Rintik hujan dan gemuruh petir saling bersautan menemani kelamnya malam ini. Sinar kilat dan angin kencang juga ikut memperjelas semuanya.
Ia terduduk di samping jendela kamarnya dengan boneka beruang putih di pelukannya, menatap langit gelap yang terus-terusan menumpahkan air matanya.
Matanya berkaca-kaca.
Hatinya sakit, kepalanya pusing, matanya perih dan, pinggangnya nyeri.
Di pejamkan mata indah itu kuat-kuat, membuat air mata yang sedari tadi ditahannya tumpah dengan tak tahu dirinya.
Intinya, Glora lelah.
***
Sinar matahari mulai menampakkan dirinya saat jam menunjukkan pukul tujuh. Sinarnya yang benderang dan sedikit hangat mampu mengusik tidur nyaman Glora.
Matanya mengerjap, berusaha menghilangkan silau yang menerpa.
Setelah nyawanya terkumpul, dengan muka tidak ada semangat hidup, Glora berusaha berdiri tetapi, kepalanya kembali dilanda pusing bukan main.
Tangannya bergerak kasar memukul-mukul kepalanya agar pusing itu cepat hilang. Namun, nihil. Bukannya hilang, pusing itu malah semakin menjadi-jadi.
"MAAAAMMM," Teriak Glora sangat keras sampai-sampai terdengar dari lantai dasar dimana sang Mama berada.
"IYA GLOO, SEBENTAR." dengan kecepatan kilat, Gladis - Mama Glora sudah berada didepan kamar sang Anak.
"Mama masuk, ya?" Ragu. Takut anak kesayangannya mengamuk lagi.
"Masuk aja."
Tangan bergetar Gladis memutar kenop pintu. Saat pintu putih itu terbuka, terlihat pemandangan dimana Glora berusaha berjalan, sempoyongan.
"Eh eh, ati-ati." Gladis reflek berlari saat melihat sang anak akan terjatuh. Dipeluk cepat tubuh ringkih itu, lalu dibawanya ke ranjang yang berada di kamar itu.
"Nggak usah sekolah dulu."
Glora menggeleng cepat, masih dengan posisi merangkul Glora.
"Harus sekolah." Bantahnya.
"Masih sakit gini, Glo."
"Tetep mau sekolah, Mam. Glora nggak papa, Glora cuman pusing aja. Lagian itu udah biasa, kan." Bantah Glora, lagi.
Gladis menatap tajam anak semata wayangnya yang terus saja membangkang, "Nggak usah sekolah sehari dulu, nurut!"
Glora tersentak, Ia mendorong kasar tangan Gladis yang masih berada di pundaknya, sehingga wanita paruh baya itu hampir terjatuh jika oleng sedikit saja.
"GLORA MAU SEKOLAH! NGGAK USAH NGATUR-NGATUR GLORA! MAMA ITU CUMAN MAMA TIRI!" Habis sudah kesabaran Glora, ia menatap Gladis yang sudah menunduk dengan isak tangis tanpa belas kasihan sedikit pun.
"keluar," perintah Glora yang sama sekali tak dihiraukan Gladis,
"KELUAR!"
Gladis menyerah. Akhirnya, dengan badan bergetar hebat, ia keluar dari kamar anak tirinya.
Glora berbalik, menatap tajam Gladis yang susah payah menghentikan tangisnya, lalu ia berjalan pincang kearah pintu dan menutupnya kasar.
JEDOR
Gladis hanya bisa tersenyum maklum.
***
Pulang sekolah, langit menampakkan kegelapan nya, lagi. Petir kembali mengeluarkan suara bising, sinar kilat kembali melintasi langit, dan rintik hujan yang kembali berjatuhan walau setitik-setitik.
Glora mengadah kan tangannya, sepertinya hujan akan turun deras. Glora harus bisa cepat sampai rumah.
Setelah perdebatan sengit antara Gladis dan Glora tadi pagi, akhirnya Glora tetap nekat untuk bersekolah.
Ia hanya malas melihat muka Gladis jika berlama lama di rumah.
Entah punya dendam apa Glora.
Kakinya berlari cepat menghindari rintik hujan yang mulai turun deras, dan tangannya terangkat keatas untuk melindungi kepalanya agar tidak terkena air hujan.
Dua meter dari tempatnya, Glora bisa melihat ada sebuah halte bis yang bisa ia jadikan tempat berteduh saat ini, ia semakin mempercepat larinya.
Fikiran Glora berkelana dikejadian tiga tahun lalu. Dimana, ia menemani Sela - ibu kandungnya untuk check-in di rumah sakit, karena saat itu Sela sedang mengandung Adik Glora.
Ayah Glora dengan teganya membiarkan Glora, dan Sela kesusahan padahal saat itu juga sedang hujan.
Ayah Glora berselingkuh, sedangkan Glora dan Sela berjuang untuk Anak yang dikandung Sela-
Lamunan Glora buyar saat, pinggangnya diserang nyeri bukan main. Glora meringis.
Ia memperlambat larinya. Padahal, halte bis itu sudah di depan mata.
Tidak sadar mata Glora ber-air,
Salah satu fakta besar, Glora mengidap penyakit gagal ginjal. Lebih tepatnya kedua ginjal Glora tidak berfungsi.
Sejak empat tahun lalu, dimana Ayah dan Ibu kandung Glora meninggal karena kecelakaan, Glora langsung divonis gagal ginjal. Yang mungkin saja sudah ia derita dari lama tapi diketahui baru-baru ini.
Glora menggeleng, jangan sekarang. Glora tidak boleh mati sekarang. Masa depannya masih panjang. Glora belum membalas semua kebaikan Gladis.
Jangan sekarang, Tuhan.
Sebisa mungkin Glora berusaha berlari dengan memegangi pinggangnya, tak memperdulikan sekujur tubuhnya yang sudah basah kuyup.
***
Tok tok tok
"Ma .. a am .." dengan kesadaran yang sudah sangat menipis, Glora berusaha berteriak dengan suara putus-putus.
Tak ada sahutan. Hanya ada suara hujan dan petir yang semakin kencang.
Glora benar-benar sudah tidak kuat.
brukk
Glora pingsan.
Cklek.
Pintu terbuka, menampilkan wanita paruh baya dengan daster bermotif bunga yang melekat ditubuhnya dan sendok nasi ditangannya.
"YA ALLAH GLORA!"
***
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Gladis tak henti-hentinya menangis. Sudah berapa lama Glora pingsan, pikirnya.
"Lebih cepet pak!"
Sopir taksi itu menolehkan kepalanya, menatap Gladis, "Hujan nya deres banget, Bu .. bahaya kalo cepet-cepet."
"Ini nyawa anak saya taruhannya Pak! Bapak mau menyesal seumur hidup kalo gagal menyelamatkan anak orang?!"
"Iya iya, Bu." Sopir taksi itu mempercepat laju mobilnya.
Hampir lima menit perjalanan, Gladis tak henti-hentinya menangis. Membuat siapapun yang mendengarnya pasti tertekan.
"Bertahan ya, Nak."
"Lebih cepet Pak!"
Sang sopir menurut saja. Tetapi, tepat saat akan berbelok di tikungan, ada sebuah bis malam yang melaju tak kalah cepatnya.
Si Sopir yang saat ini pusing mendengar tangisan Gladis tidak bisa berbuat apa-apa selain berteriak.
Bruakkkkk
Kecelakaan itu terjadi tanpa bisa dicegah, dibawah guyuran hujan deras, dan didepan bis malam yang sudah sangat penyok tak beraturan, Glora dan Gladis pergi untuk selama-lamanya dari dunia.
End
Gajelas banget hasil gabutku😭
YOU ARE READING
Rintik Hujan (END)
Fiksi Remaja#CerpenSeries Gemercik air dari langit menenangkan hati siapapun yang mendengarnya, siluet matahari yang tertutupi awan hitam beserta gemuruh petir memperlengkap segalanya. Hujan ... Datangmu bagaikan surga untuk semua makhluk hidup. Dan, petirmu...