Prolog

1.2K 158 7
                                        

Romeo Zenobia, usia dua puluh tujuh, mengangkat kuas menunjuk langit.

Awan-awan di luar mendung dirundung pilu. Bukan bermaksud lebay, tetapi keadaan langit memang selalu abu. Barangkali menyerupai setiap maha karyanya yang kini mendekam bermandikan debu. Abstrak, kelabu, hampa. Membuatmu bertanya-tanya apa yang sang seniman ini rasakan ketika menggoreskan setiap cat pada kanvas putih bersih.

Tangan itu terus mengukir sebuah karya abstrak di sana. Menambahkan lebih banyak warna-warna gelap. Tak mau orang salah mengapresiasi karyanya dengan emosi bahagia. Tidak boleh ada unsur efek pencahayaan buatan, harus kelam!

Sebab kelabu yang ia buat harus bisa mempresentasikan mata itu.

Romeo, oh Romeo.

Entah apa yang membuatmu sangat ingin orang lain mengetahui sedalam apa kau—atau barangkali dia, Juliet-nya—memendam luka.

Ia lebih senang orang-orang memanggilnya dengan sebutan singkat seperti Rom, Omi atau Romi. Sebab makna dari nama Romeo terlalu dalam bagi siapa pun yang mendengar. Pun, karena Romeo yang satu ini tak memiliki Juliet di sampingnya.

Atau mungkin, Juliet-nya sudah tidak lagi ada.

Kalau Romeo di kisah romansa terkenal itu mati bunuh diri karena kesedihan yang mendalam, Romeo satu ini akan mengakhiri hidup akibat tak tahan dengan lilitan hutang hingga keputusasaan.

Romeo termenung murung. Baginya, dunia akan selalu menjelma lukisan kelabu selama Juliet-nya tidak ada.

***

Selina Antoinette Lenoir, dua puluh empat tahun, beriris kelabu yang menatap lebih tajam daripada bilah belati.

Di luar sana, jantung Menara Eiffel berkerlip dengan lampu kekuningan. Malam yang mendung, titik-titik embun menghiasi jendela tempatnya bekerja. Paris tidak lagi menarik jika kau tinggal di sana sejak dilahirkan. Hanya ada menara berkarat, lampu-lampu menyala sepanjang malam, hingga jembatan gembok cinta keberatan nafsu. Ramai, glamor dan hangat, memang. Tetapi kemewahan Paris tak sanggup menggantikan hangatnya berada di dalam dekapan seseorang.

Dia menyalakan radio tua peninggalan sang Kakek. Lagu berbahasa Prancis pun mengudara.

Mata tajam kembali fokus pada berlembar-lembar kertas di tangan, atau sesekali menatap layar laptop. Memeriksa, menunggu seseorang membuat laporan yang salah hingga Selina bisa melampiaskan segala kekesalan dalam diri.

Jangan tatap matanya, kalau kamu tidak mau kencing di celana!

Jangan buat kesalahan sedikit pun! Kalau tidak, habislah kita.

Di depan pintu, para karyawan berbisik cukup keras menggunakan bahasa Prancis. Tetapi di kepala Selina, kata-katanya seolah telah diterjemahkan secara otomatis menjadi Bahasa Indonesia—sesuai dengan bahasa ibu orang itu.

Atau jangan masuk ke ruangannya sekalian! Anggap kita tidak pernah bekerja di sini—

Dan membuat dia lebih marah dari yang sudah-sudah?

Memangnya Nona Lenoir pernah menjadi perempuan baik hati? Jangan harap!

Sudah biasa. Abaikan saja. Mereka sudah mencapnya sebagai atasan keji, tidak masalah. Sebab memang begitulah kenyataannya.

Jika Ratu Marie Antoinette mati terpenggal, Antoinette yang satu ini malah akan balik memenggal kepalamu.

Selina, oh Selina.

Entah apa yang membuatmu berlaku sekeji itu. Tetapi setiap orang memiliki alasannya masing-masing. Selina tidak perlu semua orang mengerti, cukup satu; dia yang telah lama pergi.

Kelabu yang pilu. Setajam apa pun pandangannya, dia pasti tahu terdapat luka menganga di sana. Terkubur begitu dalam oleh tuntutan tanggung jawab dan masalah hati.

Paris adalah kota sumber cahaya yang di malam hari memiliki slogan "Dreams come true." Bullshit. Sebab impiannya berada sangat jauh di tempat lain. Satu per satu lampu kota meredupkan pencahayaan kuning hangat. Arsitektur gedung setingkat maha karya pesonor terkenal tidak mampu menyaingi karya lain dari sang seniman pujaan hati.

Samar-samar Kota Paris meredup, seredup persoalan hati.

—————

Jangan lupa follow Instagram @Elchotye untuk tahu spoiler-spoiler dan kapan chapter selanjutnya akan update!

Never a N'ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang