Sekelebat pandangan tertuju pada seorang anak remaja berjalan dalam perbatasan daerah terlarang. Seketika seorang gadis berlari dan melompat melewati batas pagar batu yang hanya sepinggang. Mudah untuknya berlalu lalang dan menghampiri lelaki remaja itu. Menarik tangannya dan menuntunnya dengan segera keluar dari hawa yang kurang menyenangkan.
"Apa kau gila?" kata perempuan itu sambil menunjukkan ekspresi kekesalannya.
"Apa?" merasa tak acuh, anak lelaki itu memandang heran padanya sambil melepaskan pegangan tangan gadis itu.
"Kau melewati perbatasan itu," gadis ini menekan setiap kata berharap lawan bicaranya menyimak secara seksama, "jika Buto tahu kau masuk wilayahnya, kau bisa dimakan!"
Ancam gadis itu kurang membuat pengaruh untuk pemuda ini, malah dia menyedakkan nafas menahan tawa, "dimakan?"
Merasa diremehkan gadis itu menambah nadanya semakin tinggi, "kau tidak tahu cerita orang-orang mengenai Buto?"
"Cerita bagaimana?"
"Buto itu besar badannya, berwarna hijau, mata merah, suka makan orang!"
Pekikan pemuda itu memecah ulasan gadis yang sedang gusar ini. Dengan mulut menganga gadis itu tidak percaya dengan balasan yang dia dapat.
"Memangnya kau percaya dengan bualan itu?" tambah pemuda itu dengan tawa yang belum berhenti. Perkataan pemuda itu membuat gadis ini menjadi ragu dengan perkataannya sendiri.
Belum sempat menjawab, pemuda itu menambah pertanyaannya, "apa kau pernah melihat sendiri makhluk seperti itu?"
Semakin kebingungan si gadis melontarkan kata-kata patah dan malu, "e-eh, em, b-belum p-pernah sih."
Pemuda itu akhirnya hanya melengos tak acuh dan melanjutkan jalannya ke arah sungai.
"Hei! Kau mau kemana?" tanya gadis ini spontan. Merasa tak dihiraukan dia menangkap kembali pergelangan pemuda itu, "jangan masuk ke daerah perbatasan itu lagi! Mengerti?"
"Iya, tenang saja," jawab santai pemuda itu, "aku tidak akan berurusan dengan 'monster Butomu' jadi jangan terlalu keras seperti itu," sambil mengutip jemarinya menorehkan ejekan tersirat pada si gadis yang pendiriannya mulai goyah.
"Lalu kau mau kemana?"
"Kembali ke rumahku, dekat sungai sebelah sana." Pemuda itu menunjuk arah yang cukup jauh dari perbatasan. Melihat telunjuknya yang tidak mengarahkan bahaya, gadis itu merasa lega.
"Oke kalau begitu," si gadis mengendurkan penjagaannya tapi tetap memelototi sang pemuda yang berjalan menjauh. "Awas saja kalau kau masuk ke perbatasan lagi ya!" ancam gadis itu dengan dua jari menunjuk matanya lalu mata pemuda itu, mengisyaratkan kalau dia akan mengawasinya.
Pemuda itu hanya tersenyum kecut dan menjauh. Seperti anak iseng saja dimata gadis itu, dia mengerutkan bibirnya dan ikut meninggalkan tempat itu. Dia kembali ke desanya sambil mengingat-ingat muka pemuda tadi. Tampak asing, tidak pernah ia jumpai pemuda seperti itu, meski perawakannya mirip pemuda pada umumnya dengan rambut pendek sedikit bergelombang dan wajah lonjong. Tetapi parasnya tidak cocok dengan penduduk desa manapun.
Lamunannya berakhir saat salah seorang penduduk menyapa, "eh, Mbak Ti, dari ngumpulin kayu ya?"
"Eh, iya Pak Bondo," sapa balik gadis itu sambil membenarkan pegangannya pada tumpukan kayu yang ada di pinggangnya, "mau bantu ibu buat masak nanti malam."
"Mbak Timun ini udah cantik rajin lagi," puji Pak Bondo membuat Timun tersipu malu dan segera bergegas karena merasa tidak enak. Pasti mau dikait-kaitkan sama anaknya, duh. Kata hati Timun ternyata benar, Pak Bondo berceletuk, "Bimo pasti seneng banget kalau punya istri rajin kayak kamu ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alter Timun Mas - Legenda si hijau
RomancePerbedaan membuahkan konflik. Dalam urusan pendapat, ideologi, bahkan cinta. Ingin aku memaki diriku sendiri yang berlari terlalu jauh dari tempat tinggal. Membukakan mata, melebarkan dekapan dan akhirnya sampai pada pelukan yang salah.