Disclamer : Masashi Kishimoto
.
.
Story au by : Aizuhime
.
.
21+
.
.
Mulmed : Fuyu no epilogue - Goosehouse
.
.
NHL❄️❄️❄️❄️❄️
"Naruto-san, aku sudah lama memendam rasa padamu. Aku mencintaimu."
Pandangan safir itu meremang, seiring dengan kata demi kata yang diucapkan oleh salah satu rekan kerjanya tubuh tegapnya mulai bergetar samar. Uzumaki Naruto, pria dewasa itu menahan seluruh rasa takutnya hanya karena pernyataan cinta dari seorang wanita. "Shion-san, tu-tunggu..."
"Aku serius ingin menjalin hubungan denganmu..."
Dengan nada yang terdengar resah, Naruto berusaha menghentikan ucapan Shion. Namun nihil, Shion masih menunduk malu sembari terus mengungkapkan kecintaannya pada Naruto. Tanpa sadar bahwa pemuda berkulit tan itu sudah kelewat tidak fokus untuk sekedar mendengar suaranya. Bukannya Naruto begitu angkuh hingga tak sudi mendengar ungkapan hati seseorang, namun takut yang ia rasa terlalu mencekik, mengalahkan segala empati yang ia miliki.
Cinta. Jika orang lain akan merasa berbunga-bunga atau bahkan bangga ketika mendapatkannya, Naruto justru sebaliknya. Kata cinta bagaikan pemantik sumbu tak kasat mata dalam dirinya. Sumbu yang bila sudah menyala, akan menyeret Naruto ke dalam sebuah dunia biru yang dinginnya mengalahkan kutub. Naruto bagai terseret arus deras samudra, kemudian dibawa menghantam karang tajam hingga tenggelam sampai ke dasar. Sakit, jantungnya mulai ribut seakan bisa pecah kapan saja, suara detaknya begitu jelas menggema di gendang telinga, berlomba-lomba dengan suara tetes peluh yang mengucur deras. Dia mendadak lupa caranya bernapas dengan benar, karena kini ingatannya tengah terperangkap pada gambaran apartemen kecil, dimana sang ibu tergeletak tak bernyawa bersama puluhan butir pil yang berserakan pada lantai ubin. Aroma menyengat khas obat-obatan itu masih tercium jelas tiap ia menarik napas, mengaduk-aduk seluruh isi perutnya hingga Naruto hanya mampu membekap mulut rapat-rapat. Bahkan pandangannya kini dipenuhi ilusi mengerikan, tak lagi ada Shion atau siapapun. Hanya ada Naruto, yang menatap kalut pada tubuh sang ibu yang terbujur kaku.
Saat itu juga, Naruto tak lagi bisa menahan air matanya. Hancurnya semesta, mungkin tak cukup eksplisit dalam menggambar kondisi hati Naruto saat ini.
"Naruto-san?!" Shion berteriak histeris. Mustahil model cantik itu tidak terkejut, ketika si fotografer ceria yang selama ini ia gilai tiba-tiba saja jatuh berlutut di lantai dengan keadaan yang tidak bisa dikatakan baik. Tatapan matanya kosong, napasnya tak beraturan, tangannya bergerak brutal meremas dada, pun dengan pipi yang sudah dipenuhi jejak air mata.
Sai- asisten Naruto yang tadinya hanya memperhatikan dari kejauhan bahkan ikut dibuat panik, sampai ia berlari seperti orang kesetanan menghampiri Naruto.
"AIR! SIAPAPUN, CEPAT AMBILKAN AIR!" Sai masih belum menyerah menarik atensi Naruto yang mulai terlihat bak mayat hidup, entah dengan mengguncang bahunya keras-keras atau meneriakkan nama sahabat baiknya itu. "Ya Tuhan, lagi-lagi seperti ini. Hei, Naruto, jawab aku! Jangan diam saja, kau menakutiku bodoh!"
Tanpa bertanya lebih lanjut pada Shion yang kini tengah berdiri kebingungan disebelahnya, atau menunggu Naruto sadar dari halusinasinya, Sai sudah cukup mengerti apa yang tengah terjadi sekarang. Bukan sekali dua kali temannya itu bertingkah aneh, dan semuanya selalu dipicu oleh pernyataan cinta dari seseorang. Maka dengan sigap Sai menghubungi nomor seseorang untuk membuat janji konsultasi, nomor psikiater yang pernah menangani Naruto- dokter Tsunade.
KAMU SEDANG MEMBACA
Snowflakes
FanfictionLebih dari apapun, Uzumaki Naruto membenci musim dingin. Dia benci pada butiran salju yang selalu menghadirkan rasa sepi, serta mengingatkannya pada hari dimana dia harus kehilangan segalanya. Namun, pernah ada masa dimana Naruto begitu menyukai sal...