BAGIAN 2

124 9 0
                                    

Tiga sosok bayangan hitam menghentikan lesatan tubuhnya, ketika satu sosok tubuh berpakaian ungu yang mereka kejar mendadak hilang. Mereka berpandangan untuk beberapa saat.
"Mustahil dia dapat menghilang seperti setan!" dengus sosok berpakaian serba hitam yang bertubuh jangkung sambil mencari-cari.
"Aku sependapat dengan Kakang Walang Sungsang," sahut yang berbadan gemuk. "Dia pasti masih bersembunyi di sekitar tempat ini."
"Lalu apa yang akan kita lakukan?" tanya yang bertubuh sedang.
"Walang Geni! Dan kau, Walang Abang! Kalian sisir daerah sana. Dan aku akan bergerak ke sana. Jangan ada sejengkal semak belukar pun yang terlewati. Tugas kita adalah membunuh dan merampas Gelang Kencana dari tangannya!" tegas laki-laki jangkung yang bernama Walang Sungsang.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi ketiga laki-laki ini segera menyebar dengan arah berlawanan. Sementara laki-laki berbadan sedang yang bernama Walang Abang telah sampai di bawah sebatang pohon rindang. Dia meneliti, namun tidak ada tanda-tanda mencurigakan di situ. Namun baru saja bermaksud meninggalkan kerimbunan pohon, tanpa diduga-duga tiga buah benda berwarna putih melesat ke arah punggungnya.
Set! Set! Set!
Sebagai orang yang kenyang pengalaman dalam rimba persilatan, tentu saja Walang Abang merasakan datangnya bahaya yang mengancam. Sehingga tanpa banyak pertimbangan dia melompat ke samping dan terus berguling-guling.
Crap! Crap! Crap!
Ketiga benda putih keperakan yang ternyata senjata rahasia berbentuk ruyung dari perak tidak mengenai sasaran. Laki-laki berbadan sedang terbungkus pakaian hitam ini belum sempat menarik napas, saat serangan kedua menyusul. Sekali ini dia tidak tinggal diam. Maka secepat kilat cambuknya yang melilit pinggang diloloskan. Dan....
Ctar! Ctar! Ctar!
Ruyung-ruyung tajam berkilatan melesat cepat itu runtuh dan berpentalan ke tiga arah. Walang Abang tersenyum dingin sambil memandang ke atas pohon, arah senjata rahasia tadi berasal.
"Kepada yang bersembunyi di atas pohon! Harap tunjukkan diri secepatnya, kalau ingin selamat!" teriak Walang Abang penuh ancaman.
Sejenak Walang Abang menunggu, tetapi tidak ada tanggapan apa-apa. Sehingga membuat kesabaran laki-laki berbaju hitam ini sirna.
"Baiklah," geramnya. "Kalau kau tidak mau turun, aku punya cara untuk memaksamu!" Begitu habis ucapannya, Walang Abang mengayunkan cambuk di tangannya.
Wuuuttt...!
Sebelum cambuk itu menghantam batang pohon, mendadak melesat satu sosok bayangan. Kemudian dengan gerakan cukup menakjubkan, bayangan itu menjejakkan kakinya tidak jauh di depan Walang Abang. Ternyata orang yang mereka kejar tidak lain dari Ki Belong, adik kandung Ketua Padepokan Banteng Ireng. Laki-laki tua bungkuk ini memperhatikan orang yang bersenjata cambuk ini sekilas saja. Dan ternyata, dia memang tidak mengenal Walang Abang.
"Kulihat kalian tadi mengikuti aku! Dan mana kedua kawanmu lainnya?" dengus Ki Belong.
"Hei, Kisanak! Melihat badanmu yang bungkuk tentu kau yang bernama Ki Belong, adik Ki Janaloka. Kau tidak usah khawatir tentang kedua kawanku ini. Sebentar lagi mereka segera datang kemari!" jawab Walang Abang.
"Suiiitttt...!"
Walang Abang bersiul. Jelas, siulan itu sebagai suatu panggilan. Karena sekejap saja tampak dua orang berkelebat cepat ke arah mereka.
"Hmm.... Kalian sudah berkumpul. Sekarang coba jelaskan, siapa kalian? Dan mengapa mengikuti perjalananku?" gumam Ki Belong tegas.
Tampak ketiga laki-laki berpakaian serba hitam ini tersenyum dingin. Sikap mereka jelas sangat meremehkan.
"Kami adalah Tiga Pendekar Cambuk Maut dari Pajajaran...," sahut Walang Sungsang. "Aku Pendekar Pertama. Yang ini Pendekar Kedua, dan ini Pendekar Ketiga."
"Kalau tidak salah, kalian adalah jago-jago bayaran. Untuk apa datang jauh-jauh kemari dari Pajajaran?" tanya Ki Belong dengan kening berkerut.
Tentu saja tiga laki-laki berjuluk Tiga Pendekar Cambuk Maut terkejut, karena tidak menyangka laki-laki tua ini mengetahui tentang pekerjaan mereka.
"Hahaha...!"
Tiga Pendekar Cambuk Maut tertawa hampir bersamaan. Kemudian yang bernama Walang Geni datang menghampiri.
"Kunci pintu batu Gua Selarong ada pada Gelang Kencana, Ki Belong. Kami tahu, Janaloka telah menyimpannya selama puluhan tahun. Kami dengar, gelang itu memiliki bermacam-macam kesaktian. Tetapi yang terpenting, bila berhasil mendapatkan Gelang Kencana, kami akan menjadi orang yang paling kaya di kolong langit ini. Gua Selarong menyimpan harta karun yang tidak akan habis dimakan tujuh turunan," kata Walang Geni.
"Semua itu hanya omong kosong. Dan itu pun urusan Kakang Janaloka. Jadi mengapa kalian mengikuti aku?" dengus Ki Belong tidak senang.
Sekarang Ki Belong mulai menyadari, rupanya bukan ancaman dari dalam padepokan saja yang mengancam keselamatan saudara kandungnya. Kehadiran pihak luar pun menjadi ancaman tersendiri bagi kejayaan Padepokan Banteng Ireng. Lalu bagaimana orang luar mengetahui tentang Gelang Kencana. Bahkan menuduhnya seakan-akan Gelang Kencana ada padanya. Berbagai pertanyaan menyelinap di benak Ki Belong.
"Ki Belong! Kami tidak akan mengganggumu, jika kau bersedia menyerahkan Gelang Kencana pada kami Kurasa hanya itu saja yang dapat menyelamatkanmu dari bencana mengerikan!" ancam Pendekar Cambuk Maut Pertama.
Karuan saja Ki Belong menjadi sangat marah. Sebab dia sendiri sampai sejauh itu tidak mau tahu dengan Gelang Kencana. Sekarang terbayang dalam ingatan laki-laki bungkuk ini, bahwa sepuluh tahun yang lalu Gelang Kencana juga telah merenggut korban yang tidak sedikit. Bertahun-tahun gelang itu aman di tangan Ki Janaloka. Dan kini setelah sepuluh tahun pula, tampaknya Gelang Kencana akan meminta korban lagi. Ki Belong menjadi gelisah melihat kenyataan ini.
"Aku tidak dapat memberikan apa yang kalian minta!" tegas Ki Belong.
Tiga Pendekar Cambuk Maut terkejut mendengar pernyataan Ki Belong. Mereka sadar betul dengan kehebatan yang dimiliki Ki Belong. Tetapi mereka juga merasa yakin dengan kemampuan yang dimiliki.
Pendekar Cambuk Maut Kedua yang bernama asli Walang Abang melompat ke depan. Jelas sekali sekarang tatapan matanya mengandung permusuhan.
"Kami jarang mengulang ucapan kami, Ki Belong. Kau meninggalkan padepokan, pasti dengan maksud ingin menyelamatkan Gelang Kencana. Untuk itu, serahkan pada kami sekarang juga!"
"Kalian memang orang-orang sinting berotak miring! Aku meninggalkan padepokan semata-mata karena ingin mencari obat untuk kakangku Janaloka!" bantah Ki Belong, tegas.
"Heh?! Ternyata kau tidak mau mengakuinya juga? Kami akan memaksamu demi Gelang Kencana!" geram Walang Geni, Pendekar Cambuk Maut Ketiga.
Belum lagi gema suaranya lenyap, tubuh Walang Geni sudah berkelebat menerjang Ki Belong. Kakek berbadan bungkuk ini tentu tidak tinggal diam. Badannya dimiringkan ke samping, sehingga tinju yang meluncur deras ke bagian wajahnya hanya menghantam tempat kosong. Ki Belong cepat mengibaskan tangannya melepas serangan balik ke dada.
"Heh?!"
Pendekar Cambuk Maut Ketiga sempat terkejut juga mendapat serangan balasan yang tidak terduga-duga ini. Begitu cepat gerakannya, sehingga Walang Geni tidak sempat lagi menghindari. Sehingga....
Buk!
"Hugkh!"
Begitu kerasnya pukulan Ki Belong, sehingga membuat Pendekar Cambuk Maut Ketiga terbanting Ke tanah. Tampak jelas dari sudut bibirnya meneteskan darah, pertanda menderita luka dalam lumayan.
"Bangsat betul kau!" teriak Pendekar Cambuk Pertama.
Walang Sungsang segera memberi isyarat pada saudaranya yang bernama Walang Abang untuk melancarkan serangan secara bersama-sama. Dan tanpa banyak kata, kedua laki-laki berbaju hitam ini segera melancarkan serangan-serangan dahsyat. Sementara Walang Geni yang sudah bangkit kembali, ikut membantu serangan. Namun sebelum serangan-serangan itu datang, Ki Belong kini mendahului melakukan serangan.
"Hiya! Heaaa...!"
Wuuut!
Dengan mengandalkan jurus 'Menggapai Dewa Rembulan Menangis Di Balik Awan', satu loncatan dilakukan Ki Belong, Kedua kakinya berputar, sedangkan pukulannya menghantam ke tiga arah. Begitu dahsyat serangan Ki Belong, sehingga ketiga lawannya terpaksa mengandalkan kelincahan tubuhnya untuk menghindar. Namun kaki Pendekar Cambuk Maut Kedua yang bergerak lincah sempat terpeleset, sehingga tangan kanan Ki Belong sempat menghantam bahunya.
Duk!
"Aaakh...!"
Disertai keluhan tertahan, tubuh Walang Abang berputar tiga kali terkena hantaman Ki Belong.
Melihat kejadian ini, dua dari Tiga Pendekar Cambuk Maut jelas tidak tinggal diam.
"Hiyaaa...!"
Disertai teriakan keras menggelegak, mereka mengeluarkan jurus 'Lingkaran Hitam'. Langsung melesat ke udara. Secepat kilat, tangan mereka bagaikan kilat meraih hulu cambuk. Dengan cambuk itulah mereka mulai melakukan serangan ganas yang paling berbahaya.
Ctar! Ctar!
Suara lecutan mengiringi liuk-liukkan cambuk di tangan dua dari Tiga Pendekar Cambuk Maut. Terkadang cambuk berujung mata pisau itu memagut bagaikan ular. Atau membelit dan menampar ke arah Ki Belong. Sementara kakek berbadan bungkuk ini terpaksa menguras segenap kemampuannya untuk menghalau atau mengusir setiap serangan. Dalam hati harus diakui, bahwa serangan-serangan yang datang silih berganti ini memang cukup berbahaya dan mempersempit ruang geraknya.
"Hup!" Ki Belong tiba-tiba melenting ke udara. Kedua tangannya menghentak ke delapan penjuru. Maka segulung angin berhawa panas melesat ke arah dua lawannya. Tetapi, Walang Sungsang bertindak cerdik. Serangan cambuknya dibelokkan ke bagian kaki sebelum pukulan laki-laki bungkuk itu. Tindakan ini tentu di luar perhitungan Ki Belong. Sehingga kaki kirinya tidak sempat lagi diselamatkan.
Ctar! Sret! Sret!
Saat cambuk yang melilit kakinya dihentakkan Walang Sungsang, tidak dapat dicegah tubuh Ki Belong ikut terseret dan terpelanting.
"Wuaagkh...!"
Ki Belong jatuh terguling-guling. Tidak satu pukulan pun yang dilepaskan mengenai sasaran.
Sementara dia berusaha membebaskan kakinya dari lilitan cambuk. Tetapi pada saat itu Walang Sungsang telah menyentakkan cambuknya lagi.
Wuuut...!
Seketika tubuh Ki Belong melayang di udara dan ikut berputar sesuai putaran cambuk. Dalam keadaan seperti itu bahaya lainnya kiranya datang mengancam Walang Abang yang sudah bisa menguasai diri lagi bersama Walang Geni cepat mengebutkan cambuknya.
Maka kini dua cambuk datang dari kiri kanan. Setiap ujung cambuk-cambuk itu menusuk kebagian-bagian tubuh Ki Belong yang sangat berbahaya. Ki Belong yang tubuhnya terus melayang-layang di udara dan kehilangan keseimbangan, jelas tidak mungkin dapat bertindak leluasa.
Satu-satunya cara untuk membebaskan diri adalah dengan melumpuhkan Pendekar Cambuk Pertama. Saat itu juga, laki-laki tua bungkuk ini bersiap-siap melepaskan pukulan 'Pelita Gaib', salah satu pukulan andalan yang dimiliki. Sekali lagi, tangannya dikibaskan ke arah Walang Sungsang.
Wesss...!
Seketika seleret sinar merah meluncur deras ke arah Pendekar Cambuk Maut Pertama. Pada saat yang sama pula, ujung cambuk Pendekar Cambuk Maut Kedua dan Ketiga menghantam punggung dan lengannya.
Bret! Bret!
"Aaakh!" Ki Belong menjerit tertahan. Punggungnya robek dan mengucurkan darah. Di lain pihak.
Pendekar Cambuk Maut Pertama juga tidak mampu menghindari serangan Ki Belong tadi. Sehingga....
Glarrr!
"Aaa...!"
Telak sekali pukulan 'Pelita Gaib' menghantam perut Walang Sungsang. Maka ledakan keras disertai jeritan terdengar. Pendekar Cambuk Maut Pertama kontan terkapar dengan perut hancur menghitam. Nyawanya melayang seketika itu juga.
Ki Belong sendiri saat cambuk terlepas dari tangan lawannya langsung jatuh terhuyung-huyung, kehilangan keseimbangan. Setelah berhasil menguasai diri, segera dilepaskannya cambuk yang melilit kakinya. Dengan cambuk milik Walang Sungsang yang sudah tewas, Ki Belong mulai bersiap melakukan serangan balik. Sementara Pendekar Cambuk Maut Kedua dan Ketiga terkejut sekali melihat kematian saudara tertua mereka.
"Kau telah membunuh saudara kami, Tua Renta Bungkuk. Kau harus membayarnya sekarang juga!" bentak Walang Geni.
"Aku benci dengan orang serakah. Tetapi aku lebih benci lagi pada orang-orang yang banyak tingkah seperti kalian!" sahut Ki Belong bergetar.
"Keparat! Hiaaa...!" dengus Pendekar Cambuk Maut Ketiga. Bersama Walang Abang, Pendekar Cambuk Maut Ketiga segera melakukan serangan-serangan berbahaya.
Sementara Ki Belong jelas tidak mau mengulur waktu lagi. Segera disambutnya serangan dengan lecutan cambuk di tangannya. Sedangkan kakinya yang lincah terus bergerak menghindari setiap serangan. Setelah pertarungan berlangsung puluhan jurus, ternyata keadaan tetap tidak berubah jauh. Sehingga Walang Geni dan Walang Abang semakin bertambah berang saja.
"Ciaaat...!"
Sambil berteriak nyaring, Pendekar Cambuk Kedua dan Ketiga menggabungkan tangannya. Tampak jelas sekujur tubuh mereka berubah menegang. Keringat dalam waktu singkat telah membasahi pakaian mereka.
Ki Belong menyadari kedua lawannya bermaksud melepaskan pukulan ganas ke arahnya. Yang mengagumkan, sambil melepaskan pukulan ganas, cambuk di tangan mereka tidak pernah berhenti menggeliat.
"Hiyaaa...!" geram Ki Belong sambil mengerahkan jurus 'Pelita Gaib'nya. Ketika kedua tangan laki-laki bungkuk itu diputar ke udara, maka terlihat cahaya merah kembali berpijar dari kepalan tangannya.
"Hiyaaa...!" teriak dua dari Tiga Pendekar Cambuk Maut pula, tidak mau kalah. Segera dikeluarkannya jurus 'Mambang Membara'!
"Hiyaaa...!"
Wus! Wus...!
Glar! Glarrr!
Segulung angin kencang menebar sinar merah dan sinar hitam bertemu di tengah-tengah jalan, sehingga menimbulkan ledakan-ledakan keras menggelegar. Sekejap itu juga, tampak tiga sosok tubuh berpelantingan dengan arah berlawanan. Akibat pertemuan dua kekuatan dahsyat tadi, memang cukup membuat masing-masing lawan menderita luka dalam yang tidak ringan.
Ki Belong segera duduk bersila, menghimpun hawa murni untuk menyembuhkan luka dalam yang dideritanya. Sambil menyeka cucuran darah yang mengalir di sudut-sudut bibirnya, dia bangkit berdiri.
Begitu melihat kedua lawannya masih belum mampu bangkit juga, Ki Belong tidak menyia-nyiakan kesempatan. Kembali tenaga dalamnya dihimpun. Dan secepat kilat dilepaskannya pukulan kedua arah.
Wes! Wesss...!
Tidak kepalang tanggung, kali ini dua leret sinar langsung melesat ke arah Walang Geni dan Walang Abang yang baru saja berusaha bangkit.
"Heh?!" Dua dari Tiga Pendekar Cambuk Maut hanya terperangah saja. Mereka sudah tidak sempat menghindari serangan. Sehingga....
Glarrr!
"Aaa...!"
"Aaa...!"
Dua jeritan kesakitan terdengar mewarnai ledakan keras menggelegar. Pendekar Cambuk Maut Kedua dan Ketiga terlempar. Begitu mencium tanah, jiwa mereka sudah melayang. Ki Belong menarik napas dalam-dalam.
Dia merasa dirinya telah kehilangan tenaga, sehingga sekujur tubuhnya terasa lemas. Namun ada pemandangan lain yang menarik perhatiannya. Maka segera dihampirinya mayat salah satu bekas lawannya.
"Secarik pesan ditulis di atas daun lontar! Aku harus tahu, apa yang terjadi di balik semua ini," kata batin Ki Belong.
Kakek tua berbadan bungkuk ini selanjutnya segera membaca pesan yang tertulis di atas daun lontar. Dan wajahnya berubah merah padam, begitu selesai membaca.
"Siapa Bayangan Hitam? Saudaraku benar-benar dalam keadaan terancam bahaya. Aku harus menyelamatkannya!" desis Ki Belong.

***

195. Pendekar Rajawali Sakti : Petaka Gelang KencanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang