02 : Beetwen Us

366 81 27
                                    

⚠️This will be a boring story that contain harsh words, depression, traumatic things, violence, rape, and other sensitive issue. You can go out, if it's not your cup of tea.⚠️
.
.

Disclamer : Masashi Kishimoto
.
.
Story au by : Aizuhime
.
.
21+
.
.
Mulmed : Fuyu to haru - Back number
.
.
NHL

❄️❄️❄️❄️❄️

Suara pintu kayu yang digeser kasar, juga derap kaki yang terdengar buru-buru itu sontak menginterupsi kegiatan Ino. Wanita cantik bersurai blonde itu lantas meletakkan rangkaian bunga buatannya ke atas sebuah rak. Segera menghampiri sumber suara, ia menemukan Hinata— putri pemilik toko bunga tempatnya bekerja. Sudah tiga tahun bekerja di Sunny Place, Ino menjadi cukup dekat dengan Hyuuga Hinata dan mengetahui kebiasaan-kebiasaan kecilnya. Seperti sekarang, ketika Hinata hanya duduk diam didekat rak sepatu sembari memainkan kuku jarinya, itu berarti ada suatu hal yang mengganggu pikirannya.

"Hinata kenapa matamu bengkak?" Ino segera berjongkok di depan Hinata, mencoba menarik perhatiannya. "Apa kau baru saja menangis?"

"Tidak, kurasa karena cuacanya dingin." Menghindari pertanyaan lebih lanjut dari Ino, Hinata memilih tersenyum. Saat ini pikirannya masih terlampau kacau untuk sekedar bercerita. "Kenapa masih di toko? Bukankah hari ini Sai-san pulang? Kau harus menyambut suamimu."

"Tidak apa, Sai masih di penginapan. Dia baru akan ke rumah malam nanti, setelah pekerjaannya selesai."

Kendati sudah saling mengenal cukup lama, Ino paham bahwa Hinata masih memberikan batasan dalam hubungan mereka. Bahkan suaminya— Sai yang sudah menjadi tetangga Hinata dari remaja saja tidak tau banyak soal gadis tertutup itu. Jujur Ino sedikit cemas, sebagai teman dekat Hinata ia ingin membantu. Tapi ia mencoba maklum, dan tidak memaksa. Hinata sudah melewati banyak hal berat, bisa melihat Hinata masih hidup dengan sehat sampai detik ini, sudah sangat cukup bagi Ino. Dia tak mau menjadi egois dengan memaksa Hinata terbuka soal masalahnya. Biar gadis itu mencari ketenangan dengan caranya sendiri, dan Ino akan membuka tangan lebar-lebar ketika Hinata siap bercerita nanti.

"Pasti lelah membantu mengantar bunga dicuaca dingin seperti ini 'kan? Kau naiklah dulu ke atas, dan istirahat. Biar aku yang menjaga tokonya."

Hinata berusaha tersenyum, menghargai pengertian Ino. "Ayah di rumah?"

"Paman tadi pergi ke luar kota untuk mengambil bunga."

Mengerti raut bingung Hinata, Ino pun mengangkat dua tangannya. Memainkan jemari membentuk tanda-tanda isyarat. Mengulang setiap kata yang tadi ia ucapkan dengan bahasa tangan supaya Hinata tidak kesulitan. Kemalangan yang dialami Hinata sepuluh tahun lalu, telah merenggut kemampuannya untuk mendengar. Kendati ia masih bisa membaca gerak bibir lawan bicara atau mengandalkan alat bantu dengar, kadang kala ada beberapa kata yang tidak bisa Hinata pahami. Disaat seperti itu, bahasa isyarat sangatlah membantu.

"Oh... Keluar kota.." Hinata sangat bersyukur karena dia masih dikelilingi orang-orang baik, yang bahkan rela belajar bahasa isyarat demi membantunya. Tidak pernah merasa direpotkan olehnya, tak pula mengeluh ketika Hinata bicara dengan nada dan intonasi yang aneh. Ayahnya, Ino, Sai, jika tidak ada mereka, mungkin sudah sejak lama Hinata menyerah pada kehidupan. "Terimakasih Ino.. Kalau begitu aku ke kamar dulu."

SnowflakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang