All I Really Want To Do

754 159 32
                                    












Aku terdiam membisu, suara di sebrang telepon membuatku kaku. Pandanan kata apapun seakan lenyap, suara seorang wanita di telepon terus memanggil. Menanyakan siapa kiranya yang menelpon sore-sore begini. Aku menggigit bibirku, seakan tidak percaya jika suara yang dewasa namun tetap lembut terdengar itu menyapa gendang telingaku. Apa benar wanita ini Hinata?

"Sepertinya anda salah sambung ya? Baiklah, saya tutup kalau begitu—"

"Jangan. Aku tidak salah sambung." Sahutku cepat, tak membiarkannya menutup telepon. Aku tidak tahu apa benar yang di sebrang telepon adalah Hinata dan aku ingin memastikannya. Aku ingin bicara satu patah dua patah kata, menanyakan kabarnya atau basa-basi apa saja kalau bisa. Kepalaku terus membayangkan bagaimana kiranya Hinata versi dewasa? Apa matanya tetap terlihat memesona sekaligus meneduhkan seperti dulu? Apa tingkahnya tetap sangat tertata dan sopan seperti dulu? Dan tinggal dimana wanita itu sekarang? Apa masih satu desa denganku di Takaharu, Mizayaki? Apa kita bisa bertemu? Aku ingin tahu sekali Jawaban-jawaban itu.

"Baiklah, dengan siapa?" Suara itu menyahut lagi, nadanya terdengar ramah persis seperti dulu. Namun rasanya suara itu terlalu pelan dan tak tegas seperti dulu.

"Emm, sebelumnya.. Apa benar aku bicara dengan Hinata? Hinata Hyuuga. " Tanyaku, aku harap wanita yang sekarang tersambung denganku adalah Hinata. Aku tidak ingin wanita lain, aku tidak ingin ia memperkenalkan nama lain.

"Emm.. Ya, dengan saya sendiri, ada apa ya?"

Lagi, aku kembali membisu dan jantungku berdetak cepat begitu jawabannya sesuai harapanku. Aku memilin bibir menahan senyum, entah mengapa bibirku rasanya ingin mengembang lebar menunjukkan cengiran bahagia. Tapi dengan alasan yang tak aku mengerti, aku memilih untuk menahan senyum itu, membiarkan rasa senang itu meletup-meletup saja di jantungku.

"Aku... Naruto. Namikaze Naruto, teman SMPmu. Kau ingat?" Ucapku, lalu tiba-tiba hening kemudian. Hinata tak segera menyahut, tak ada helaan napas juga yang terdengar. Aku baru saja akan kembali berbicara, tapi Hinata terkekeh di seberang sana.

"Tentu saja aku ingat. Bagaimana kabarmu Naruto-kun?"

Dia ingat.

Hinata mengingat aku.

Dia memanggilku Naruto-kun. Rasanya tetap akrab dan dekat, seolah kita memang sering terhubung meski dimakan jarak. Aku ikut terkekeh, tawaku rasanya terdengar renyah dan menyenangkan. Aku bangkit dari kursiku dan mendekati vinyl playerku.

"Kabarku baik. Bagaimana denganmu? Pasti kau sangat baik. " Aku menggantikan pemutaran piringan hitam, lalu mulai menggantinya dengan album The Byrds yang lain. Kini, lagu All I Really Want To Do mengalun pelan memenuhi kamarku, tapi suara Hinata masih mendominasi telingaku. Hinata pasti sangat menakjubkan sekarang, saat SMP gadis itu selalu jadi primadona perihal prestasi.

Hinata terkekeh lagi. Terdengar damai dan membuatku menahan senyumku.

"Ya... Aku baik, tapi tidak sangat baik." Tuturnya lembut, terdengar suara geseran kursi. Apa mungkin sekarang Hinata tengah duduk di kursi?

"Apa ada undangan? Biasanya teman lama menelepon karena akan menikah." Lanjut Hinata, aku terbahak seketika.

Menikah? Itu lelucon sekali bagi hidupku.

"Apa ada yang lucu?" Hinata bertanya dengan kekehannya, aku sendiri berusaha meredam tawaku dan mulai bicara lagi.

"Aku tidak menikah, tapi dugaanmu itu wajar." Sahutku, memang apa yang harus dibicarakan teman lama jika menelepon tiba-tiba? Tak mungkin hanya menanyakan kabar saja kan? Seharusnya aku memikirkan alasan kuat untuk mengatur siasat ketika Hinata bertanya. Kini, aku kebingungan mencari alasan. Adakah pandanan kata yang paling tepat?

The Byrds [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang