BAGIAN 4

107 9 0
                                    

Secara diam-diam, Ki Belong menyelidiki apa yang membuat kakak kandungnya sakit seperti itu. Apalagi dia berkeyakinan kalau Ki Janaloka tidak mungkin sakit karena penyakit biasa.
Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya. Sampai akhirnya, Ki Belong menemukan bukti kalau ternyata dalam makanan yang disuguhkan pada Ki Janaloka mengandung racun yang dapat membunuh seseorang secara perlahan-lahan.
Maka, apa yang dicurigainya selama ini ternyata cukup beralasan. Jelas sekali ada seseorang yang sengaja meracuni kakangnya. Hanya saja, dia tidak tahu siapa yang telah melakukannya. Pada siapa dia harus curiga?
Dalam kemarahan meledak-ledak, Ki Belong segera menemui juru masak padepokan yang masih terhitung murid-murid Ki Janaloka sendiri. Ternyata orang yang dicari-carinya sudah tidak ada di tempat.
Di belakang Padepokan Banteng Ireng, Ki Belong bertemu Sura Pati, murid tertua di padepokan ini. Pemuda itu memandang heran ketika melihat kehadiran laki-laki tua bungkuk ini. Karena, tidak biasanya Ki Belong menelusup sampai di belakang padepokan.
"Kulihat Paman Guru seperti sedang mencari seseorang. Ada apa gerangan?" tanya Sura Pati, berusaha menutupi keheranannya.
"Aku mencari juru masak. Apakah kau melihatnya?"
"Sudah beberapa hari Paman tidak pulang ke padepokan ini. Dalam beberapa hari itu, telah banyak perubahan yang terjadi di tempat kita," jelas Sura Pati prihatin.
"Maafkan aku, Paman. Selama ini aku mencurigai Paman telah melakukan sesuatu, sehingga membuat Guru sakit. Ternyata, kecurigaanku tidak beralasan."
"Apa maksudmu? Aku bertanya padamu, dimana juru masak kita?" desak Ki Belong tegang.
"Juru masak kita menghilang sejak kemarin. Aku mencurigainya kalau dia telah membubuhkan racun dalam makanan Guru. Mungkin dugaanku benar. Terbukti, dia melarikan diri," jelas Sura Pati.
"Hm.... Dia melarikan diri, atau bisa jadi dia dibunuh seseorang...," gumam kakek berbadan bungkuk ini curiga.
"Maksud Paman?"
"Boleh jadi Panaran hanya dipergunakan sebagai alat, atau dijadikan kambing hitam. Dengan begitu, pelaku yang sebenarnya tidak ketahuan oleh kita," duga Ki Belong.
Sura Pati langsung terdiam. Dia sendiri tidak pernah berpikir sejauh itu. Kalau benar dugaan Ki Belong, lalu siapa sebenarnya yang menginginkan kematian gurunya? Mungkinkah Kanigara?
Rasanya sangat mustahil. Sebab adik seperguruannya itu hampir tidak pernah berhenti memikirkan keselamatan gurunya. Boleh jadi pada murid-murid lain yang menghendaki kematian Ki Janaloka. Kalau benar, mungkinkah orang itu tidak lain dari Buntaran? Sebab, selama ini dia selalu iri melihat kemajuan silat yang dimiliki saudara-saudara seperguruan.
"Paman Guru?"
"Hmm...," Ki Belong menggumam tidak jelas.
"Aku curiga pada Buntaran. Bagaimana kalau kita menanyakan hal ini padanya?" usul Sura Pati.
"Mencurigai seseorang tanpa bukti-bukti yang kuat, tidak bedanya dengan fitnah. Jika kau mau kuajak bekerja sama, sebaiknya bawa pergi gurumu ke sebuah tempat yang aman!" sergah Ki Belong seraya memberi saran.
Sura Pati terkejut mendengar keputusan Ki Belong. Bagaimanapun, padepokan tidak boleh ditinggalkan oleh pimpinan. Sebab selain mereka akan berhadapan dengan musuh dalam selimut, juga musuh dari luar pun dapat muncul tiba-tiba.
"Kau kelihatan ragu, Sura Pati?" tanya Ki Belong, penuh teguran.
"Aku bukannya meragukan niat baik Paman. Tetapi, bagaimana jadinya nanti jika kita tinggalkan padepokan ini? Orang-orang yang menginginkan Gelang Kencana tidak sedikit," kilah Sura Pati.
"Bukan tidak mungkin orang yang meracun saudaraku memang menghendaki Gelang Kencana juga!" tebak Ki Belong.
"Kalau begitu kita putuskan untuk mencari bangsat tengik yang telah meracuni guruku!" tandas Sura Pati.
Ki Belong mengangguk setuju. Mereka kemudian berpisah, untuk melakukan tugas masing-masing.

***

Malam semakin larut saat terdengar suara rintihan dari dalam sebuah kamar di Padepokan Banteng Ireng. Memang, yang merintih-rintih itu tidak lain dari Ki Janaloka yang tengah dalam keadaan sekarat. Sementara Mayang Sari, istri keduanya, tampak duduk di samping pembaringan sambil menangis tersedu-sedu.
"Jangan menangis, Istriku. Tabahlah.... Aku merasa tak sanggup lagi untuk bertahan lebih lama. Satu pesanku, selamatkan Gelang Kencana ini dari tangan jahat siapa pun!" desah Ki Janaloka dengan suara tersendat-sendat dan lirih.
Laki-laki tua yang tubuhnya hanya tinggal kulit pembalut tulang ini segera mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari balik pakaiannya. Diserahkannya bungkusan itu pada Mayang Sari.
"Cepat simpan baik-baik barang pusaka itu, sebelum orang lain dalam padepokan ini melihatnya!" perintah Ki Janaloka, melanjutkan.
Mayang Sari segera melakukan apa yang diperintah suaminya.
"Kakang Janaloka.... Bersikap tegarlah, Kakang akan segera sembuh dari penyakit yang Kakang derita!" hibur Mayang Sari.
"Tidak mungkin," bantah Ki Janaloka. Kepalanya pun menggeleng lemah tanpa tenaga.
"Sejak aku sakit, pandanganku semakin mengabur. Bahkan sekarang, sudah tidak dapat melihat apa-apa sama sekali. Lidahku kelu. Otakku sulit berpikir. Aku merasa saatnya sekarang telah tiba. Jagalah Gelang Kencana baik-baik. Sebab jika sampai jatuh ke tangan orang salah, hanya akan menimbulkan malapetaka saja!"
"Kakang, jangan bicara begitu!" sergah Mayang Sari.
"Aaa...!" Ki Janaloka tampaknya ingin mengatakan sesuatu. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya berupa jeritan kesakitan, disertai keluarnya darah dari mulut serta hidung.
"Kakaaang...!" teriak Mayang Sari, ketika melihat kepala suaminya terkulai.
Jeritan Mayang Sari seketika membuat murid-murid Padepokan Banteng Ireng tersentak kaget. Mereka segera berlari menuju kamar gurunya. Yang pertama sampai di tempat itu adalah Ki Belong dan Sura Pati, kemudian menyusul pula Kanigara. Mereka berebut memeluki jasad gurunya. Sedangkan Ki Belong hanya berdiri mematung dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak kusangka kau pergi secepat itu, Kakang. Kematianmu tetap menjadi teka-teki bagiku. Setidaknya sampai kejap ini!" desis Ki Belong, lirih.
"Aku yakin Buntaran dan Panaran yang telah meracuni guru kita!" teriak Kanigara tiba-tiba.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Sura Pati dengan mata melotot.
"Sudah dua hari ini aku mencari mereka. Ternyata mereka melarikan diri!" dengus Kanigara.
"Kalau begitu kita harus mencari mereka!" tegas Sura Pati.
"Serahkan semua itu padaku, Kakang. Biar malam ini juga aku yang mencarinya!" ujar Kanigara menyanggupi.
Baik Ki Belong maupun Sura Pati tidak kuasa mencegah, karena Kanigara sudah telanjur meninggalkan kamar duka. Entah mengapa, Ki Belong merasa tidak enak hatinya. Dia jadi teringat tentang Gelang Kencana yang telah disimpan almarhum selama bertahun-tahun. Entah, di mana barang itu sekarang. Laki-laki ini ingin menanyakan hal itu pada Mayang Sari, tetapi takut orang-orang yang hadir malah mencurigainya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Paman Guru?" tanya Sura Pati, minta petunjuk.
"Sebagai murid perintahkan agar tetap bersikap waspada. Sementara itu, coba bawa Mayang Sari agar beristirahat!" perintah Ki Belong.
"Tidak. Aku ingin menunggui suamiku!" bantah Mayang Sari, keras.
"Aku memahami bagaimana perasaanmu pada kakangku. Tetapi, kau harus mematuhi aturan yang berlaku di padepokan ini," tekan Ki Belong.
Sebentar wanita itu menatap mayat suaminya. Lalu tubuhnya beringsut.
"Baiklah," desah Mayang Sari.
Tidak lama kemudian Sura Pati sudah membimbing Mayang Sari menuju ke kamarnya, tepat di sebelah kamar tempat jasad Ki Janaloka terbaring. Setelah selesai mengantar Mayang Sari ke kamar, Sura Pati segera menuju pendopo depan. Namun baru saja di tengah jalan....
"Auuuwww...! Tolooong...!"
Tiba-tiba saja terdengar jeritan seorang perempuan... Sura Pati langsung menoleh ke arah datangnya suara. Sekelebatan, dia melihat sebuah bayangan hitam melesat sambil memanggul sesosok tubuh ramping.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Sura Pati langsung melakukan pengejaran. Akan tetapi setelah sampai di bagian belakang padepokan, dia kehilangan jejak. Sura Pati terus berusaha mencari, ternyata usahanya hanya sia-sia saja.
Khawatir dengan nasib Mayang Sari, cepat Sura Pati berlari menuju kamar istri gurunya. Setelah sampai di sana, dia jadi terkejut karena Mayang Sari tidak berada di kamarnya.
"Gila! Malapetaka apa ini namanya?" rutuk Sura Pati. "Aku harus melaporkan kejadian ini pada Paman Guru!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Sura Pati segera menuju kamar duka. Langsung ditemuinya Ki Belong. Kakek berbadan bungkuk ini agak terkejut melihat kedatangan Sura Pati yang begitu cepat.
"Ada apa, Sura?" tanya Ki Belong.
"Celaka, Paman! Mayang Sari baru saja diculik seorang berpakaian hitam!"
"Apa?!" sentak Ki Belong. Sama sekali Ki Belong tidak menduga ada seseorang yang begitu berhasrat menculik Mayang Sari. Yang membuatnya terheran-heran, waktunya hampir bersamaan pula dengan meninggalnya Ki Janaloka.
Apa tujuan si penculik itu kalau bukan menginginkan Gelang Kencana? Pastilah dia beranggapan, Mayang Sari mengetahui tempat penyimpanan benda yang mengandung kesaktian itu. Padahal sampai akhir hayatnya, Ki Janaloka tidak pernah bercerita di mana Gelang Kencana tersimpan walaupun pada adik kandungnya sendiri.
"Kita benar-benar menghadapi tantangan yang sangat berat. Dalam keadaan berkabung seperti sekarang ini, sebaiknya kita tunda pembicaraan terhadap hal-hal yang menyangkut persoalan duniawi. Besok setelah menguburkan Kakang Janaloka, kita boleh membicarakan urusan ini lebih lanjut," ujar Ki Belong, memberi pengarahan.
"Tidak bisa begitu, Paman Guru. Kita sama-sama kehilangan orang yang sangat berharga bagi kita. Guru telah mangkat. Jika orang luar sampai tahu, mereka akan berlomba-lomba kemari menyerang kita...," sergah Sura Pati.
"Bagaimana bisa terjadi?" sela Ki Belong sengit.
"Mengapa tidak? Orang-orang itu pasti akan meminta Gelang Kencana pada kita," jelas Sura Pati khawatir.
Ki Belong tersenyum sedih. Dia merasa, apa yang dikatakan Sura Pati memang benar. Dia baru ingat bahwa kabar tentang kehebatan Gelang Kencana telah tersebar luas. Buktinya, laki-laki bungkuk ini telah berhadapan dengan Tiga Pendekar Cambuk Maut belum lama berselang.
Jadi memang tak mustahil orang-orang rimba persilatan akan menyerbu ke Padepokan Banteng Ireng setelah mendengar kematian Ki Janaloka. Karena mereka menganggap, pemegang sang gelang itu sudah tak ada lagi, sehingga bebas untuk diperebutkan.
"Kurasa kata-katamu memang benar, Sura. Kau tetaplah berjaga-jaga di sini. Aku akan mempersiapkan seluruh kekuatan yang kita punya untuk menjaga segala kemungkinan!"
Di halaman depan Padepokan Banteng Ireng murid-murid almarhum Ki Janaloka yang sedang dirundung duka tampak tetap bersikap waspada. Beberapa penjaga malam mondar-mandir melaksanakan tugasnya. Tetapi di luar sepengetahuan mereka, di balik pagar bambu yang mengelilingi padepokan tampak bayangan putih berkelebat mendekati pintu utama.
Begitu tiba di depan pintu pagar yang terkunci, bayangan putih ini langsung melompati pagar. Gerakannya ringan tidak menimbulkan suara. Sehingga saat menjejakkan kakinya, tidak ada seorang pun yang mendengar. Akan tetapi, sial bagi sosok berbaju rompi putih ini. Karena dari arah samping padepokan, tampak sesosok tubuh berkelebat ke arahnya.
"Berhenti...!"
"Heh...?!" Pemuda berbaju rompi putih yang tidak lain Pendekar Rajawali Sakti ini tersentak mendengar teriakan. Kepalanya langsung menoleh. Tampak seorang laki-laki tua berbadan bungkuk menghampirinya.
"Jelaskan siapa kau, Kisanak? Mengapa datang kemari dalam suasana malam pula?" tanya kakek berpakaian ungu yang tidak lain Ki Belong.
Pada saat yang sama, muncul beberapa murid padepokan setelah tadi mendengar teriakan. Mereka langsung mengurung Pendekar Rajawali Sakti dengan senjata terhunus.
"Namaku Rangga," jawab pemuda berbaju rompi putih memperkenalkan diri. "Aku datang dengan tujuan baik. Yaitu, ingin memperingati Ketua Padepokan Banteng Ireng tentang bahaya yang mengancam karena Gelang Kencana."
"Heh...?! Kau tahu juga tentang benda keparat itu?! Tapi perlu kau ketahui, Kakang Janaloka baru saja mangkat karena diracun oleh seseorang!" jelas Ki Belong.
Suaranya penuh getaran, pertanda tengah diliputi rasa sedih yang mendalam. Rangga terkejut mendengar penjelasan kakek berbadan bungkuk itu. Ternyata, kedatangannya terlambat dan dalam waktu yang salah pula.
"Aku ikut sedih mendengarnya. Kalau begitu, aku mohon diri, Paman...!" ucap Rangga, lirih. Pendekar Rajawali Sakti berbalik. Namun baru beberapa tindak melangkah....
"Tunggu...!" cegah Ki Belong.
"Ada apa. Paman?" tanya Rangga sambil berbalik kembali.
Ki Belong merasa tidak tahu, apa yang harus dikatakannya. Pemuda berompi putih yang mengaku dirinya bernama Rangga ini belum dikenalnya sama sekali. Namun setelah melihat tingkah laku serta sebilah pedang berhulu kepala burung rajawali, laki-laki tua ini merasa yakin kalau inilah orangnya yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, sebagaimana yang sering didengarnya.
"Katakan padaku, benarkah kau Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Ki Belong.
Rangga hanya tersenyum. Dia membungkuk menjura hormat.
"Kalau hanya julukan kosong yang dimaksud, kurasa memang tak salah, Paman. Tetapi yang lebih penting buatmu, kedatanganku hanya ingin memberi peringatan bahwa sebaiknya mulai saat ini berhati-hati. Sebab banyak yang menginginkan Gelang Kencana," ingat Rangga, pelan suaranya.
Ki Belong semakin yakin kalau pemuda dihadapannya adalah Pendekar Rajawali Sakti. Dan dia juga pernah mendengar kalau Ki Janaloka kakangnya, berniat menitipkan Gelang Kencana pada pendekar yang paling disegani di jagat ini. Tapi entah kenapa, sampai akhir hayatnya, Ki Janaloka tak melaksanakan niatnya. Mungkin karena belum mengenal Pendekar Rajawali Sakti secara dekat.
"Apa yang kau katakan memang benar, Rangga. Hanya, mungkin kami tidak mungkin dapat menghadapi mereka tanpa bantuanmu. Apalagi mengingat sampai sekarang ini kami tidak tahu di mana Kakang Janaloka menyimpan gelang yang menghebohkan itu. Tapi kabar yang kudengar dia memang ingin menitipkannya padamu...!" jelas Ki Belong polos.
"Menarik sekali kalau begitu," timpal Rangga.
"Sebaiknya jika tidak keberatan, masuklah kepondok kami. Aku akan menceritakan semuanya," janji Ki Belong.
Setelah Pendekar Rajawali Sakti mendengar penjelasan kemelut yang terjadi di Padepokan Banteng Ireng serta tentang Gelang Kencana, ternyata persoalan yang harus dihadapi Ki Belong memang tidak ringan. Namun, Rangga merasa ada sesuatu yang terasa ganjil.
Pertama, mengenai menghilangnya Buntaran dan Panaran. Mustahil kedua orang ini pergi begitu saja, tanpa diketahui murid-murid lainnya. Lalu, mengapa Kanigara tega meninggalkan padepokan pada saat dalam suasana berkabung, walaupun dengan alasan ingin mencari orang yang telah meracuni gurunya.
"Paman! Yang mula-mula kita lakukan besok adalah mencari dua murid padepokan ini. Aku punya cara tersendiri untuk membuktikan, apakah mereka bersalah atau tidak," jelas Rangga hati-hati sekali.
"Apa pun yang akan kau lakukan, aku setuju saja. Aku berharap mudah-mudahan tidak ada yang mendengar kematian Kakang Janaloka. Dengan begitu, berarti persoalan yang akan dihadapi tidak semakin bertambah berat saja," sahut Ki Belong.
"Aku pun berharap demikian, Paman," desah Rangga. "Dan kalau begitu aku mohon diri dulu, Paman...."
"Jangan, Rangga. Kumohon, menginaplah disini barang semalam Aku mohon, Rangga...," pinta Ki Belong.
Melihat sinar mata Ki Belong yang penuh harap, Rangga jadi tidak enak juga kalau tidak meluluskannya. Bahkan kemudian orang tua ini membawa Rangga untuk menempati sebuah kamar.
Setelah berbasa-basi sebentar, Ki Belong kembali menuju ke kamar duka, tempat murid-murid Padepokan Banteng Ireng berjaga-jaga di sana.
Sementara sejak memasuki kamar berukuran sedang yang telah disediakan untuknya, Pendekar Rajawali Sakti tidak langsung tertidur. Pikirannya menerawang pada beberapa persoalan yang baru saja diceritakan Ki Belong. Dia berusaha menghubung-hubungkan antara persoalan yang satu dengan yang lain.
Dalam suasana yang serba dingin itu, tiba-tiba Rangga dikejutkan oleh terciumnya bau busuk seperti bangkai manusia. Rangga berusaha mempertegas penciumannya.
"Mustahil orang yang baru meninggal sudah menebar bau busuk seperti sekarang ini. Pasti ada yang tidak beres telah terjadi di sekitar padepokan ini...," gumam Rangga, menduga-duga.
Rangga segera bangkit berdiri, dan berjalan keluar. Baru beberapa langkah, Pendekar Rajawali Sakti telah bertemu Sura Pati. Walaupun Ki Belong telah memberitahukan kehadiran Pendekar Rajawali Sakti kepadanya, namun Sura Pati sempat terkejut juga.
"Kaukah yang bernama Rangga?" tanya Sura Pati. Melihat caranya memandang, tampaknya Sura Pati selalu curiga pada siapa pun.
"Ya...!" jawab Rangga singkat.
"Peraturan di padepokan ini, setiap tamu di atas tengah malam harus tidur," jelas Sura Pati, dingin.
"Aku bukan tamu yang datang untuk melihat-lihat, Sobat. Apakah kau tidak mencium adanya bau busuk ini?" tanya Rangga.
Sura Pati mengendus-endus. Cuping hidungnya kembang-kempis seakan meragukan apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti.
"Benar ucapanmu. Padahal, sore tadi bau busuk seperti ini tidak tercium sedikit pun. Lalu, apa kesimpulanmu tentang hal ini?"
"Aku tidak dapat menyimpulkan apa-apa, sebelum menemukan sumber bau ini. Kalau kau tidak keberatan, sebaiknya kita mulai melakukan pemeriksaan bersama-sama," saran pemuda berbaju rompi putih.
"Aku setuju saja," sahut Sura Pati menyanggupi.

***

195. Pendekar Rajawali Sakti : Petaka Gelang KencanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang