Perkataannya seolah canda,
dan bodohnya aku percaya.___________
Berada dalam ilusi bukan yang diinginkan semua manusia, tapi entah mengapa ilusi begitu nyaman dan mudah dicerna. Dia pun sama, bahkan lupa siapa diri dan bagaimana kehidupan realitanya. Bacaan yang ku baca tidak sempat ku ulas kembali, tetapi aku sudah menyimpulkan apa yang aku pikirkan. Dia bukan manusia, tetapi anehnya aku percaya dengan kebohongannya yang dibalut canda. Aku hanya bisa tertawa di samping sosok bertubuh jakung itu. Seolah-olah candanya adalah candu.
"Bukankah kamu ada acara sama guru pembimbingmu?" Tanya-nya mengalihkan gurauan.
Aku hanya tersenyum, mengembalikan sikap normal dan menjawab "iya, tapi masih dua puluh lima menit lagi. Apa aku kesana sekarang saja ya?".
"Benarkah? Kamu ingin meninggalkan cowok tampan ini sendirian?"
"Mungkin saja, karena kamu tidak cukup tampan menjadi kriteriaku." Jawabku meninggalkan bangku besi hijau muda.
Aku mendengar rutukan menggemaskan, tetapi aku tetap berjalan meninggalkan sosok itu bersama tumpukan buku bacaan.
Berjalan di koridor malam hari agak menyenangkan, suara ranting pohon yang bergesekan dan suara hewan malam. Terlebih bulan tampak terang seirama dengan tengah bulan. Aku berjalan menaiki tangga ke lantai lima. Kurapatkan jaket dan kueratkan tiga buku yang ku bawa di dekapku, hawanya agak dingin.
"HEYY, HODIE MERAH!!"
Teriakan itu terdengar sangat jelas, bahkan menggema di tengah koridor yang sunyi ini dan aku paham. Dia memanggilku, aku berbalik dan menjawab "Sudah puas buat makhluk alam lain bangun?"
"Heheheee, Maaf nyonya boss." Kekehnya.
Kita berjalan berdua menikmati sunyi malam dan suara yang menenangkan.
"Bagimana penelitiannya? Sudah beres?" Tanyaku.
"Astaga, aku belum bisa memikirkan apa yang dimaksud guru itu. Gimana bisa dia mencari topik yang begitu rumit untuk seorang diriku. Jawaban dari pertanyaanmu simpel. Belum beres." Celoteh penjang lebar yang diberikan laki-laki di sampingku membuatku penasaran.
"Topik seperti apa yang dia berikan?"
"Kehidupan masyarakat suku Samin, di daerah Blora." Jawabnya.
"Blora? Dimana itu?"
"Jawa Tengah. Tapi, kamu harus baca beberapa buku tentang Blora. Aku yakin kamu juga akan tertarik dengan kota itu."
"Jika kamu sudah sangat semangat, kenapa masih belum beres."
"Masalahnya aku masih belum percaya samin dan orang-orang samin itu benar adanya atau hanya kamuflase yang dijadikan suku."
Jujur, aku masih belum paham perkataannya, "Apa maksudmu?"
Dia mulai menjelaskan, "Jadi di suku samin memiliki cerita lisan seperti ini," dia menarik nafas seakan bersiap bercerita panjang lebar.
"Dulu waktu zaman penjajahan Belanda, rakyat Blora di kenai pajak atau upeti untuk sawahnya. Jadi, banyak orang-orang di kota Blora berpura-pura menjadi agak gila atau nyamin untuk menentang kegilaan Belanda karena upeti."
Aku mulai paham arah bicaranya, "Maksudmu itu bukan suku, melainkan kamuflase beberapa warga di kota Blora?".
"Yeahh, begitulah. Tapi ada lagi yang menarik tentang Blora. Pramudya Ananta Toer, kamu tau beliau kan?"
"Iya, kita sudah melihat filmnya bersama. Pak Dewangga yang mengajak kita ke bioskop waktu itu. Aku ikut karena pemerannya, Mawar Eva dan Iqbal Ramadhan. Tapi, film tiga jam itu lama sekali. Aku sampai tidur di beberapa scene." Jawabku mantab.
KAMU SEDANG MEMBACA
[SHORTSTORY]
Mystery / Thrillerrank. #2 suatu (27Oct2021) #8 penuh (27Oct2021) #35 kota (27Oct2021) #6 penuh (29Oct2021) #19 kota (29Oct2021) ____________________________ "Memberimu pengertian bukan tugasku, memberimu hati bukanlah keahlianku. Tapi, bagaimana jika tugasku adalah...