Wasn't Born to Follow

872 158 14
                                    

5 | Wasn't Born to Follow



Dua tahun kemudian.


Aku menarik napas menghirup hiruk pikuk New York yang lebih sering tercium bau orang-orang sibuk berlalu-lalang, membawa cup kopi di tangan mereka seraya membaca jurnal. Atau berlari sedikit lebih cepat mengejar bus sambil merapihkan dasi mereka, New York memang tempat orang-orang sibuk, tapi tak jarang aku menemukan seorang kakek dengan flat capnya sedang membaca koran, mencari sudut tenang seraya menikmati paginya meski sebagian besar orang riuh meraup penghasilan. Aku sudah terbiasa dengan nuansa gemerlap NY yang kerap membuatku lupa bagaimana indahnya bunga sakura jatuh di Jepang, aku pun sudah terbiasa menggunakan aksen Amerika dan lupa bagaimana tata krama orang-orang Jepang tentang mengatur kehidupan dari rentang usia belia hingga tua renta. Amerika bebas memanggil siapapun dengan nama, berkata berhak akrab dengan siapa saja dan menjunjung kebebasan individu. Kehidupan Amerika senantiasa membuatku bergerak maju pada aspek kehidupan individu, aku menyelesaikan pekerjaanku dengan baik di sini dan bagaimana aku bisa menghasilkan uang dari sini.

Tapi, tentu saja aku harus pulang. Jepang menyimpan satu rumah tetap yang tidak tergantikan oleh kebebasan jenis apapun yang di tawarkan Amerika. NY memiliki kelebihan menghasilkan uang hingga dompetku tebal, tapi tentu saja negara tempatku mencari uang tak pernah bisa menyediakan hangatnya rumah yang selalu membuatku ingin pulang.

Aku ingin bertemu kekasihku yang sudah mantap aku kencani selama dua tahun, orang yang tak pernah diduga akan menjadi bagian dari hidupku. Berawal dari insiden paling sepele tentang buku tahunan yang jatuh, seolah memori masalalu meminta kembali dikuak dan membiarkan aku menemui bunga cantik di masalalu, yang rasa-rasanya bodoh sekali karena tak pernah terpikirkan olehku sejak dulu.

Aku pria yang mungkin saja tak pernah baik dalam hubungan asmara bahkan aku tidak pernah mencobanya di masa-masa sekolah, tapi aku kini berhasil menemukan cinta yang mungkin saja sejak dulu telah terhubung dengan doa-doa, yang tulus dan menerimaku apa adanya.

Kekasihku adalah Hinata Hyuuga, dia begitu kompeten mencintaiku yang rasanya akan selalu begitu jika aku tua sekalipun. Aku ingin memeluknya dan berkata jika aku memiliki gagasan serupa tentang mencintainya, bahwa aku ingin mencintainya sampai tua. Bahwa aku juga pernah menyukainya sejak dulu, bahwa dulu sekali, mungkin saja angin musim semi pernah menerbangkan namanya di hari-hariku yang kelam.

"Morning," aku menyapa seorang kakek yang rutin sekali aku lihat duduk di taman sendirian, aku sering menyapanya bahkan berbagi obrolan ringan dengannya. Dia juga seorang kakek yang ramah dan terkadang ucapannya menjadi stimulanku untuk bekerja lebih semangat.

"Morning, Jepang." Tuturnya dengan senyuman hangatnya, kalimat sapaannya bukan sarkasme berbentuk rasisme. Dia biasa memanggil Jepang yang rasanya selalu mengingatkanku dimana aku lahir sebenarnya, awal pertemuan kami, dia kerap berkata wajahku tidak ada Jepangnya sama sekali. Kulitku Tan, suraiku pirang dan mataku biru. Jepang mencuri darah orang-orang Amerika katanya. Dia bercanda seperti itu, maka untuk mengingatkanku dimana aku berasal, dia kerap memanggilku Jepang.

Karena katanya, Amerika sering kali membuat orang lupa pulang dan itu sangat berbahaya.

"Membaca lagi Freud?" Tanyaku, dia mengangguk dan terkekeh. Menunjukkan koran berisi berita terkini.

Aku menyesap kopi sebelum menyahutnya. "Aku akan pulang ke Jepang," tuturku padanya, dia melipat koran dan mulai menatapku dengan mata belonya yang mulai tenggelam karena keriput dikepolak matanya. Dia terkekeh lagi.

"Kau akan menikahi kekasihmu?" Freud bertanya, aku terkekeh dan mengangguk. Tentu saja aku juga pernah menceritakan Hinata dan bagaimana kami bertemu kembali sejak dua belas tahun terpisah karena produktivitas menuju dewasa.

The Byrds [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang