4. Higanbana

1.1K 65 36
                                    

Dom = Joong
Sub = Hwa

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Seorang pria cantik itu memasuki rumahnya yang sudah gelap. Tentu saja, ini pukul 1.00 pagi. Waktu dimana orang-orang lebih memilih bergelung dibalik selimut daripada kelayapan.

Ceklek

Langkah kaki jenjang itu terhenti saat lampu tiba-tiba menyala.

"Kenapa kamu pulang? Tidak usah pulang sekalian, pergi pagi pulang pagi, seperti pelacur." Ucap seorang wanita yang sejujurnya itu sangat menyakitkan jika didengar siapapun.

Si pria cantik itu berbalik, menyeringai tipis. "Apa Tante sedang membicarakan diri sendiri?" Pria itu menjeda perkataannya sejenak, "Aaah tentu saja. Kan Tante menggoda Papaku bahkan tidak tau malu untuk bercinta dengan Papa dikantor bahkan saat Papa masih punya istri. Tolong jangan terlalu jelas saat membicarakan diri sendiri, tante." Si pria ini menyeringai pada akhirnya.

"Jaga mulutmu Park Seonghwa. Aku ini ibumu sekarang. Beri hormat padaku, dan berhentilah berkencan dengan pria itu. Dasar gay menjijikkan. Dasar aib." Si wanita ini kembali mencaci si pria cantik, Park Seonghwa.

"Ibu? Heh, dengar ya Yoo Jinwo. Sampai aku mati, aku tidak akan pernah menganggap kamu sebagai ibuku. Karna levelmu jauh lebih rendah dariku dan Mamaku. Upik abu tidak tau diri sepertimu, jangan terlalu berharap untuk bisa diterima oleh keluargaku. Dan tutup mulutmu itu, jangan suka menghina hubunganku. Karna meskipun aku Gay, AKU TIDAK PERNAH MEREBUT MILIK ORANG LAIN, CAMKAN ITU, PELACUR. Dan aku pulang malam juga karna aku bekerja, aku bukan kau yang hanya ongkang-ongkang kaki dirumah menodong uang pada ayahku untuk hura-hura. Jangan lewati batasmu, kamu bisa tinggal disini juga karna kebaikan hatiku. Jangan bertingkah, dasar sampah." Seonghwa meninggalkan perempuan itu dan menuju ke kamarnya sendiri.

Seonghwa sadar jika ucapannya sangat kasar untuk seorang yang lemah lembut seperti Seonghwa. Namun penghianatan yang ia dan mendiang ibunya terima karna wanita ular tadi seperti pemantik api emosi yang selalu Seonghwa coba untuk menahan.

**

Pagi ini hanya suara denting piring dan sendok yang terdengar, Seonghwa memakan sarapannya dengan tenang. Mengabaikan jika ada 2 orang yang lebih tua didepannya.

"Seonghwa.." lelaki paruh baya itu memanggil nama sang anak, yang sayangnya semenjak kematian ibunya, Seonghwa lebih memilih memakai marga ibunya.

"Ya?" Sang ayah, terlampau paham dengan sikap dingin putranya ini.

"Selesai sarapan ayo bicara sebentar di ruang kerja Papa." Seonghwa berfikir sejenak. Namun tak sala setelah itu,

"Baik, tapi aku hanya mau kita bicara ber-du-a." Nada penuh penekanan itu terdengar jelas di rungu ketiga orang disana.

"Baiklah." Jawab sang ayah setelahnya.

Sarapan telah selesai. Sesuai dengan permintaan ayahnya, Seonghwa masuk ke ruang kerja ayahnya.

Lelaki cantik itu duduk di single sofa yang ada  disana.

"Langsung saja Pa, Papa mau bilang apa? Jam kerjaku sudah mepet sekali."

Sang ayah menghembuskan nafasnya berat.

Móno Esÿ ( MATZ AU ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang