Minggu sore Pak Murti pulang dengan mengendarai sepeda motor antik miliknya. Diparkirnya motor itu di antara deretan pot bunga Adenium pada teras rumah. Terlihat dia mengambil sebuah bungkusan yang dimasukan ke dalam bagasi.
"Asyiiik, Ayah pulang!" seru Juni bergegas lari meraih bungkusan dari tangan Ayahnya.
Suara Juni mengagetkan Bu Ratna, Ibu kandung Juni yang tengah mencetak adonan kue nastar yang ia susun di atas loyang besar. Seketika ia beranjak dan menghampiri suaminya yang baru saja duduk di atas kursi malas.
"Astaghfirullah, Abaaang! Aye udah bilang. Si Juni jangan dimanjain terus. Heran dah," protes Ibu bertahi lalat besar di atas bibir kanannya. Ia ikut duduk di samping Pak Murti dan mencoba mengorek penjelasan darinya.
"Biarlah Dek, lagipula Abang kerja kan buat anak juga," timpal Pak Murti santai.
"Ya, gak gitu juga lah Bang. Sadar gak sih Abang ntu selalu mentingin Juni. Apa Abang lupa kalo Jamil juga anak Abang. Kasian kan die!" ucap Bu Ratna bertambah kesal. "lihat noh, Si Juni. Badan udah megar juga masih dijajanin coklat ame es krim."
"Ya sudah, besok Abang beliin juga buat Jamil. Lagi pula kan dia sering gak di rumah. Ya kan Dek?" ucap Pak Murti mencari pembenaran.
"Tapi Abang ntu sering gak adil sama anak, aye tau Abang demen punya anak cewek. Tapi gak perlu segitunya juga kali Bang!" gerutu Bu Ratna kesal.
"Iye-iye. Dah sono, Abang mo istirahat dulu," ucap pria berbadan gempal dengan kumis lebat itu sambil merebahkan setengah badannya di atas kursi malas.
Bu Ratna meninggalkan suaminya dengan hati kesal. Berulang kali ia mencoba mengingatkan Pak Murti agar berlaku adil pada anak-anaknya, tetapi masih juga ia mengabaikan. Seringkali suaminya itu lebih memilih pergi tidur daripada mendengarkan setiap omelannya.
Tak jauh dari ruangan itu, terlihat Juni yang tengah asyik menikmati es krim di tangannya. Seolah semakin menumpuk bara api dalam hati Bu Ratna. Ingin sekali ia meluapkan emosinya pada Juni. Tetapi pembelaan terhadap Juni agar terus terlontar dari mulut suaminya itu.
"Juuun, Bang Jamil belum pulang juga ye? Sini nape bantuin Ibu buat kue. Makan aje kerjaannye!" ucap Bu Ratna dari arah belakang. Teriakan khasnya seolah telah akrab di telinga Juni.
"Belum pulang Bu, Bang Jamil lagi ada kegiatan OSIS tadi," sahut Juni yang tengah asyik menjilati es krim cokelat yang ada di tangannya. Ia begitu menikmati beberapa bungkus es krim dan menyisakan sebungkus es krim di lemari pendingin untuk Jamil, kakak kandungnya.
"Juuuniii ...! Sini bantu Ibu. Cepetan!" teriak Bu Ratna. Suaranya yang melengking, memekakkan telinga. Membangkitkan Juni yang sedang asyik bersandar pada bantal yang ia sandarkan di tembok kamar.
"Iye sih Bu, bentar!" Jawab Juni mempercepat makannya. Roti cokelat dan es krim adalah makanan favorit Juni yang sering kali Ayahnya bawakan selepas pulang bekerja.
Setiap hari Bu Ratna bekerja sebagai ibu rumah tangga, untuk mengisi waktu luang dan menambah penghasilan, dia membuat kue kering yang ia jual di warung rumahan miliknya. Seringkali ia kualahan jika pesanan kue kering semakin meningkat. Saat Jamil tidak ada kegiatan sekolah, biasanya Jamil yang membantu. Berbeda dengan Juni, di mata Bu Ratna Juni anak yang malas, jarang membantu pekerjaan rumah walaupun hanya sekadar menyapu lantai.Hari itu Juni berulah kembali. Saat berniat membantu mencetak kue, Juni Justru menyenggol beberapa toples kue nastar pesanan Bu Tanti yang akan diambil besok pagi. Sebagian toples pecah dan isinya berhaburan di lantai. Melihat kejadian itu spontan Bu Ratna menoleh dan berteriak,
"Astaghfirullah Juniii ....! Ape lagi yang elu kerjain?" pekik Bu Ratna mengagetkan Pak Murti yang tengah tertidur. Juni terdiam seketika.
"Maaf Bu, Juni gak sengaja," jawab Juni enteng.
"Elu udah SMA Juni, masih aje elu gegabah!" ucap Bu Ratna gemas sambil menunjuk-nunjuk muka Juni. Ia begitu kesal dengan sikap Juni yang masih saja gegabah dalam berbuat.
"ni pesanan mau diambil besok lagi, gimane coba? Elu bukannya bantuain malah nyusahin aje bisanya!"Bu Ratna benar-benar kesal melihat wajah Juni yang seolah tidak merasa bersalah. Merasa geram, ia cepat-cepat mendekati Juni lalu menarik telinga Juni dengan kuat.
"Aduh Bu, Ampun Bu!" Juni meringis kesakitan sambil memegangi telinga kirinya. Tak lama kemudian Ayah Juni datang menghampiri, sebab merasa terganggu mendengar kegaduhan,
"Sudah-sudah lepaskan! Jangan kasari Juni seperti itu!" ucap Pak Murti melepaskan tangan istrinya yang kembali menarik telinga Juni.
"Abang selalu saja membela Juni, anak kurang ajar!"
"Jangan asal bicara, jangan sampai karena masalah sepele elu marahin Juni. Paham?" cecar Pak Murti.
Bu Ratna terdiam. Kesal dengan pembelaan terhadap Juni yang selalu saja terlontar dari mulut suaminya ketika Juni berbuat salah. Amarah masih meletup-letup dalam dadanya. Dia menatap ke arah Juni dengan tatapan nanar. Bu Ratna gemas dengan kelakuan Juni, ingin rasanya mencubit tubuh gemuknya itu hingga puas. Namun seperti biasa, Juni justru pergi tanpa merasa bersalah. Meninggalkan pecahan toples dan kue yang masih berserakan di lantai begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Jamil & Si Juni
Teen FictionJuni, gadis 16 tahun dan Jamil 17 tahun, kakak kandung Juni. Mereka bersekolah di tempat yang sama. Memiliki tubuh gemuk membuat Juni sering mendapat ejekan dari teman-temannya, hingga menjadikan Juni merasa tidak percaya diri. Sedangkan Jamil geram...