Bab 3

10 7 9
                                    

Aku dan temanku yang lain, kini duduk memutar di bagian belakang kelas. Aku duduk di samping Leon, karena aku masih sedikit terbayang oleh kejadian tadi siang.

"Kita harus mulai diskusinya. Aku ingin cepat-cepat keluar dari sini," ucap Rizky memecah keheningan yang terjadi di antara kami semua.

Seketika, aku dan yang lain menolehkan pandangan ke arahnya. Tentunya, selain Leon.

Leon kini tengah menatap ke arah atap kelas, dengan tangan yang diletakkan di belakang tubuh untuk penyangganya.

Merasa aku perhatikan, Leon menatapku sebentar sebelum mengatakan sesuatu hal yang membuat kita semua tercengang.

"Kita memang bisa keluar dari dalam kelas, tapi kita tidak bisa keluar dari sekolahan ini," ucapnya singkat, yang kembali menatap ke arah plafon kelas.

"Apa yang kau katakan, Leon?" Tanya Alvian menahan kesal terhadap ucapan Leon barusan.

Bahkan, kita semua bingung apa maksud dari ucapan Leon tadi. Apa katanya? Tidak bisa keluar dari sekolahan ini? Sialan!

Leon menghela nafas panjang, "Kita memang bisa keluar dari kelas ini. Tapi, kita tidak bisa keluar dari sekolahan ini. Sebelum kita menemukan pelaku yang menyebabkan ini semua terjadi," ucapnya menatap kami satu persatu.

Hanya terdengar helaan nafas dari kami semua mendengar ucapan Leon. Aku dan yang lain terdiam cukup lama, sebelum suara gedoran dari arah luar membangunkan lamunan kami semua.

Rizky berdiri menatap ke arah pintu dengan tatapan panik, "P-pintunya, kita harus segera pergi!" Teriaknya.

"Salah satu dari kita harus menjadi umpan untuk mengecoh mereka. Tapi, siapa?" Tanya Vani menatap kami satu persatu.

"Biar aku saja yang menjadi umpan. Kalian cari saja tempat sembunyi yang paling aman menurut kalian," sela Leon. Seketika, aku menoleh ke arahnya.

"Tidak, Leon! Bagaimana kalau kau tertangkap oleh mereka?" Aku menatapnya nyalang. Bagaimana mungkin aku bisa membiarkan salah satu sahabatku menjadi umpan untuk keselamatan diriku? Aku tidak peduli jika kalian mengatakan bahwa aku itu egois.

"Ini tidak ada waktu lagi, Nara! Jangan egois! Kau mau kita semua menjadi santapan dan menjadi seperti mereka?!" Sahut Reni menatapku tajam.

Tak mau kalah, aku pun kembali menatap tajam ke arah Reni, "Ya, aku memang egois! Karena tidak mau sahabatku menjadi umpan hanya untuk keselamatanku!" Balasku sengit ke arahnya.

Aku sendiri bingung terhadap diriku. Mengapa aku bisa menjadi egois di saat seperti ini?

"Aku bisa jaga diri, Nara. Kau tenang saja, oke? Aku akan menyusul kalian jika aku sudah membawa mereka pergi ke arah yang lain." Tatapan teduh milik Leon memang selalu membuatku tenang. Tak berapa lama kemudian, kami segera melancarkan rencana ini. Meski, aku terlalu ragu untuk keluar kelas.

"Baiklah, kita jangan sampai berpencar! Karena, risiko jika kita berpencar akan lebih bahaya, mengerti?!" Komando Faisal.

"Mengerti!" Seru kami semua.

"Baiklah, aku keluar terlebih dahulu. Jaga diri kalian baik-baik." Ucap Leon sembari berjalan ke arah pintu dan mulai membukanya.

Seketika, para zombie yang ada di luar segera menyerang Leon yang dengan lihainya dihindari oleh sang empu.

Kami semua tercengang dengan keputusan Leon yang menjadikan dirinya sebagai umpan untuk kami semua. Karena Leon yang kami kenal, dia sangat tidak peduli dengan sekitar, kecuali jika itu menyangkut orang yang berharga baginya.

"Cepat lari!" Seru Leon setelah membuat celah untukku dan yang lain agar bisa keluar dari dalam kelas.

Aku dan yang lain segera berlari keluar kelas setelah mendapatkan celah yang dibuat Leon untuk kabur dari dalam kelas.

Sesekali aku menoleh ke belakang, melihat Leon yang berlari dan melawan beberapa zombie yang mencoba menyerangnya.

'Leon, aku harap kau segera menyusul kita semua,' lirihku pelan.

Brak!

Aku menoleh ke belakang ketika mendengar suara itu. Aku terkejut, saat melihat salah satu zombie yang terkapar dengan darah hitam yang mengalir dari lehernya. Aku memberhentikan langkahku karena syok melihat hal yang terjadi di depanku.

"Sadar, Nara! Kau jangan melamun! Cepat, ayo kita lari lagi mencari tempat persembunyian yang aman!" Teriak Rayyan yang kembali menyadarkanku dari lamunan.

Ku lihat, aku dan Rayyan, lah, yang berlari paling belakang. Mungkin, karena aku berlari sembari melamun tadi, oleh karena itu aku tertinggal di belakang sendiri. Namun, untuk Rayyan? Aku pastikan, pasti dia tadi berbalik arah ketika melihatku yang akan diserang oleh salah satu kawanan zombie sialan itu.

Aku dan Rayyan berlari menyusul tenan-temanku yang lain. Mereka sudah terlihat jauh di depan. Namun, aku dan Rayyan sama sekali tidak menyerah. Kami berlari sekuat tenaga menyusuri lorong sekolah hanya untuk mencari tempat persembunyian yang aman.

Sampai di depan gudang, aku mendengar seperti suara orang yang berbisik. Aku lihat, para temanku yang lain sudah berada di dalam sana.

"Nara, Rayyan, cepatlah masuk! Sebelum para zombie itu menyadari keberadaan kita." Sambil berbisik, Renata menarik tangan kita berdua untuk memasuki gudang sekolah.

Setelah kami bertiga masuk, buru-buru Faisal dan Risky mengunci pintu gudang dan menghalanginya dengan beberapa bangku yang sudah tua untuk penyangganya. Agar para zombie itu tidak dapat masuk ke dalam gudang.

Dengan nafas terengah-engah, aku mendekati segerombolan teman perempuan yang lebih dulu duduk di pojokan ruangan.

"Bagaimana keadaan Leon di luar sana? Apa perlu kita mencari keberadaannya?" Ucapku sembari duduk berkumpul dengan mereka ber-enam.

Renata, Vani, Jacinda, Putri, Tiara dan Reni sontak menoleh ke arahku dengan tatapan berbeda-beda.

"Tidak perlu, dia pasti bisa menemukan kita di sini," sahut Putri singkat.

Hey! Mengapa dia bisa bersikap biasa saja di sini? Bahkan, di antara kami semua, hanya dia yang sedari tadi tidak menyampaikan pendapatnya.

"Leon pasti baik-baik saja di luar sana, Ra. Kita berdoa saja untuk keselamatannya," ucap Jacinda yang dibalas anggukan kepala dari mereka semua, kecuali Putri.

"Hari sudah mulai gelap, tapi aku tidak merasakan lapar atau haus sama sekali. Apa ini normal?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir Tiara sontak membuat kita semua menoleh ke arahnya.

Bukan hanya kami anak perempuan, anak laki-laki pun ikut menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung.

Rayyan mulai mendekat ke arah kami, "Kau benar, Tiara. Bukan hanya kau saja, tapi aku juga," jawabnya setelah duduk di samping Vani.

"Sepertinya, bukan hanya kalian. Tapi, kita semua memang tidak merasakannya." Tambah Risky menatap kami satu-persatu.

____________

To be continued  ....

Hai hai, ketemu lagi sama aku. Bosen ga? Ehe :>

Aku rasa, makin ke sini ini cerita makin gaje aja. Iya, 'kan? Aih, kesel banget.
Aku ngerasa ngecewain kalian tau ga, sih? :((
Tapi, gpapa. Di bab selanjutnya, aku bakalan berusaha buat cerita ini makin menarik. Insyaa Allah, bantu doa, ya, all? Mwehehe <3
Lup yu <3

The Zombie's In SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang