“Nyaman itu, saat bersamamu, tanpa harus saling memiliki.”
Siang itu, aku bergegas ke Kafe Kopi Kita untuk bertemu dengan seorang kawan lama. Sudah hampir tiga tahun, kami tidak pernah bersua, karena ia harus bekerja di luar negeri. Saat memasuki Kafe, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat itu. Aroma kopi dari berbagai variasi rasa dan aroma bercampur menjadi satu memenuhi ruangan yang di padati oleh pengunjung.
Akhirnya, seseorang yang aku kenal melambaikan tangannya. Ia duduk di meja dekat jendela dengan mengenakan setelan kameja hitam. Dialah, Reinhart Panduwisesa. Kawan lama, sekaligus sahabat masa sekolahku dulu. Aku pun segera menghampirinya.
“Maaf, sudah lama?” kataku usai mmenyalaminya.
Rein hanya tersenyum memamerkan lesung pipinya. Tiga tahun tidak bertemu, parasnya tidak berubah sama sekali. Tetap tampan diusianya yang mendekati 30 tahun.
“Aku juga baru sampai, Felix. Apa kabarmu? Sudah menikah?” tanyanya tanpa memberiku kesempatan menjawab.
Kami hanya tertawa menyadari tingkah yang kekanakan.
“Aku baik saja dan aku sudah menikah. Kau sendiri?” balasku.
Perbincangan kami terhenti sejenak, saat seorang pelayan mengantarkan pesanan. Dua gelas kopi latte dengan sepiring donat dan coffee cake yang aromanya begitu menggugah selera.
“Aku juga sudah menikah dan kau akan bertemu dengannya sebentar lagi,” sahutnya sambil menyeruput kopi pesanannya.
Kami pun terlibat perbincangan yang cukup menyenangkan, sembari mengenang masa-masa indah di sekolah dulu. Dari perbincangan itu, aku menjadi tahu alasan ia pergi tanpa pamit ke Inggris untuk bekerja.
“Kau dijodohkan?” kagetku saat ia menjelaskan alasannya.
Rein mengangguk sambil tertawa. “Sayang sekali aku tidak menyukainya. Saat itu aku masih tidak memikirkan ke arah pernikahan,” sambungnya.
Aku menyetujui ucapan sahabatku itu. Rein memang sosok yang sangat ambisius dalam hal apa pun yang ia inginkan. Sebelum tercapai, ia tidak akan berhenti mengejarnya. Tengah kami berbincang, seorang wanita muda yang kutaksir berusia sekitar 21 tahun menghampiri meja kami. Penampilannya elegan dengan dress berwarna krem sebatas lutut,memperlihatkan betisnya yang jenjang, sementara rambut ikalnya dibiarkan tergerai.
“Akhirnya kamu datang, Sayang. Duduklah!” Rein menggeser kursi mempersilakan wanita itu duduk. “Perkemalkan, ini Titania istriku,” imbuhnya.
Aku dan Titania saling berjabat tangan. Ia melempar senyuman manis yang membuat desir aneh di hatiku. Dari wajahnya aku menduga ia adalah seorang keturunan, karena terlihat agak kebarat-baratan. Dugaanku ternyata dibenarkan oleh Rein, yang mengatakan jika istrinya adalah keturunan Indonesia-Inggris.
“Betul, Kak Felix. Aku keturunan dan sudah menetap lama di Indonesia.” Titania berkata dengan bahasa Indonesia yang fasih.
Seusai bertukar kontak, kami pun berpisah. Dalam perjalanan pulang, aku masih membayangkan kecantikan Titania. Gaya bicaranya, gerak tubuhnya, semua nampak berkelas. Aku memuji dan merasa iri dengan pilihan sahabatku itu. Seminggu usai pertemuan kami, sebuah pesan masuk saat aku tengah bekerja. Kaget bercampur senang, aku membaca pesan yang dikirim oleh Titania.
Saat jam makan siang, aku sudah tiba di sebuah restaurant makanan barat yang disebutkan oleh Titania. Tanpa kesulitan,aku bisa menemukan wanita cantik itu tengah duduk dengan mengenakan dress panjang warna hijau.
“Kamu terlihat cantik,” pujiku tanpa sadar.
Titania hanya tersenyum sambil mengibaskan poni yang menutupi matanya. “Terimakasih sudah mau menemuiku Kak,” sambutnya ramah.
“Aku tidak begitu sibuk, jadi tidak masalah. Apa yang bisa aku bantu?” tanyaku setelah kami memesan makan siang.
Titania pun mengatakan tujuannya bertemu denganku, yang tidak lain untuk mengajukan sebuah kerjasama dengan perusahaanku. Saat ini, perusahaan tempatku bekerja tengah memerlukan seorang model yang bisa memasarkan produk kosmetik. Aku berpikir, dengan memakai Titania sebagai modelnya, tentu akan mendongkrak penjualan.
“Bagaimana dengan Rein? Apakah dia tahu akan hal ini?” selidikku.
Wanita itu mengangguk sambil meneguk air putih dalam gelas yang ia pegang. Bahkan, meneguk air pun ia terlihat begitu menawan. Setelah membicarakan penawaran yang ia ajukan, aku pun menyetujuinya dan akan mmenghubungi jika kerjasama ini diterima pihak direksi.
Dalam rapat yang aku ajukan untuk membahas kerjasama dengan Titania, akhirnya pihak direksi menerima penawaran itu. Aku pun di tunjuk sebagai fotografernya. Segera aku hubungi Titania dan membuat janji untuk bertemu. Selama proses pemotretan, tidak terasa hubunganku dengan Titania semakin dekat. Bahkan, dengan tidak canggung aku mengantarkannya pulang. Rein pun tidak mempermasalahkan hal itu, karena menurutnya aku bisa menjaga kepercayaannya.
Sementara, hatiku berkata lain. Kebersamaanku dengan Titania selama beberapa minggu ini, menghadirkan sebuah rasa yang sangat berbeda di hatiku. Sebuah getaran aneh yang sempat kurasakan saat pertama kali jatuh cinta dengan Aisah, istriku. Jika dibandingkan, istriku sangat jauh berbeda dengan Titania. Entahlah, aku menjadi membandingkan mereka berdua.
Kian hari, hubunganku dengan Titania semakin akrab, meskipun pekerjaan yang kami lakukan sudah berakhir. Perbicangan tidak lagi hanya lewat telepon, tetapi juga petemuan yang diakhiri dengan makan malam romantis. Kenyamanan yang ia berikan membuatku terlena dan merasa seperti remaja yang tengah jatuh cinta.
Hingga akhirnya, aku tersadar saat melihat istriku menangis di dalam kamar. Saat aku menanyainya, ia mengatakan jika aku tidak lagi memperhatikannya dan anak-anak, tetapi lebih memilih meyibukkan diri dengan pekerjaan, yang hanya merupakan alasanku untuk bisa bertemu dengan Titania. Hal itu membuatku tersadar, betapa telah berdosa dan tidak bertanggung jawabnya aku sebagai seorang suami.
“Maafkan aku, Aisah. Aku berjanji akan mengurangi kesibukanku di kantor,” ujarku malam itu, membuat binar kebahagiaan di amatanya bersinar cerah.
Kuputuskan untuk mengakhiri kenyamanan semu bersama Titania. Kusadari, itu hanya sebuah fatamorgana sesaaat yang jika diteruskan akan membawa kehancuran tidak hanya untuk keluargaku, tetapi juga untuk Rein serta persahabatanku dengannya.
“Aku akan kehilanganmu, Kak.” Titania berujar lembut sambil mengelus tanganku.
“Bagaimanapun, ini tidak benar, Titania. Aku memang nyaman di dekatmu. Aku merasa diperhatikan dan dimanja. Tapi …”
“Aku menggerti, Kak. Aku juga sadar, akan banyak yang tersakiti karena ini,” ujarnya menunduk.
Aku memeluk wanita itu erat. Satu kecupan mendarat di pucuk rambut ikalnya. “Setidaknya kita masih akan bertemu,” bisikku lembut membuatnya kembali tersenyum.
“Nyaman tidak berarti memiliki.” Aku melangkah meninggalkan Titania yang masih terduduk di dalam restaurant.
KAMU SEDANG MEMBACA
KUMPULAN CERPEN "MATI RASA"
De TodoSebuah koleksi cerpen dengan berbagai kisah yang dituangkan secara sederhana dan mudah di baca, sehingga diharapkan bisa menjadi sebuah bacaan ringan di waktu senggang.