Dipikir-pikir, sepertinya hidup Parka adalah yang paling sempurna.
Lahir tenang dalam keluarga kaya, berlimpah kasih sayang dari orang tua dan kedua kakak perempuannya, diberkati otak cerdas, serta paras rupawan. Tetapi, agaknya Parka itu berbeda.
Bagaimana menyebutnya, ya? Aku ... ah, tidak, hampir semua orang sepakat deskripsi paras Parka tidak selaras dengan kata tampan. Ia lebih cocok jika disebut manis. Sepanjang hidupku yang belum lama, Parka adalah lelaki paling manis, atau bahkan bisa kubilang cantik, yang pernah aku ketahui. Ia seseorang dengan kulit putih bersih. Dapat kuyakini ia merawatnya dengan baik. Pada wajahnya yang panjang dengan garis rahang yang sejujurnya tegas, terdapat mata besar berkilauan berteman bulu mata lentik. Alisnya tebal dan bagaimana hidungnya begitu pas. Serta bibir tipis mengkilap berwarna merah muda pastel. Kemudian saat ia tersenyum, rasanya aku benar-benar bisa terkena diabetes. Manis sekali. Parka terlihat sungguh memikat dengan penampilannya yang penuh pesona.
Mengangkat kepala dari lipatan tangan yang kubuat layaknya bantal, mataku sontak berfokus ke pojok depan kelas. Dari tempatku duduk saat ini, aku dapat melihat Parka tengah bercengkrama dengan teman-temannya. Entah pembicaraan apa yang membuat mereka terlihat begitu bahagia. Aura cerah ceria yang terpancar bahkan dapat kurasakan sampai sini.
Sebanyak yang aku tahu, cara Parka berbicara dengan suara lembutnya selalu menjadi favorit teman-temannya yang kebanyakan perempuan. Samar-samar pernah kudengar mereka rela berbicara pada Parka seharian penuh hanya untuk dapat lebih banyak mendengarkan suaranya yang memang buat candu.
Pintu yang tiba-tiba terbuka kencang membuatku cukup terusik. Kalau aku tidak salah ingat, tempat ini dipenuhi orang-orang berpendidikan. Apakah logis membanting pintu kayu jati itu setiap kali mereka membukanya?
"Hai, Parka cantik," sapa salah satu diantara mereka dengan suara mengayun. Semua orang juga tahu kalau ia bermaksud mengejek. "Hari ini wangi stroberi, ya?"
Terdengar tawa menyahut setelahnya. Suara-suara serak basah dan berat itu tentunya dominan suara laki-laki yang entah mengapa juga dapat kudengar dari sisi lain ruangan. Dekat tempat dudukku yang jauh dari pintu masuk.
Masih menatap diam-diam lelaki manis itu, dapat kulihat senyum yang sejak tadi diumbarnya seketika sirna. Diganti wajah datar dengan tatapan yang jelas menggambarkan kekesalannya.
Tangan Parka yang tengah menyilang tiba-tiba ditarik paksa namun detik itu juga lelaki Taurus itu menepisnya. Mengubah fokus matanya pada siapapun itu yang berdiri di sampingnya.
"Perawatan kuku di mana, Par? Bagi alamat salonnya, dong. Gue juga mau nih."
Aku tak tahu apa yang lucu, tapi suara tawa itu kembali terdengar. Lebih menjengkelkan dari sebelumnya. Di sisi lain, Parka masih bungkam. Mungkin sibuk memikirkan kata-kata menusuk apa yang dapat ia lontarkan pada mereka.
Kali ini dagu bagian bawahnya dijawil yang langsung membuatnya mengelak. Menengok cepat ke samping kemudian memukul tangan itu cukup kencang.
"Eh, santai," si pelaku tersenyum. Senyum kecil yang mencibir. "Nih, gue kasih tahu, ya. Cowok kalau berantem itu nonjok. Bukan nampar kayak banci."
"Maksud lo apa ngomong gitu?" kali ini salah satu teman Parka, seorang gadis berponi, menanggapi ucapan mereka.
"Apa? Banci?" lelaki itu balik bertanya. Menekankan kata 'banci' dengan sepenuh hati. Selanjutnya ia mengangkat dagu sedikit. Mengarah pada Parka. "Tanyain temen lo, lah. Emang yang banci di sini gue?"
Gadis lainnya, yang memiliki banyak bintik hitam pada wajahnya, bangun dengan lonjakan amarah. Siap menerkam lelaki kurang ajar yang telah menghina teman baiknya. Oh, aku yakin dia bahkan sanggup membuat tiap-tiap jiwa yang mencari gara-gara dengan temannya terkapar tak berdaya.