2.Herman Family

152 25 0
                                    

"BAPAK, GIAN, GITA SARAPAN!!"

Suara melengking Ibu Wati terdengar ke seluruh penjuru rumah sehingga membuat para penghuninya dengan cepat melipir ke meja makan.

"Bu, Gian mau sayur lodeh!" Anak kedua dari Bu Wati itu keluar dari kamar dengan seragam putih abu-abunya serta rambut yang masih basah dan kemeja yang tidak dimasukkan.

"Bu, Gita mau telur mata kucing!"

Anak bungsu Ibu Wati juga keluar dari kamar dengan penampilan yang sudah siap berangkat ke sekolah.

"Bu, Bapak kopi gulanya satu sendok!"

Suami Ibu Wati yang baru selesai memandikan hewan peliharaannya itu masuk ke dapur dengan sarung cap mangga serta singlet putih yang melekat di badannya. Pak Herman namanya.

Bu Wati dan anak pertamanya yang bernama Mbak Jannah datang menaruh lauk berisikan tempe dan tahu kuning serta sambal terasi di atas meja.

"Bapak tuh inget lambung jangan kopi terus," ingat Bu Wati tidak menerima permintaan Pak Herman.

"Ibu ini gimana toh, kopi itu kan teman singkong goreng di pagi hari buat Bapak. Kalau nyemil singkong goreng tapi nggak ada kopi ya kurang sip!" ujar Pak Herman dengan logat jawanya.

"Ouh iya kurang sip, tapi nanti kalau Bapak ngeluh sakit perut, Ibu nggak mau ngurusin!"

Seketika Pak Herman tidak bisa menjawab perkataan Ibu Wati. Memiliki riwayat lambung, jatah minum kopi Pak Herman dikurangi oleh Ibu. Mungkin di mata anak-anaknya Bapak adalah orang yang palis tegas namun di rumah sederhana itu yang paling menakutkan masih Ibu. Jarang marah namun sekalinya marah seisi rumah tidak berani bersuara.

Gian serta Gita menahan untuk tidak tertawa melihat Bapak mereka tidak bisa berkutik. Mbak Jannah yang sadar dengan kelakuan kedua adiknya langsung menegur.

"Kalian itu nggak sopan ngetawain orang tua. Entar kualat loh sama Bapak," tegur Mbak Jannah.

"Aduh Mbak siapa sih yang ngetawain Bapak?" Gian mengelak.

"Iya nih orang aku sama Mas Gian gak ngetawain Bapak kok," ujar Gita ikut mengelak. Namun mereka masih diam-diam terkikik.

Mbak Jannah hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kedua adiknya itu.

"Bu sayur lodehnya mana?" tanya Gian saat tidak melihat masakan favoritnya.

"Nggak ada, makan yang ada."

Kini gantian Gita yang menertawakan Gian hal tersebut membuat Gian menjitak kepala adiknya.

"Gak sopan ya ngetawain Mas!"

Gita mengelus-elus kepalanya yang di jitak oleh Gian.

"Bu, liat Mas Gian jitak kepala Gita!" adu Gita pada Bu Wati.

"Kamu tuh ya Gi sembarangan jitak kepala adik kamu. Gimana nanti kalau adik kamu jadi bodoh?"

"Emang sejak kapan Gita pintar Bu?"

"Ish!" Gita mengayunkan tangannya hendak memukul kakak laki-lakinya itu namun terhenti karena tatapan tajam Bu Wati.

"Makan sekarang juga!" gemas Bu Wati melihat keributan yang sudah terjadi di pagi hari.

"Telur mata kucing Gita mana Bu?"

Bu Wati menarik napas panjang lalu mengeluarkannya perlahan.

"Kucingnya belum bertelur, Gita! Makan yang ada!"

Gian dan Gita saling tatap satu sama lain.

"Agus belum bertelur ya, Mas?" bisik Gita pada Gian.

"Agus gak bisa bertelur."

"Kenapa?"

"Karena bertytyd."

Mbak Jannah yang mendengar obrolan nyeleneh adik laki-lakinya langsung menggeplak kepala Gian. Meskipun wajah Mbak Jannah terlihat seperti malaikat yang baik hati namun aslinya memiliki kesabaran setipis dompet Gian. Sekali ditegur tidak mendengarkan maka tangan cantiknya akan melayang.

"Apasih, Mbak."

"Apasih, apasih! Jangan kotorin otak Gita dengan kata-kata tidak berakhlak kamu," ujar Mbak Jannah dengan tatapan matanya yang tajam, setajam Kak Ros.

"Emang benar kan si Agus bertytyd?"

Mbak Jannah memelototkan matanya hendak melayangkan kembali tangan cantiknya ke kepala Gian namun dengan cepat laki-laki itu beranjak kabur.

"Air mana air mana! Akh pagi-pagi udah gerah!" kata Gian langsung melipir ke arah dapur.

Bapak dan Ibu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala tidak tahan dengan kelakukan ajaib Gian yang sering kali membuat Mbak Jannah naik darah dan sering mengusili Gita. Meskipun kelakuannya sangat ajaib, otak Gian sangat brilian. Sejak SMP Gian selalu mendapatkan beasiswa penuh dari sekolah membuat Bapak dan Ibu bisa menguliahkan Mbak Jannah sampai lulus. Bahkan saat ini Gian sudah mendapatkan tawaran beasiswa kuliah di luar negeri.

"Bapak kapan mau berhenti narik bentor? Bapak gak capek narik bentor terus?"

Mbak Jannah hanya ingin Pak Herman istirahat dan santai di rumah karena saat ini Mbak Jannah sudah mendapatkan pekerjaan yang bagus dan gajinya cukup untuk pendidikan Gita serta kebutuhan keluarga. Mbak Jannah merasa sudah waktunya menggantikan Bapak menjadi tulang punggung keluarga, karena selama ini Bapak sudah sangat bekerja keras untuk istri dan anak-anaknya.

"Capek dari mana toh nduk orang pelanggan Bapak ya cuma satu orang. Itu pun cuma senin sampai jum'at."

"Tapi Jannah maunya Bapak istirahat di rumah. Leha-leha, ngabisin waktu bareng Ibu."

"Ibu kan sibuk di laundry setiap hari."

Mbak Jannah beralih menatap Bu Wati dengan harapan bisa bantu membujuk Pak Herman untuk berhenti narik bentor, pekerjaan yang sudah Pak Herman tekuni selama puluhan tahun.

"Kenapa? Mau suruh Ibu tutup laundry juga biar bisa santai di rumah bareng Bapak?"

"Bukan gitu, Bu..."

"Mbak... dengerin Ibu ya... bekerja itu bukan beban untuk kami. Ibu sama Bapak bekerja bukan semata-mata hanya untuk menghasilkan uang saja. Tapi juga menikmati hidup yang tidak akan terulang kembali. Di tempat kerja, Ibu bisa ketemu temen, ngobrol, dan tertawa bersama begitupun juga Bapak. Setelah itu kami akan pulang ke rumah yang sama mengobati rasa lelah lalu berbagi cerita tentang hari ini," jelas Bu Wati dengan begitu lembut. Pak Herman juga mengangguk setuju.

"Tidak ada masa yang bisa terulang nduk, selagi masa kita bersama teman itu masih ada maka puas-puasin ngobrol dan main. Tidak ada yang tahu hari esok kita masih bisa bertemu lagi atau tidak," ujar Pak Herman seraya mengelus-ngelus kepala Mbak Jannah.

"Kamu juga jangan terlalu mikirin Bapak dan Ibu. Kami baik-baik saja dan sangat menikmati hidup. Jadi kamu juga harus menikmati hidupmu, lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Jangan jadikan Bapak, Ibu dan adik-adik sebagai tanggung jawab kamu. Bukan tanggung jawab seorang anak untuk mencari nafkah, selagi Bapak masih sehat, insyaallah masih mampu menanggung kamu dan adik-adik sampai menikah."

SLEEPYHEADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang