three

3 0 0
                                    

"Tuhan, bagaimana jika aku terus terperangkap pada pikiran buruk ini. Apakah aku akan terus di bayang-bayangi oleh kenangan menyedihkan ini? Aku mengingatnya kembali, kenapa tidak engkau hapus memori ini? Supaya aku fokus pada pencarianku."
_________

Aku menangkupkan kedua jari, berdoa dengan kesungguhan dan penuh harapan. Akankah Tuhan mendengarkan keluh kesahku? Aku mengharapkan yang terbaik.

Usai misa pagi, aku masih duduk di antara kursi kayu panjang. Merenung dan berharap. Hanya itu pekerjaanku akhir-akhir ini. Pengharapan-pengharapan ku panjatkan kepada Tuhanku berharap penyesalan dan keingintahuanku akan hal 'itu' menghilang, sehingga aku bisa hidup dengan tenang.

Saat beranjak dari kursi mataku menangkap sosok tidak asing, kusipitkan mata kupertajam ingatan. Topi dan kacamata ditambah dengan masker hitam, jaket kulit bewarna cokelat menutupi kulit putihnya. Aku mengenal sosok itu, tapi aku ragu untuk menyapa. Itu pak Dewangga bersama seorang pendeta. Tidak sengaja Pak Dewangga menatapku, aku menatapnya balik dengan senyum seramah tadi malam. Dengan spontan, Tangan pak Dewangga memanggilku, aku menuju kearahnya.

"Ada apa pak?" Aku bersalaman dan bertanya.

"Kamu kesini naik apa? Saya antar pulang ke asrama ya?"

"Ndak usah pak, tadi saya jalan kaki."jawabku.

"Gak apa-apa, ndak usah sungkan. Rumah saya searah sama kamu."

Aku meng-iya-kan perkataan pak Dewangga, dan akhirnya aku duduk disamping pak Dewangga dengan kecanggungan di mobil BR-V merah ini. Dalam perjalanan pak guru muda itu tampak gelisah entah apa yang tertinggal atau apa yang terlupakan, aku juga enggan bertanya. Menutupi keingin tahuanku dengan mengalihkan pandangan ke jalanan.

"Rengganis, saya lupa tadi mau beli hardisk. Apa sekalian beli makanan buat besok ya ?"

Sudah kuduga.

"Iya pak," apalagi yang bisa di ucapkan diriku yang mulai mual panas dingin di dalam mobil berAC.

Pak Dewangga tersenyum lalu putar balik ke pusat kota. Mencari bahan makanan dan hardisk. Aku meyusuri jalanan kota, berjalan kaki agak jauh dari tempat parkir mobil. Menikmati suasana kota yang di basahi hujan hari Sabtu, dan wangi tanah yang memberi kesan istimewa. Kata orang wangi seperti ini memiliki istilah Petrichor. Aku menatap pak Dewangga yang membaca satu persatu papan nama, dan aku mengikuti langkahnya. Dalam hagi aku tersenyum geli, pikiranku bergelut dan berkata 'seperti kencan saja'.

Aku dan pak Dewangga masih mencari nama toko alat elektronik yang dimaksud. Tapi sepertinya toko itu tidak di jalanan ini, sudah 30 menit aku dan Pak Dewangga berjalan. Tapi tidak menemukannya. Yang kita dapatkan hanya ketingat dan rasa haus. Hari ini terik matahari cukup membakar kulitku dan ternyata perutku juga sudah menahan lapar. Aku bisa membeli makanan berat sendiri dan membelikan pak Dewangga, tapi aku rasa kurang pantas jadi aku tidak melakukannya.

Sepertinya Pak Dewangga menyadari gaun hitamku yang tidak menutupi siku dan tidak sampai ke lutut, belum lagi sepatu hitam dengan ikatan dipergelangan mata kaki yang tingginya hampir 5 centimeter. Aku memang tidak biasa bersikap anggun, tapi aku harus bersikap sopan ketika berada di rumah Tuhan.

"Ndak usah pak," tolakku saat pak Dewangga menyampirkan jaket kulitnya ke pundakku.

"Udah ayo jalan," suruh pak Dewangga.

Akhirnya kita berdua mencari toko snack untuk cemilan anak-anak yang mengerjakan karya tulis bersamaku. Saat memasuki toko entah mengapa banyak orang yang melirik ke arahku seakan berbisik. Tapi aku tidak bisa mendengar ocehannya. Mungkin mereka sedang membicarakanku yang tidak-tidak. Contohnya seperti 'anak sma yang sedang berkencan dengan om-om'. Saat keluar toko pak Dewangga menarik tanganku, dan merangkul pundakku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[SHORTSTORY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang