Minggu 3, Desember 2020
"Berawal dari bathroom menjadi sebuah perbincangan anak kelas."
"Perhatian anak-anak, apa semuanya sudah kumpul? Bapak akan mulai langsung pelajaran hari ini." Suara dosen terdengar hingga kamar mandi.
Hilda tetap saja membasuh wajah yang kini tidak hilang-hilang dari noda hitam. Noda yang menyebalkan dari masker tidak punya adab itu. Enak sekali menempel hingga sulit dihilangkan. Lihatlah, sudah satu jam tepat sebelum pembelajaran online dimulai tetap tidak hilang. Kenapa pula, dia harus menerima tawaran dari adik kelas yang pernah menjadi musuhnya.
"Sedikit, lagi... Aw! Anjir!" tangannya mengusap bagian sisa masker yang terkupas dengan paksa.
Ia melihat wajahnya sebentar, melihat laptop yang sudah berkoar-koar mengabsen anak kelas. Sial, tidak mungkin ia memperlihatkan wajah pada anak kelasnya dalam kondisi seperti ini.
Tangannya gatal menarik-narik beberapa yang tersisa di wajahnya. "Anjir! Sakit!" ini adalah umpatan keluar langsung dari hati tanpa berpikir.
"Gua beli berapa lagi? Tujuh?" memandangi wajahnya dari pantulan cermin.
Suara dari laptop terdengar jelas setelah dia mematikan air keran. "Helmi," panggil pak dosen.
"Hadir." Memperlihatkan wajahnya pemilik nama itu.
Hilda dengan cepat lari keluar, mengambil kain yang bisa membalut kepalanya, intinya berjilbab. Kakinya cepat berderap menuju meja di kamarnya.
"Hi....lda." sepertinya pak dosen sulit membaca namanya. Karena nama lengkapnya saja tidak disebutkan.
Hilda melirik pada kotak tisu, memeriksa. Sial, tidak ada. Dia mengumpat, 'Ada apa dengan hari ini?' kenapa tisu habis hari ini?
"Hilda?" semua mahasiswa terdiam seketika, keheningan tercipta.
Dia melihat laptop, cepat mengelap tangan pada celana tidurnya. Jarinya menekan tombol 'Mute' yang tadi menyala dan 'Camera'. Dia mendekatkan wajah pada kamera kecil di depan laptop. Hal itu membuat semua bingung, kenapa yang muncul adalah kening, bukan wajah. Ia tidak berani jika pipi, mata bahkan hidung terlihat. Karena masih ada sisa masker yang menempel.
Antusias semua mematikan 'Mute' suara mahasiswa kini saling sahut-menyahut menanyakan ada apa dengan Hilda. Mengapa keningnya saja yang terlihat.
"Da?"
"kenapa?"
"Iya, gua tau punya lu mulus."
"Hil, kenapa sih?"
Masih banyak yang lain, sehingga Hilda sulit mendengarkan dengan jelas. Kini tangannya sibuk menarik sisa masker sambil bercermin pada kamera ponsel. ini sungguh menganggu. Andai saja ada mahasiswa baru yang berkenalan atau siapapun itu. jika ada...
"Maaf, Pak. Saya dari kamar mandi baru saja... melahirkan." Suara serak basah itu membuat suara hiruk-pikuk seketika berhenti.
Jeda beberapa saat, kemudian tertawa dengan kompak diselingi oleh ucapan kocak dan aneh, juga ada pertanyaan lain dari mahasiswa.
"Laki kok melahirkan?"
"Lu hermafrodit, Chel?"
"Eh, itu Marchel bukan sih?"
"Hahaha, lawaq banget, ganteng!"
Hilda yang tercengang tak sadar dirinya menjauhkan wajahnya dari laptop, sehingga wajah seutuhnya bisa terlihat dengan jelas.
"Eh, liat tuh, mukannya Hilda ada apaan dah?"
"Dih, jorok lu Da, kalau dibuang, masa lu tempel di muka."
Hilda mendengar itu cepat menutup wajah dengan telapak tangan, tapi tidak bisa. Tangannya dipenuhi oleh masker tadi. Bisa-bisa menempel lagi, pikirnya.
***
Marchel melihat kata yang tadi membuatnya penasaran. Sebenarnya yang bilang 'melahirkan' itu bukan dirinya, melainkan ibunya yang bertanya pada adik-nya. "Teh, kapan kamu melahirkan anak pertama?" kata itu entah mengapa bisa terdengar jelas hingga speaker laptopnya. Aneh.
"Pemilik dua kelamin." Dia membaca salah satu artikel mengenai kata 'hermafrodit' dan tidak sadarnya tombol 'Mute' belum dinyalakan.
"Hilda! Marchel!" Pak dosen berseru membuatnya terdiam.
Kini wajah Hilda dan Marchel secara tidak disengaja oleh mereka, telah terpampang memenuhi layar laptop para mahasiswa juga dosen.
****
Ponselnya bergetar, Hilda cepat melirik pada meja tidurnya. Ia melihat namanya di 'tag bersamaan dengan nama Marchel. Apakah karena dirinya dan cowok itu pelajaran pertama tidak dilangsungkan? Sekarang muncul ribuan pesan setelah tag nama tersebut. Semua mahasiswa berkata terimakasih dan menjelaskan kekonyolan wajahnya. Mungkin, sebentar lagi wajahnya dibuat dalam bentuk sticker WetShup
Dia menghempaskan tubuhnya. hari ini terasa berat. Entah kenapa, setelah moodnya turun akibat masker itu dan tisu benda yang paling penting itu habis, membuatnya tetap tidak ingin mengubah moodnya. Apalagi setelah pelajaran kuliahnya selesai, ia mendapatkan kesialan juga, yaitu merasakan pedihnya ban motornya yang tumblas. Sial, memang hari ini.
"Marchel?"
Entah mengapa mulutnya melontarkan nama itu tanpa dipikir bahkan direncanakan. Bukankah tadi dia memikirkan hari sialnya? Dan betapa bodohnya wajah yang kotor dipenuhi oleh masker itu, sehingga menjadi topik pembicaraan anak kelasnya sekarang. Apakah masker itu juga telah meracuni mulutnya? Ia membenamkan wajah di balik tumpukan bantal.
"Sial, kenapa?"
Ia memaki dirinya seolah telah berbuat dosa besar.
Jiwa dan hatinya yang tadi tidak bersahabat kini seolah bersahabat. Dia berbalik, menatap langit kamar. "Kira-kira Zahra masih suka sama Marchel gak ya?" dia bangkit, duduk bersandar pada punggung ranjang.
Tangannya meraih ponsel di dekatnya, "Kayaknya seru, lagian tadi dia udah bantu gua." Dia tersenyum mengingat kejadian pagi setelah memohon untuk menolongnya dari banyak pertanyaan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Timbul Rasa {On going!}
Teen FictionPLAGIAT MINGGIR!!! 'Timbul Rasa based on Story' {Update 1 Bab 1 pekan} Kita memang hanya sekedar teman, namun pendekatan kita seperti layaknya kekasih. Sayangnya, kita tak berani untuk menunjukkan jika kita saling memiliki rasa yang sama. Hilda me...