⚠️This will be a boring story that contain harsh words, depression, traumatic things, violence, rape, and other sensitive issue. You can go out, if it's not your cup of tea.⚠️
.
.Disclamer : Masashi Kishimoto
.
.
Story au by : Aizuhime
.
.
21+
.
.
Mulmed : Yuki no Hana - Uru ver
.
.
NHL❄️❄️❄️❄️❄️
"Hinata!"
Entah sudah berapa kali Naruto meneriakkan nama itu, tapi gadis yang ia kejar tetap melenggang pergi tanpa peduli pada panggilannya. Marah, kecewa, bingung, Naruto tak yakin emosi apa yang tengah ia rasakan hingga dadanya begitu sesak sekarang. Ada banyak pertanyaan dalam otaknya, yang menuntut untuk segera dijawab. Namun si pemilik jawaban justru meninggalkannya, lagi dan lagi.
"Hinata, tunggu!"
"Naruto!" Merasa ada yang aneh dari tingkah sahabatnya, Sai bergerak cepat mencekal lengan Naruto. Dapat ia lihat manik biru itu meredup putus asa, diikuti deru napas berat seakan Naruto sedang menahan banyak emosi negatif dalam dirinya. Sai sangsi Naruto merasa tersinggung akan sikap Hinata yang terkesan kurang sopan, tapi sungguh, Sai yakin Hinata tidak sengaja. "Kau tidak bisa memanggil Hinata dari jauh begitu, dia tidak akan bisa melihat gerak bibirmu."
Naruto terperanjat, meski tubuhnya sudah ditarik untuk kembali duduk, matanya masih fokus menatap sosok Hinata yang makin menjauh. "Apa maksudmu, Sai?"
"Maaf, aku lupa belum menjelaskannya padamu. Hinata mungkin terlihat normal, tapi sebenarnya dia tuli. Pendengarannya rusak karena insiden saat dia masih remaja. Jadi kalau masih ada yang perlu dibicarakan, hubungi lewat email saja ya?"
"Tuli?"
Sai tentu makin heran, Naruto yang tadi pagi masih energik, tiba-tiba terlihat bagai mayat hidup sekarang. Pandangannya perlahan kosong, cairan bening bahkan sudah hampir luruh dari safirnya. Ini, jelas bukan karena marah seperti dugaan Sai. Marahnya Naruto itu begitu tenang, hanya diisi oleh diam dan tatapan tajam. Sedang keadaan Naruto sekarang sudah seperti orang yang kehilangan separuh nyawa.
"Y-ya.. pendengarannya sangat buruk sehingga dia harus bergantung pada alat bantu dengar. Tapi kau tahu kan, alat bantu dengar tidak selalu efektif menangkap suara tertentu, jadi Hinata selalu melihat gerak bibir lawan bicaranya. Pastikan wajah kalian berhadapan kalau mengajaknya bicara.." Dengan ragu Sai melanjutkan penjelasannya, supaya kesalah pahaman tidak berlanjut. "Tolong maklumi juga kalau kadang nada bicaranya terlalu keras atau kecil, dia pasti kesulitan mengontrolnya. Oh ya, kadang kala ada kata-kata yang tidak bisa Hinata baca dengan jelas, jadi ketik saja pada ponsel atau gunakan bahasa isyarat kalau kau bisa."
"Tunggu... Insiden?" Tubuh Naruto benar-benar lemas sekarang. Jika Sai tidak sigap, mungkin ia sudah jatuh ke lantai. "Insiden apa maksud mu?"
"Hei, ada apa denganmu?" Sai terus meyakinkan dirinya bahwa Naruto hanya sedikit kesal karena Hinata sulit diajak bicara. Karena itulah Sai berusaha menjelaskan soal kondisi Hinata. Namun, sepertinya tebakannya kali ini meleset. Dia tak lagi bisa denial, Naruto sama sekali bukan marah- dia hancur.
"Dia orangnya Sai.."
"Hah?"
"Dia orang yang ku cari selama ini.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Snowflakes
Fiksi PenggemarLebih dari apapun, Uzumaki Naruto membenci musim dingin. Dia benci pada butiran salju yang selalu menghadirkan rasa sepi, serta mengingatkannya pada hari dimana dia harus kehilangan segalanya. Namun, pernah ada masa dimana Naruto begitu menyukai sal...