melepas rindu dengan berpelukan.

***

"Apakah kalian sudah bertemu dengan Hana?"

"Sudah! Kami juga mendengar bahwa kau di rumah sakit dari Hana." Dingyo menatap Duri dan tersenyum.

Semo mengangguk. "Apa kau sakit?"

"Tidak hanya kelelahan saja." Duri menjawab.

"Hanya kelelahan dan kau tidak bisa keluar dari rumah sakit ini untuk beberapa minggu ke depan?" tanya Semo lagi.

Sepertinya, Hana sudah bercerita tentang Duri pada Semo dan Dingyo. Hana curiga bahwa Duri memberi alasan kalau ia tidak bisa ke sekolah karena tidak diijinkan dokter pulang padahal Duri hanya bermalas-malasan.

Duri mengangguk. "Ya, kalau tidak percaya tanyakan saja pada dokter. Atau lebih baik jangan menanyakannya."

Dingyo mengangguk dan tertawa. "Baiklah. Semo hanya sedikit curiga karena Hana kemarin bercerita tentangmu. Dia pikir kau malas ke sekolah, hingga memberi alasan kalau kau sakit untuk menghindari pekerjaan."

"Ah, kalau begitu ... baiklah, besok aku akan pulang. Aku akan memaksa dokter untuk itu." Duri berdiri dari tempat tidurnya. "Oh, ya? Bagaimana hari kalian di luar negeri?"

"Biasa saja. Bagiku, hanya ada sedikit perbedaan antara Korea Selatan dan Amerika." jawab Semo santai.

Dingyo mengambil sesuatu dari tasnya, lalu memberikan sebuah surat undangan untuk Duri. "Bagaimana menurutmu surat undangannya?"

Duri bingung dan meraih surat itu. "Surat undangan? Apa ini surat undangan pernikahan? Siapa yang menikah?"

Duri menatap surat undangan yang bertuliskan dua huruf 'D' dengan sebuah gambar hati yang mengelilingi dua huruf 'D' tersebut.

D & D

"D dan D?" Duri terkejut lalu menatap wajah Dingyo. Dia pikir ini untuk mereka berdua. Duri dan Dingyo.

Namun, Semo menjawab. "Ini untukku dan Dolly."

"Dolly?" Lagi-lagi Duri kebingungan.

"Iya. Dingyo saat berada di Amerika mengganti namanya menjadi Dolly, sedangkan aku menjadi Dylan."

Duri terkejut. "Dolly dan Dylan? Kalian akan menikah, begitu?"

Dingyo mengangguk. "Ya. Paman Limo sudah menyetujuinya. Kami berdua juga sudah menanyakan pada ibu dan juga Paman Franklin. Sepertinya, dua minggu ke depan kami akan mengadakan pesta pernikahan."

Duri terdiam sejenak. Dia menatap surat undangan itu dan tersenyum. "Oh ... ini surat yang bagus. Namun, Dingyo ... apakah kau mengingat janjimu padaku lima tahun yang lalu?"

Dingyo atau sekarang namanya adalah Dolly menggeleng. "Janji apa? Apa aku pernah berjanji padamu waktu itu? Sebentar, biar aku ingat."

Sosok bernama Duri itu menatap ke arah jendela. "Cinta ... tentang semua itu. Apakah kamu masih mengingatnya, Dingyo?"

Semo mengambil handphone di sakunya lalu menatap Duri. "Duri, sekarang kau panggil kami Dolly dan Dylan saja. Itu lebih baik. Ah, ngomong-ngomong ... aku mendapat pesan dari ayah. Aku harus pergi untuk mengurus sesuatu sebentar."

Tak lama kemudian, Dylan pergi dari sana. Hanya ada Dolly dan Duri di sana.

"Dingyo?"

"Eh, kau sudah dengar kata Dylan tadi? Panggil aku Dolly sekarang."

"Kenapa kau melakukan semua ini padaku?!" Duri meremas surat undangan itu dan membuangnya ke wajah Dolly.








T. B. C.

Dolly Or Dingyo?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang