Cuplikan cahaya bagai flashlight kamera mengagetkanku. Suara menggelegar terdengar amat keras setelahnya. Kedua hal itu sukses membuatku terjaga.
Sekelilingku gelap gulita kecuali segaris cahaya di ujung sana. Tempat dimana pintu kamarku terbuka. Pasti cahaya itu datang dari lampu lorong yang memang setiap saat dinyalakan. Aku menghela napas. Baru saja aku berpikir yang tidak-tidak.
Sepertinya aku tertidur cukup lama. Aku masih ingat tadi siang, sebelum aku menutup mata, langit masih cerah. Matahari masih dengan gagahnya memancarkan cahaya terang. Udara pun masih terasa cukup panas. Itulah mengapa aku tidak menyalakan lampu maupun menutup pintu rapat-rapat.
Aku berjalan keluar kamar. Melirik jam dinding yang ternyata membenarkan dugaanku. Saat ini waktu menunjukkan jam tujuh lewat sepuluh menit. Sudah malam, pasti matahari pun telah tenggelam. Apakah dia sudah pulang?
Kulanjutkan dengan memeriksa dapur yang ternyata juga gelap persis kamarku. Aku tak mendapati makanan di atas meja makan ataupun peralatan dapur yang kotor bekas memasak. Memperkuat perkiraanku bahwa ia belum pulang.
Kuputuskan untuk menunggunya kembali. Aku melompat ke arah jendela yang tidak tertutup tirai. Memudahkanku melihat keluar rumah yang ternyata memang sedang turun hujan. Langit mendung di malam hari terlihat sangat kelam. Cahaya lampu jalan yang temaram serta lampu depan rumah yang menyala sepertinya cukup untuk sekedar menerangi jalanan yang basah.
Aku pun dapat mencium petrikor. Bau itu menenangkan sehingga aku dengan senang hati menghirupnya dalam-dalam. Berlama-lama menikmati oksigen yang masuk dalam rongga dadaku. Kemudian dengan perlahan menghembuskan karbon dioksida ke udara. Entah mengapa, aku malah kembali mengantuk. Oh, tapi tidak bisa. Aku harus tetap terjaga. Aku harus menunggunya pulang.
Jendela di depanku terkena rintik-rintik air hujan. Membuat pandanganku keluar sana mengabur. Ck, bagaimana ini? Bagaimana jika aku tidak bisa melihatnya pulang? Sayangnya, aku tidak bisa keluar rumah untuk sekedar menyeka air di jendela. Ia pasti akan marah padaku jika aku basah kuyup. Lagipula jendela itu akan kembali basah nanti.
Aku pun kembali terdiam. Hanya menyentuh permukaan kaca tebal yang ternyata terasa sedikit dingin. Mungkin efek air. Aku juga tak terlalu paham mengapa. Sambil melamun, aku hanya bisa berharap pada langit agar ia cepat pulang. Tentunya dalam keadaan baik-baik saja.
Saking sibuknya melamun, aku tidak sadar sosok tinggi itu mulai nampak di ujung jalan. Sesaat setelah tubuhnya diterpa cahaya lampu jalan, aku dapat langsung mengenali pemiliknya. Itu dia. Itulah seseorang yang tengah aku tunggu-tunggu kepulangannya.
Tetapi tunggu dulu. Mengapa ia tidak memakai payungnya? Mengapa ia hanya mengenakan jaket tebalnya? Mengapa ia berjalan perlahan sekali? Mengapa kepalanya tertunduk dalam? Tunggu, apakah dia menangis?
Aku mengais-ngais permukaan jendela. Berusaha mengalihkan perhatiannya dari jalanan beraspal yang becek. Rasa khawatir tiba-tiba menyeruak dalam dadaku. Apakah dia baik-baik saja?
Aku berusaha memanggilnya dengan suara kecil yang aku punya. Walau tidak ada gunanya, aku tetap memanggilnya berharap setidaknya ia dapat merasakan kehadiranku. Ekspektasiku mengharap ia menoleh. Mendapatiku yang menunggunya di balik jendela besar. Lampu ruang tamu yang menyala seharusnya memudahkannya menemukanku.
Tetapi itu tidak terjadi. Ia masih tetap bergeming. Oh, tidak, tidak. Ia masih tetap berjalan. Namun, pandangannya lurus pada sepatunya. Berjalan perlahan seperti tidak peduli tubuhnya basah terguyur hujan. Aku hanya semakin khawatir melihatnya.
Sampai akhirnya ia sampai di depan pintu. Membuka kuncinya dan masuk ke dalam rumah. Buru-buru aku berlari ke arahnya. Menunggunya melepas sepatu dan menyalakan lampu depan. Kemudian dengan segenap tenaga, aku melompat ke pelukannya.