5.Empat Mata Memandang

120 15 1
                                    

Setelah dua jam tidak sadarkan diri, akhirnya Ana membuka mata. Di sampingnya ada Pak Dimas yang terlihat mondar mandir sembari menggit ibu jarinya. Terlintas ide jail di kepala Ana untuk mengerjai guru olahraganya itu.

"Aduh." Ana meringis memegang dadanya seolah-olah terasa sakit.

"Mana yang sakit?" Pak Dimas dengan sigap mendekati Ana dan membantu gadis itu untuk duduk. "Kita ke rumah sakit ya, Na?"

Di tengah kepanikan Pak Dimas, Ana mengeluarkan tawanya. Ia memukul-mukul lengan gurunya dengan tidak berdosa.

"Panik ya hahaha!!"

"Kamu ngerjain saya?" tanya Pak Dimas tak habis pikir.

"Nggak usah formal, lagian cuma ada kita berdua," ujar Ana menepuk lengan guru olahraga serta sepupu dari almarhum ibunya itu.

Ya, Pak Dimas atau Jaya Ardimasta adalah sepupu Ana yang berprofesi sebagai guru olahraga di sekolahnya. Tahun ini adalah tahun ke dua Dimas mengajar di Golden High School sebagai guru olahraga namun belum ada satu pun yang tahu hubungan mereka yang sebenarnya.

"Kamu bikin aku panik tau gak."

"Makanya jangan rese jadi guru."

"Aku rese?" Dimas menyentil dahi gadis yang 6 tahun lebih muda darinya itu. "Nilai olahraga kamu benar-benar anjlok Ana. Kamu mau gak lulus?"

Ana menghela napasnya pelan lalu menyenderkan kepalanya ke bahu tegap Dimas.

"Mas Dimas kan bisa kasih nilai yang bagus buat aku. Gak perlu nilai yang tinggi, pas kkm aja sudah cukup," kata Ana berusaha membujuk sepupunya itu.

"Itu namanya gak fair!" Dimas mendorong kepala Ana dari pundaknya.

Tanpa mereka sadari ada dua manusia yang mengintip dari luar jendela uks. Mata keduanya sama-sama membulat sempurna melihat interaksi Ana dan guru olahraga itu.

"Gue gak salah lihat kan, Ko?" tanya Gian memastikan.

"Nggak. Lo kan gak silinder."

Gian dan Miko berdiri tegak lalu saling menatap satu sama lain. Tatapan mereka mengisyaratkan seolah mereka memiliki pemikiran yang sama.

"Skandal guru dan murid!" kompak Gian dan Miko lalu menutup mulut mereka secara bersamaan.

*****

Gian dan Miko menatap Ana yang baru saja kembali ke dalam kelas sampai gadis itu duduk ke bangkunya. Mega dan Kristal langsung mendatangi bangku gadis itu saat melihatnya datang dengan lemas. Ya... meskipun setiap hari sahabatnya itu terlihat lemas tetap saja mereka khawatir setelah melihat Ana pingsan di lapangan tadi.

"Ana lo nggak apa-apa?" tanya Kristal duduk di bangku kosong samping Ana.

"Nggak ada cedera kan, Na?" tanya Mega yang ikut duduk di bangku depan meja Ana.

Ana menghela napas panjang... senang melihat kedua sahabatnya yang senantiasa peduli kepadanya meskipun terkadang terlihat dramatis dan minim akhlak.

"Kalian pasti khawatir ya sama gue?"

"Ya jelas kita khawatir, Na. Gue takut lo mati anjay, kalau lo mati yang bayarin makan siang gue di kantin siapa?" ungkap Mega dengan tidak berdosanya.

Perkataan yang baru saja Mega lontarkan mengundang atensi dari sosok gadis berhijab di sebelah Mega.

"Astagfirullah Megawati... kalau ngomong itu gak boleh sembarangan. Ucapan itu adalah doa! Memangnya kamu mau Ana beneran meninggal?" tegur Anisa, salah satu teman kelas Ana yang cukup dekat dengan Ana dkk. Anisa memang siswi yang paling alim dan sangat polos di kelasnya.

SLEEPYHEADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang