Keesokkan harinya, hal tak terduga terjadi di kelas 11 MIPA 2. Semua siswa harus membereskan barang-barang yang ada di meja, mereka hanya diperbolehkan memegang bolpoin saja. Ya, ulangan mendadak. Dalia kesal dalam hati karena yang ia pelajari bukan mapel matematika, melainkan sejarah.
"Pagi-pagi buat otak ngebul," lirihnya pada Merva, teman sebangkunya.
Evans memperhatikan Dalia, dia tampak khawatir padanya. Dia menulis surat lalu menyuruh Doni untuk memberikannya pada Dalia. Dalia membacanya, "Jangan khawatir, lo pasti bisa." Kemudian, dia melihat ke arah Evans, saling melempar senyum lalu mengangguk pelan.
Ulangan telah berakhir, Dalia langsung pergi ke kantin untuk memulihkan energinya. Diikuti Evans bersama Reza dan Bagus.
"Kalo udah mikirin Dalia, lo nggak ada ruang buat mikirin yang lain," ucap Reza santai. Ia menepuk bahunya berkali-kali sembari tertawa kecil.
"Aih, dasar," dercak Evans yang risih tangan Reza menyentuh bahunya.
Evans sengaja tidak duduk di samping Dalia. Namun, Dalia menghampirinya dengan wajah kesal dan lapar. Ditambah Dalia yang melihat Fayola. Rasanya ingin menjambak rambut keras-keras padahal Fayola tidak melakukan apa pun, hanya tatapan sinis dan jijik.
"Kenapa bukan sejarah? Gue udah berharap ulangan sejarah." Dalia mendengkus kesal.
"Makannya jangan banyak berharap," timpal Evans dengan tawaan kecil.
"Doain aja nanti ulangan sejarah, tapi gue nyontek ya," balas Reza dengan asal.
"Ogah, gue nggak mau ulangan lagi. Males mikir." Dalia mengambil nugget pesanannya untuk dimasukkan ke mulut. Terlanjur kesal dan mood-nya berantakan, apa pun yang dilakukan temannya itu membuatnya sensi dan mengomelinya.
Bagus menengok kanan-kiri, mencari sosok yang ia tunggu, tetapi tak ada di antara mereka. Ia memberanikan diri bertanya pada Dalia, walau sebenernya sedikit takut karena wajahnya sudah seperti singa hutan. "Merva mana?" Akhirnya kata itu terucap juga dari mulutnya.
"WC," singkat Dalia.
"Hah?" Bagus benar-benar tidak mendengarnya dengan jelas. Bagaimana tidak, Dalia menjawab sembari memakan nugget penuh di mulutnya.
"WC!" Dalia mengeraskan suaranya bebarengan dengan Evans yang ikut geram.
Bagus meringis kaget melihat mereka berdua yang kompak. "Biasa aja kali, lagian lo sendiri yang ngga jelas," ujarnya. "Masalah ulangan mendadak doang badmood-nya segitunya. Ini baru ulangan bro, belum besok pas lo kerja terus dapet lemburan dari atasan. Gimana coba? Lemes lo!" tambah Bagus dengan nada suara pelan.
"Bener tuh, dengerin Bagus kita," sahut Evans yang mendukung Bagus.
"Iya, ampun suhu." Dalia mengalah dan memberikan senyuman paksa.
Mereka bertiga mengobrol pada umumnya obrolan laki-laki, sedangkan Dalia sibuk memainkan ponselnya. Tanpa sadar, Reza meminum es teh milik Dalia hingga setengahnya. Itu pun disentil dahinya oleh Evans dan dipelototinya, "Lo jangan cari masalah, Za!" lirih Evans, sedangkan Reza panik berbuat apa.
"Lo beli lagi sekarang, sebelum Dalia sadar es tehnya lo minum. Gue ngga terima dia minum bekas lo, ini uangnya." Evans memberikan selembar biru pada Reza dan ia segera menjauh dari meja itu.
Dalia mendapati pesan bahwa Merva tidak jadi ke kantin. Saat hendak ke kantin, Merva berpapasan dengan guru seni budaya dan meminta Merva ke ruangannya untuk dimintai tolong oleh gurunya.
"Yah, Merva." Dalia bermonolog.
"Kenapa dia?" sambung Bagus penasarannya. Namun, tidak dijawab oleh Dalia karena Dalia terlalu fokus menatap layar ponselnya.
"Sabar, udah. Nanti aja," jawab Evans dengan lirih. Ia paham betul jika Dalia sudah fokus maka tidak mendengarkan suara lainnya. "Palingan Merva ngga jadi ke kantin, dia kan sok sibuk." Evans mengira-ngira lalu dibalas anggukan oleh Bagus.
"Gue mau ke kelas, bye!" Dalia tampak tak nyaman berada di antara laki-laki yang padahal itu temannya sendiri. Namun, jika tidak bersama dengan Merva rasanya akan beda. Di sisi lain, ia tak mau membuat cewe lainnya iri karena lebih banyak menghabiskan waktu dengan Evans yang mana akan menambah masalah baru dengannya.
Baru juga melangkah meninggalkan meja itu, Reza datang dengan es tehnya. Ia menyipitkan matanya mengikuti langkah Dalia pergi. "Pergi?" Reza melirik ke arah Evans.
"Dia marah karena tehnya lo minum," kata Bagus menakut-nakuti Reza.
"Kan gue beli lagi, apa kalian ngga bilang?"
"Ngga," jawab Evans dan Bagus bebarengan.
"Gue harus klarifikasi ke cewe gue!" Reza meletakkan es tehnya di depan Evans lalu mengejar Dalia.
Memang Evans dan Bagus ini suka mengerjai, bahkan Reza pun begitu. Kali ini yang kena adalah Reza. Sempat diam beberapa saat, Evans akhirnya tersadar ada yang salah.
"Reza bilang apa tadi?" tanyanya pada Bagus setelah ia meminum seteguk es teh.
"Apaan?" Terlebih Bagus yang suka ngelag dan telmi. Ia bahkan lupa dengan apa yang diucapkan Reza.
"Cewe gue? Dia bilang gitu? Apa maksudnya coba, dasar!" Evans memberitahu.
"Bukannya Reza suka gitu ya, buat lo panas," jelas Bagus.
"Gila tuh orang." Evans mengajak Bagus meninggalkan kantin itu dengan gerakan tangan.
Sampainya di kelas, Evans dan Reza melihat pemandangan indah. Reza sedang klarifikasi atas ketidaksengajaan meminum setengah dari es teh milik Dalia. "Namanya masuk kandang sendiri," oceh Evans tertawa ringan. Mereka belum melanjutkan langkahnya, masih berdiri di depan pintu sembari melipat tangan.
Melihat Reza yang ngomong panjang lebar seperti rel kereta, tetapi diulang-ulang itu membuat Evans kasian padanya. Sedangkan Dalia mencerna apa yang Reza katakan, sungguh belum bisa ia tangkap.
"Es teh apaan sih!" tanya Dalia.
"Ya, itu tadi di kantin. Gue minum es teh lo sampe setengahnya, dan lo pergi karena teh lo, gue minum kan?" pungkasnya.
"Geser otak lo!" dengkus Dalia. "Ngapain lo bilang ke gue?" Dalia tanya balik.
"Ya, lo marah kan?" Reza memastikan.
"Bener-bener geser otak lo! Itu es teh siapa juga gue ngga tahu makanya ngga gue minum. Bukannya pas kalian duduk udah ada es teh itu? Dan ya, masalah es teh doang lo kayak gini? Geser emang!" Dalia menggelengkan kepalanya.
"Gue pergi karena Merva dipanggil guru, ngga jadi ke kantin. Gue ngga mau di sana cuma nyimak kalian ngobrol doang," urai Dalia. Dari situ Reza sudah merasa dibohongi oleh dua temannya.
"Geser otak gue," ceplosnya.
"Ya, emang!" tegas Dalia.
"Haduhh, geser-geser ..." Evans menetertawai Reza.
"Noh, master gesernya. Kata Evans lo marah, makanya gue mau bujuk lo karena kalo lo ngambek, lo diemnnya bisa berabad-abad. Nanti pas ulangan gue ngga bisa nyontek ke lo kan repot gue." Reza mendengkus kesal. "Tapi lumayan kembalian es tehnya jadi milik gue hahaha ..." Reza mengusap saku celananya.
Dari omongan Reza, Dalia bingung lagi. Kenapa perkara es teh belum selesai juga?
"Baik-baik cewe Reza." Evans mengelus kepala Dalia dengan lembut, tetapi matanya menatap tajam ke arah Reza. Ia sedang mengingatkan Reza dengan apa yang ia ucapkan di kantin tadi.
"Ah, males gue sama kalian!" Demi menjaga kestabilan pikiran, Dalia memilih ke depan kelas sekadar duduk, yang penting terbebas dari mereka bertiga yang hanya bisa dipahami oleh mereka saja.
Jangan lupa Vote dan Komen
• Tambahkan ke perpustakaan kalian💙
• Follow akun ini biar nggak ketinggalan cerita baru😊And HAPPY READING
KAMU SEDANG MEMBACA
Simpang Takdir
Teen FictionApa yang kalian lakuin saat gabut? Main game, nonton youtube, dengerin musik, atau melukis? Kata Evans alasan itu terlalu membosankan. Kegabutanmu berbeda dengan kegabutan Evans. Saat Evans gabut, dia justru memilih untuk ... membersihkan jalanan d...