Bayi Gajah

3 1 0
                                    

"Yeyeye, gajah bengkak ... gajah bengkak!" ejek Sahrul teman sekelas Juni.

Juni yang masih duduk di bangku kelas 5 itu memutar badan dan melirik tajam kearah segerombolan anak lelaki. Semua berjumlah tiga orang yang sedang duduk di bangku bagian belakang kelas. Bukannya diam, justru membuat mereka semakin menjadi. Juni menghela napas panjang. Mencoba untuk tidak bereaksi terhadap ejekan teman-temannya.

"Juni, gajah bengkak. Kelamaan berendem di minyak tanah sih lu Jun," celetuk salah satu anak lelaki bertubuh kurus sambil tertawa terbahak-bahak.

"Iye emang. Bayi gajah pindah ke mari ye?" imbuh Sahrul cekikikan.
Juni geram dan meremas lembaran kertas yang ada dihadapannya. Ia benar-benar tak tahan mendengar ejekan teman-temannya, Juni segera beranjak menghampiri sekumpulan anak-anak lelaki itu.

"Lu kira Gue gak berani sama Lu pade? Belum puas lu ngejek Gue?" cecar Juni dengan mata melotot sambil menunjuk satu persatu teman yang ada di hadapannya.

"Lah, emang lu bengkak kan. Kayak gajah?" jawab salah satu anak bertubuh paling kecil dan terkenal paling cerewet di kelas itu.

"Gak usah macem-macem ya Lu, Lu pikir gue kagak berani!" Juni menarik kerah baju temannya itu dengan keras hingga ia terbatuk-batuk.

"Iye iye Jun. Maaf gue cuma becanda," kilahnya mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Juni.

"Gak usah sok jago Lu Jun, yang jago cuma ayam jago. Belagu banget jadi orang. Kagak sadar pe emang badan lu bengkak?" balas Sahrul melepaskan tangan Juni dengan paksa dari kerah temannya. Entah mengapa dia begitu benci dengan Juni.

"Gak usah ikut campur! Ngajak ribut lu ya?" Juni mendorong tubuh Sahrul hingga tersungkur di lantai. Terbakar emosi, Juni hampir saja mencekik leher anak berkulit gelap itu. Seketika teman-teman Juni mencoba melerai. Sedangkan Sahrul mencoba berlari ke luar kelas untuk menghindari amukan Juni.

Juni mengejar sekuat tenaga, ia tidak lagi ingat dengan berat badannya. Baginya bisa menghajar salah satu teman laki-lakinya itu membuat Juni puas. Ia kembali mendorong hingga Sahrul tersungkur di tanah. Juni tak lagi peduli dengan suara riuh yang ada di sekitarnya. Namun, Jamil yang melihat kejadian itu langsung melerai Juni. Ia menahan tubuh Juni agar tidak bergerak. Sayang, Jamil tidak berhasil. Hingga Juni berhasil mendaratkan sebuah tamparan keras di pipi Sahrul.
Sahrul menangis kesakitan, tak terima dengan perlakuan Juni ia berlari dan meminta bantuan kepada guru-guru yang ada di kantor.

Akhirnya, salah satu guru memanggil Juni dan Sahrul untuk masuk ke dalam ruangan BP. Jamil menemani Juni selama di dalam ruangan. Sahrul yang awalnya tidak mau memaafkan perlahan mulai mulai luluh karena bujukan Jamil. Juni meminta agar Jamil tidak menceritakan tentang apa yang terjadi kepada ibu saat di rumah.

Ejekan terus menerus Juni dapatkan hingga ia duduk di bangku SMA. Di saat tumbuhnya semakin besar dan tidak. Tinggi Juni telah mencapai 170 cm dengan berat badan 78 kg. Saat baru memasuki masa orientasi siswa, Juni menjadi bulan-bulanan para senior.

"Lu yang lebar kayak lapangan hellypad, sini maju!" kata salah satu anggota OSIS yang sedang memimpin di ruang B, Ilham namanya. Suara riuh mengiringi Juni saat berjalan menuju depan kelas. Seisi kelas seolah sedang menertawakan dirinya.

"Huuu ... Gajah bengkak. Lambat nian jalannyo!" teriak seorang anak laki-laki yang ada di belakang Juni.

Seketika Juni menghentikan langkahnya dan menatap tajam ke arah sumber suara. Juni merasa benar-benar tersiksa di ruangan itu. Mulai diminta bernyanyi hingga dipaksa bergoyang di depan kelasnya. Meski kesal ia hanya bisa menuruti setiap perintahnya.

Tak lama kemudian Jamil yang sedang di kelas sebelah mendengar suara gaduh yang berasal dari kelas Juni. Ia pun segera mendatangi. Sungguh terkejut saat mengetahui adiknya menjadi bahan tertawaan.

"Astaghfirullah," Jamil menarik tangan Ilham  ke luar ruangan.

"Ade ape Jamil? Pelan-pelan nape Bro?" ucap Ilham yang keheranan melihat sikap Hamil yang menarik keras tangannya. Tepat di luar samping pintu kelas Jamil melepaskan tangan Ilham dengan keras.

"Apa maksud Lu mempermalukan adik Gue di depan orang banyak?" tanya Jamil memicingkan matanya.

"Sorry Bro, Adik? Yang mane?" Ilham kebingungan dan balik bertanya.

"Lu suruh adik gue nyanyi joget gitu. Lu pikir adik gue badut buah bahan tertawaan?" cecar Jamil kesal.

"Ya ampun, itu adik Lu? Gue bener bener minta maaf Mil. Gue kagak tau kalo die itu adik Lu. Suwer dah!" kata Ilham mengatupkan kedua tangannya merasa bersalah.

"Oke Gue maafin, Gue harap Lu gak macem-macem deh!"

"Iii iye-iye. Sekali lagi Gue minta maaf," jawab Ilham lemas. Sebagai ketua OSIS, Jamil memang disegani oleh teman-temannya. Ilham pun meminta Juni untuk kembali ke tempat duduknya. Tak lupa ia meminta maaf kepada Juni atas sikap yang sewenang-wenang. Juni merasa lega dengan permintaan itu.

Hari demi hari berlalu. Juni masih saja kerap diejek oleh teman-temannya. Seolah melekat dalam ingatannya. Setiap ucapan buruk yang pernah didapatkan. Juni tumbuh menjadi gadis yang tertutup, merasa tidak percaya diri, dan sering bersikap apatis terhadap orang lain.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Si Jamil & Si JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang