Biana bersidekap dada, memandang penuh penghakiman pada dua pemuda yang kini duduk berhadapan dengan wajah sama-sama terluka. Siapa lagi, tentu Yuda dan Erwin. Entah siapa yang memulai, keduanya sudah terlibat pukul-pukulan saat Biana keluar kos. Membuatnya malu setengah mati karena orang-orang yang melihat mengira mereka bertengkar karena memperebutkannya.
Karena alasan malu itu lah Biana akhirnya memilih membawa mereka sekalian masuk ke kos untuk bicara. Duduk di teras depan saling berhadapan seperti petarung catur dan wasitnya.
"Kayak bocah." Adalah komentar pertama Biana untuk memecah hening di antara mereka. Ditujukan untuk keduanya.
"Dia duluan, Bi!" bela Erwin segera. Enggan dikritik atas sesuatu yang menurutnya bukan salahnya. Yuda duluan yang menyerang, dia cuma membela diri.
Biana menatap tajam si tersangka. Tak berkata apa-apa sampai hampir semenit seolah menunggu pembelaan dari pemuda itu. Namun Yuda tidak menyangkal, terlihat cukup santai sambil turut bersidekap, melayangkan senyum menyebalkan khasnya yang selalu tampak terlalu percaya diri bagi Biana. Membuat siapapun yakin kalau pengakuan Erwin adalah benar.
"Kenapa lo mukul dia?"
Jujur, sebenarnya Biana tidak peduli. Tapi demi menghindari interaksi dengan Erwin, dia memilih untuk fokus pada Yuda saja. Memanfaatkan topik yang diumpan si mantan tadi.
"Pengen aja. Kenapa?" jawab Yuda.
Songong.
Seperti biasa.
"Sosiopat," maki Biana pelan. Kesal sendiri karena sudah menaruh harap bahwa Yuda bisa diajak ngobrol.
Hampir saja ia lupa kalau yang di depannya kini adalah pemuda aneh dari Fakultas Teknik yang selalu ia hindari eksistensinya. Pemuda dengan tempramen aneh yang benar-benar tak Biana suka. Tersadar akan hal itu, Biana lantas lekas menghindar, segera beralih pada Erwin saja. Setidaknya Erwin masih bisa ia tangani.
"Lo mau ngapain kesini?"
Demi mendengar topik yang sudah berganti, Erwin segera memperbaiki ekspresi. Memelas dengan posisi duduk yang dia perbaiki. Ia bahkan mencoba memegang tangan cewek itu tapi segera ditepis oleh Biana. Erwin menghela napas. "Aku mau ngejelasin semuanya. Aku nggak mau putus, Bi."
"Tapi gue mau."
"Aku nggak setuju. Ara bukan siapa-siapa aku, Bi, kamu salah paham. Aku nggak selingkuh."
Terdengar decihan dari samping, dari Yuda, membuat Erwin terganggu dan sontak menatap tajam ke arah pemuda itu. Yuda nyengir, lantas dengan gerakan tangan meminta Erwin untuk melanjutkan lakon. Berniat kembali menonton.
"Gue nggak bilang lo selingkuh. I told you, i broke up with you cause i am the one who's cheating," balas Biana. Sengaja menekan pada setiap kata yang juga sengaja ia ucap dalam bahasa inggris. Berpikir mungkin ucapannya sebelumnya susah dipahami karena ia memakai bahasa Indonesia di saat fokus ilmu yang dipelajari Erwin adalah Bahasa Inggris. "Gue ga peduli lo selingkuh apa enggak, Er. Gue mau putus, cukup pahamin bagian itu aja."
"Ck!" Kembali, bak seorang komentator dalam acara reality show, Yuda mengambil peran dengan beraksi cukup lebay. Ia berdecak dan menggelengkan kepala sambil tak lupa bertepuk tangan. Memberi jempol pada Biana yang kini menatapnya malas. Dia tidak mengerti kenapa makhluk lusuh itu masih diam di sini dan menguping alih-alih ambil inisiatif pergi lebih dulu.
Sementara Erwin sudah tampak tak mau ambil pusing. Dia hanya fokus pada Biana yang tampak bersikeras untuk putus dengannya.
"Gue nggak bisa paham karena lo bohong, Bi. Lo nggak selingkuh, 'kan? Gue tau lo minta putus karena liat gue di kantin sama Ara. Tapi itu ga seperti yang lo pikir. Gue sengaja ke kantin bareng dia karena tau lo bakal kesana. Gue seenggaknya mau liat lo cemburu sekali aja, Bi, karena selama setahun ki--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Come Here, Butterfly!
Teen Fiction◍•ᴗ•welcome◍✧*。 "Told you, you're belong to me." "Shut the fuck up!" Capek-capek menghindar, ternyata takdir milih dia. Berasa jadi kupu-kupu yang terbang kesana-sini tapi ujungnya tetep mendarat ke bunga ... "Bunga bangke." ...