Babak Kelima: Yang Jadi Sebab Pecah

85 15 0
                                    

Ini akhirnya. Kesepatakan sudah dibuat dan keduanya sama-sama meyakini bahwa tiga hari adalah waktu yang sudah lebih dari cukup untuk berpikir sekaligus mulai mengambil langkah tegas. Hubungan yang berada di atas ambiguitas ini harus segera diperjelas. Entah bagaimana pun caranya.

Bomin datang tiga menit lebih awal dari jam temu. Namun, Yeonhee jauh lebih siap dari yang bisa dibayangkan. Menampik fakta bahwa dia tiba setengah jam lebih dulu karena gugup, Yeonhee membiarkan Bomin mengambil tempat tanpa ada usaha untuk—seenggaknya—menyampaikan sapa.

Lokasi dipilih langsung oleh Yeonhee. Kedai minum kopi yang sedang digandrungi remaja, terletak tepat di seberang rumah sakit swasta. Perlu sekiranya lima belas menit untuk sampai di sana bagi Yeonhee. Berbanding terbalik dengan Bomin yang hanya tinggal jalan sepuluh langkah dari apartemen tempatnya tinggal.

"Surat pengunduran diri lo disetujui." Bomin sepertinya paham tentang betapa enggannya perempuan bercardigan putih itu berlama-lama. "Mulai sekarang, lo bukan bagian dari kabinet lagi."

"As I should." Yeonhee nggak akan buang-buang tenaga menanyakan kapan dan kenapa. Termasuk soal dia yang bahkan nggak diundang untuk sidang pembacaan keputusan. Selagi apa yang dia perjuangkan berhasil diraih, Yeonhee nggak melihat ada masalah.

"Kita perlu ngobrol." Bomin meletakkan kedua tangannya di permukaan meja, mengarahkan penuh pandangnya kepada sosok di hadapan. "Bisa?"

Bomin menghela panjang melihat Yeonhee sebatas balas menatap, nggak memberikan respons. Nggak masalah. Seenggaknya Bomin paham gelagat itu berarti memberinya izin untuk terus bicara.

"I deeply sorry for what I did these past few months. Gue berani sumpah kalo gue sama sekali nggak bermaksud buat bikin lo," Bomin mencoba memilah kata paling tepat, "semenderita itu."

Yeonhee bergeming.

"Gue minta maaf buat ... semuanya."

"Even for coming into my life?" tanya Yeonhee tajam.

"No!" Bomin memejamkan mata sesaat, menarik napas. Lalu, "Maksud gue, a bit." Bomin mengakui, "mungkin lo bisa lebih bahagia kalo sedari awal lo dan gue nggak saling mengikat."

Yeonhee menatap Bomin tajam.

"I do love you, itu yang harus lo tau. Makanya gue juga merasa sangat bertanggung jawab atas lo. Saat gue tau ada yang sadar kalo lo sama gue ada hubungan lebih, hal pertama yang gue pikir adalah aktivitas lo selanjutnya di BEM. Lo nggak boleh kena imbas apapun dari masalah itu.

"Karena mau diliat dari segi manapun, semuanya bersumber dari gue. Gue yang ngajak lo pacaran—dan bakal jadi ironi kalo gara-gara gue juga—lo harus mundur dari kabinet. Di sini gue mikir kalo gue kasih tau lo alasan putus sedari awal, lo punya kemungkinan buat nggak setuju. Malah, lo bisa jadi sengaja korbanin diri buat keluar kabinet dan itu hal yang paling nggak gue mau."

Yeonhee masih mendengarkan. Nggak ada niat memotong, murni memberikan Bomin waktu untuk membeberkan segala yang mau dia dengar.

"Gue nggak kira justru apa yang gue lakuin bikin lo tertekan. Usaha gue yang awalnya buat cegah lo hengkang ternyata sia-sia. Yang gue lakuin cuma memperlambat waktu dan nambah masalah."

"Sadar nggak kalo lo mau menang sendiri?"

Bomin menurunkan tatap pada bulir di badan gelas minuman milik Yeonhee, nggak menyahut.

"Gue kecewa, Bomin," ungkap Yeonhee. "Lo ambil semua keputusan cuma berdasarkan spekulasi lo sendiri. Semuanya nggak akan sepelik ini kalo lo mau bagi masalah lo ke gue. Jadi apa sebenernya peran gue di hidup lo kalo perkara remeh gitu aja lo sungkan kasih tau gue?"

Telapak tangan Yeonhee yang ada di atas meja mengepal.

"Gue pikir saat lo memutuskan buat ngajak pacaran itu sama artinya dengan lo siap berbagi. Kenapa milih sembunyi?"

"Gue salah, Yeonhee. Maaf."

"Memang," sambar Yeonhee sengit. "Tapi nggak ada gunanya lagi. Semarah apapun gue ke lo, gue udah janji ke diri gue sendiri buat maafin lo. Setelah hari ini, gue anggap nggak pernah ada apapun yang terjadi antara lo dan gue. Dan," ucapan Yeonhee berhenti, "let's pretend we never know each other from now onwards."

Bomin terkesiap. "Yeon." Dia terdengar nggak setuju.

"Please." Tapi Yeonhee sama keras kepalanya. "Lo bisa bertindak cuek selama ini, jadi kenapa nggak diterusin aja sekalian?"

"Yeonhee, lo masih marah." Bomin menegaskan.

"Pasti. Gue cuma bilang buat kasih lo maaf, bukan kesempatan."

Benar.

Yeonhee sekadar memberi maaf.

Bukan kali kedua.

Sekarang, Bomin menunduk.

"Tolong bantu hargai keputusan gue. Udah cukup selama ini gue hampir gila karena lo, Bomin."

Yeonhee memberi Bomin satu tatap lama terakhir, sebelum benar-benar bangkit dan beranjak keluar kafe. Meninggalkan Bomin dan masa lalu yang mengekang selama sekian waktu, Yeonhee merasa tumpukan berat di pundaknya bertolak seringan kapas.

Bagi Yeonhee, masalah selesai.

Tapi Bomin?

Selamat datang di dunia kelabu karena yang dicinta memutuskan berlalu tanpa mau tahu, Bomin.















•••
yang lebih tau mana yang baik atau buruk buat lo itu diri lo sendiri. versinya yeonhee, kenapa harus terjebak di satu kubangan racun saat lo bisa memilih keluar?

[5/5] — SELESAI

Pada LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang