CHAPTER 1

43 2 0
                                    

~ Flashback ~

Ujian Nasional SMP udah di depan mata. Tinggal 1 bulan lagi gue memasuki kehidupan baru sebagai anak SMA. Dan inilah kegiatan gue setiap malem, mencoba latihan-latihan soal UN dengan harapan itu bisa membantu gue bulan depan.

PRANGGG!!!

Suara lemparan kaca terdengar jelas dari ruang keluarga. Refleks gue tinggalin meja belajar dan lari ke kamar adek semata wayang gue, Eric. Sudah kuduga, dia udah meringkuk di deket kasurnya. Gue langsung peluk dia dan bilang,
"It's okay... gue disini".

Yupp, here we go again. Papa mama berantem lagi. Sebenernya ini udah jadi makanan sehari-hari kami, tapi entah kenapa gue ngerasa makin hari mereka semakin menjadi-jadi.

Setelah beberapa saat, pintu kamar Eric dibuka oleh papa. Gue takut liat muka papa yang kelihatan masih marah. Beliau jongkok di depan gue dan Eric yang masih berpelukan dan bilang,

"Kak Dea, Eric... Papa sama mama mau ngomong sesuatu"

Feeling gue udah gak enak. Dengan masih memegang tangan Eric, gue jalan keluar kamar menuju ruang keluarga dan menemukan mama duduk di sebelah serpihan vas bunga pecah di lantai dengan bekas tangisan di wajahnya.

"Kak Dea, Eric... Papa dan mama mau minta pendapat kalian. Papa yakin kakak dan Eric sudah dewasa," kata papa memecah keheningan.

"Papa dan mama sudah memutuskan untuk berpisah," lanjut papa.

Perkataan papa sontak membuat Eric nangis dan memeluk gue. This is it, this is the day. Gue udah mempersiapkan diri buat mendengar pernyataan ini. Gue berusaha tenang, meskipun air mata gue akhirnya menetes untuk kesekian kalinya. Gue cuma bisa diam dan menatap mama, mengabaikan tatapan papa.

"Papa dan mama akan kasih waktu buat kakak sama Eric untuk memilih mau ikut papa atau mama," sambung papa. Dan itulah kata-kata terakhir papa sebelum akhirnya beliau pergi keluar rumah meninggalkan kami bertiga.

Mama membuka kedua tangannya mengisyaratkan kami untuk memeluknya. Gue gak tahan dan lari ke pelukan mama, begitupun Eric. Kami cuma bisa menangis tanpa berkata-kata. Hati gue hancur sehancur-hancurnya.

■■■

Keesokan paginya, hari Minggu, ketukan di pintu kamar gue membuyarkan lamunan gue. Eric membuka pintu dan perlahan berjalan ke arah gue yang duduk di dekat jendela. Gue bisa liat matanya bengkak, 'Dia pasti nangis semalaman,' batin gue.

"Kenapa dek?" tanya gue.

"Kak ini beneran?" kata Eric sambil duduk disebelah gue.

"I guess this is the day," jawab gue mencoba tersenyum.

"Lu pilih siapa kak?" tanyanya lagi.

"Lu pilih siapa?" tanya gue mengabaikan pertanyaannya. Jauh dalam hati gue, gue tau papa salah. Beberapa bulan terakhir gue selalu  mendapati mama nangis di kamarnya. Alasannya karena papa main perempuan dan judi pakai uang mama. Yup, selama ini keluarga kami hanya mengandalkan mama sebagai tulang punggung keluarga. Fyi, mama bekerja sebagai salah satu pegawai perusahaan nasional di Tangerang.

"Gue gak mau pisah sama lu kak," jawabnya.
Hati gue tambah hancur denger jawaban Eric. Seketika gue langsung teringat momen masa-masa kecil kami, dari ketawa kek orang gila sampai berantem hampir gak ngomong selama 1 minggu. Umur kami cuma terpaut 1 tahun, that's why kami deket banget satu sama lain. Dan sekarang kami dihadapkan dengan sebuah kenyataan yang pahit.

"Gue ikut lu, terserah lu mau pilih siapa," katanya lagi. Setelah hening cukup lama,

"Oke, kita ikut mama," jawab gue.

~ Flashback Ends ~
■■■

[ Another Brother ] - The Boyz Juyeon & EricTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang