Happy reading, Guys.
.
.
.Sesuatu berhasil mengusik tidurku. Perlahan aku menggerakkan kelopak mata untuk melihat siapa yang berani mengganggu tidur nyenyak seorang Dizka.
"Aku masih ngantuk. Sebentar lagi, ya, Ruhi." Aku kembali memejamkan mata.
Meong
Suara Ruhi membuatku terpaksa membuka mata, menatap Ruhi yang sudah terduduk nyaman di atas dada.
"Kenapa?" Orang lain akan semakin menganggapku gila karena berbicara dengan seekor kucing.
Meong
Melihat Ruhi mengibaskan ekornya, aku mengangkatnya dan mengubah posisi menjadi duduk, bersandar di kepala ranjang. Tiba-tiba dia bangun dari pangkuan, meloncat ke lantai dan berguling-guling di sana. Tingkah Ruhi akan membuat siapa saja gemas.
Meong
Aku mengedarkan pandangan mengamati ruang persegi yang biasa disebut kamar. Begitu pandangan jatuh pada jam dinding, bola mata membulat sempurna.
"Ya Tuhan, jam setengah enam!"
Aku bergegas turun dari ranjang, berlari menuju kamar mandi. Bisa-bisanya aku tidak mendengar alarm berbunyi. Beruntungnya Ruhi mengganggu tidurku.
Membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit untuk bersiap-siap. Setelah mematut diri di depan cermin, aku segera menyambar tas sekolah di kursi belajar, berlari keluar kamar.
Langkah kakiku melambat begitu sampai di meja makan. Perlahan aku menarik kursi, duduk tenang. Entah mengapa rasa sesak mulai menyerang dada. Lebih baik aku segera mengambil sarapan sehingga bisa bergegas meninggalkan meja makan. Tetapi, baru satu suap makanan masuk ke dalam mulut, aku beranjak dari kursi. Sungguh rasanya tidak kuat dengan pemandangan ini setiap hari.
"Bik, Dizka berangkat sekarang!" teriakku sembari berlari keluar rumah tanpa menunggu jawaban dari Bik Jum.
Apakah setiap pagi aku akan terus seperti ini? Bahkan Ruhi yang sedari tadi mengikuti, kini terduduk di teras sembari menatap sedih seakan paham situasi di sekitarnya. Mencoba mengalihkan pikiran, aku memalingkan wajah dan berlari menuju garasi di samping rumah.
Setelah berhasil mengeluarkan sepeda dari garasi, aku mengayuh sepeda dengan kuat agar segera keluar dari pekarangan rumah. Tanpa sadar cairan hangat mulai mengalir di pipi, dengan kasar aku mengusapnya.
Sekitar lima belas menit aku mengayuh sepeda. Di depan sana, terpampang jelas gerbang sekolah tempatku menimba ilmu, nampak sepi. Pelan-pelan roda sepeda bergerak memasuki gerbang, berbelok ke arah kiri menuju tempat parkir.
Belakangan ini aku lebih suka berangkat lebih pagi karena ingin menghindari sesuatu yang berhasil mengoyak hati. Tatapan iba, kasihan, ucapan meremehkan, bahkan terlihat jijik. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa, maka pilihan terbaik adalah menghindar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ceritaku (bersama) Soul & Ruhi
Cerita PendekCeritaku (bersama) Soul & Ruhi ___________________________ Dalam rangka Anniversary dan Ulang Tahun Bunda Ary Nilandri, RAWS hadir dengan September Ceria yang berisi lomba cerpen/cermin. Event kali ini spesial karena menggunakan kata kunci dari mask...