"Permisi, Pak Bondo," sapa Timun yang sudah berada di depan pintu rumah Pak Bondo. Beliau orang yang cukup berada karena memiliki lahan sawah yang lebar. Rumahnya juga cukup luas menciptakan suasana lengang dengan ubin yang sejuk di terasnya.
Timun mengetuk pintu rumah itu sekali lagi dan Pak Bondo pun keluar, "eh, Mbak Timun. Ada apa?"
"Begini pak, maaf merepotkan sebelumnya. Saya mau pinjam alat pancingnya sebentar untuk menangkap ikan, apa boleh?" permintaan Timun membuat sumringah Pak Bondo.
"Oh, tentu. Eh, sebentar, kamu kekurangan lauk buat makan?" Pak Bondo langsung dapat menyimpulkan situasi Timun dengan cermat, "mending saya kasih kamu sisa ikan tadi, ini Istri saya masih ada ikan bakar sisa hasil barter kemarin."
Merasa tidak enak karena pendirian Timun yang ingin mandiri ia langsung menolak, "maaf pak, saya mau cari sendiri saja, saya tidak ingin merepotkan berlebihan."
"Loh, nggak merepotkan kok."
"Iya, pak saya mengerti, tapi lebih baik saya berusaha sendiri, toh ada adiknya Mas Bima yang masih kecil, butuh makan yang banyak."
"Memang Mbak Timun itu orangnya mandiri," puji Pak Bondo sambil tersenyum, "kalau begitu, sebentar saya ambil pancingnya ya?" Pak Bondo masuk ke dalam beberapa saat. Tak lama beliau keluar dengan Bimo yang membawa dua alat pancing.
"Ini sekalian kamu mancingnya biar ditemani Bimo," kata Pak Bondo sambil berusaha meninggalkan kedipan untuk anaknya. Kode yang terlihat jelas membuat Timun sedikit lebih menjaga diri.
"Loh, bukannya Mas Bimo harus mengurus sawah?" tanya Timun pada mereka tapi Pak Bondo sudah keburu masuk meninggalkan mereka berdua.
"E-eh, iya sih. Tapi tadi aku disuruh Bapak buat nemenin kamu," jawab lugu Bimo dengan suara beratnya yang tidak cocok dengan gaya culunnya.
"Aku sendiri bisa kok, mas. Nggak perlu repot-repot," Timun langsung menyambar salah satu alat pancing yang ada di tangan Bimo.
"Haduh," keluh Bimo mulai memelankan suara agar tidak didengar oleh bapaknya, "Aku harus ikut kamu, Ti. Kalau aku nggak ikut kamu, aku bakal dimarahin bapak. Jadi nggak apa-apa ya?"
Kepribadian mereka berdua terasa berbeda. Sang anak yang tampak polos dan pendiam meniru ibunya sangat bertolak belakang dengan bapaknya yang seperti suka main perempuan. Dan karena Bimo tidak mencerminkan kepribadian bapaknya, Pak Bondo sering menekan Bimo untuk memadukannya dengan beberapa wanita di desa ini dan berharap lebih aktif lagi. Hal itu tergurat jelas beban di wajah Bimo.
"Iya sudah, ikut saja," Timun mempersilahkan Bimo setelah melihat tampangnya yang tertekan, "aku tidak keberatan kok."
Bimo membalas senyuman dan mereka berdua berjalan menuju sungai selatan desa dekat perbatasan.
Sambil menyiapkan alat pancing dan umpannya Timun mengawali celetukannya, "Mas Bim, kamu belum nikah kenapa?" Mencari alasan, Timun ingin menyamakan pendapatnya dengan Bimo. Siapa tahu dia menemukan sudut pandang lain dari lawan bicaranya.
"Belum nemu aja," singkat dan jelas balasnya. Sikap pendiam Bimo kurang bisa melancarkan kata-kata yang mengalir membuat Timun harus berpikir untuk menyambungnya.
"Kan, kamu kaya tuh, kalau kamu nembak cewek pasti mereka langsung mau," pendapat Timun tidak membuat Bimo bergeming dengan alat pancingnya yang kini umpannya sudah mengapung di sungai.
"Memangnya kamu mau sama aku?" pertanyaan Bimo membuat Timun menghentikan lemparan pancingnya sambil saling lirik. Tidak ada getaran sedikitpun di hati Timun saat melihat Bimo, hanya sebatas teman saja dan tidak lebih. Meskipun suasana dan kesempatan sangat mendukung, perasaan memang tidak bisa dibuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alter Timun Mas - Legenda si hijau
RomancePerbedaan membuahkan konflik. Dalam urusan pendapat, ideologi, bahkan cinta. Ingin aku memaki diriku sendiri yang berlari terlalu jauh dari tempat tinggal. Membukakan mata, melebarkan dekapan dan akhirnya sampai pada pelukan yang salah.