Tak mesti punya saldo rekening selangit atau kekayaan sepuluh turunan sekalipun. Bagi Romi—kita sebut saja begitu—isi dompet yang bisa memberinya makan hari ini sudah lebih dari cukup.
Ada beberapa hal yang perlu kalian tahu. Pertama, Romi tidaklah miskin. Mungkin hampir, ketika tahu ia tak bisa mengambil uang di ATM sebab saldo yang terlalu minim. Sedang apes. Tetapi semangat juangnya mencari pundi-pundi rupiah tidak perlu diragukan lagi.
Kedua, ia memiliki pekerjaan tetap sebagai seniman lepas. Profesi itu seringkali dipandang sebelah mata sebab minimnya pengetahuan seni khalayak. Walau begitu, lukisan abstrak pertama Romi pernah dihargai hampir 500 juta rupiah oleh seorang kolektor luar negeri. Membuat pria bernama lengkap Romeo Zenobia ini pun berhasil mengisi beberapa situs berita online karna karyanya.
Namun, masa-masa itu tidaklah bertahan lama.
Semua orang tahu jika persaingan selalu ada dalam hal apa pun. Begitu pula dengan Romi. Ada terlalu banyak seniman-seniman lain yang namanya naik begitu cepat. Tidak lain menggunakan jalur orang dalam hingga kekuatan harta yang mana menjadi kelemahan utama pria ini. Membuatnya harus merelakan berbagai lampu sorot kepada pelukis lain.
Pagi hari di pengujung bulan November yang lembab, ditemani asap polusi dari berbagai kendaraan di Ibukota Jakarta. Tidak ada kata terlalu pagi untuk mencari sumber penghidupan. Yang ada rezekimu akan dipatok ayam jika bangun kesiangan.
Saat itu waktu masih menunjukkan pukul 5 pagi. Walau matahari belum terbit sepenuhnya dan keadaan perut yang belum diisi sejak semalam, Romi tetap memaksa untuk menjalankan motor besarnya ke jalanan.
Bukan nekat, sebab tujuannya pagi ini adalah untuk menghadiri sebuah wawancara kerja paling menjanjikan atas rekomendasi seorang teman.
"Gini Rom, gue nggak bisa pergi jauh-jauh apalagi untuk waktu yang lama. Kasihan anak di rumah kalau ditinggal-tinggal," cetus Prima—teman semasa sekolahnya—lewat sebuah telepon satu minggu yang lalu ketika ia masih sibuk jual lukisan di Bandung. "Nah, jadi atasan gue ini minta cari pengganti kalau dia ada urusan ke luar kota. Lo punya SIM A, kan? Buat bayarannya terjamin, deh! Jalan seminggu aja sudah bisa buat biaya makan sebulan."
Bohong jika Romi berkata bahwa ia tidak tertarik. Semangat 45 saat membalas panggilan telepon itu.
"Atasan gue ini namanya Pak Alex ... Alex yang sering ada di TV itu. Keren kan gue bisa kerja sama artis! Walau cuman jadi supir."
Ternyata lowongan pekerjaan menjadi supir!
Supir bukan sembarang supir. Karena bayarannya yang lebih dari cukup.
"... Alex yang mana?"
"Itu lho, yang Chef ituuu. Sering muncul bareng Chef Junaedi di acara masak-masak. Anak gue yang baru lima tahun sampai ngefans sama dia."
Romi diam, alisnya berkerut dalam.
"Ampuuun, Rom. Kalau nggak punya TV ikut nonton dong sama tetangga!"
Romi bukan penggemar acara-acara televisi tidak bermutu. Ia tidak hapal nama dari para selebriti yang namanya sedang ramai diperbincangkan masyarakat luas. Lagipula daripada menghabiskan tabungan minimnya untuk membeli TV, pria ini lebih senang untuk memperbarui peralatan lukis yang semakin menipis.
"Jadi nanti lo yang gantiin gue kalau Pak Alex harus keluar kota. Nanti kabarin gue kapan lo bisa dateng ke Jakarta. Inget! Walau cuman jadi supir, tapi lo tetap harus pakai baju yang rapih. Pokoknya jangan serampangan. Pak Alex ini orangnya baik ... baik banget, malah. Tapi jangan buat dia kecewa sama penampilan lo."
Sambil meliukkan motor di belokan perempatan, Romi mengingat setiap baris kalimat yang sempat diucapkan temannya. Kembali memikirkan berbagai kata demi kata yang telah ia susun ketika berhadapan dengan calon atasan.
![](https://img.wattpad.com/cover/282490620-288-k697837.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Never a N'ever After
RomantikWarning: 21+ "Singkat saja, ini bakal jadi hubungan yang saling menguntungkan. Kamu butuh uang, saya butuh pengalihan." Laki-laki itu mendelik, "Maksud kamu selingkuhan?!" *** Bos yang dijuluki Iblis Eropa ini betul-betul licik. Bahkan setiap kebusu...