"Memberanikan diri bukan berarti tidak punya harga diri, hanya menurunkan gengsi berlebihan."
Tuan Ganteng, Pesan masuk dari orang tak dikenal tapi hendak dikenal.
Marchel melirik pada ponsel yang berkoar dengan dering unik itu. Sebenarnya, dia tidak pernah menyadari bahwa dirinya patut dikatakan 'ganteng' tapi banyak yang bilang dan memujinya. Hal itu membuat adik cowoknya membuatkan dering pesan seperti itu. Jujur, tadinya dia mau mengganti dering itu dengan yang lain. Tapi, tidak perlu lah. Pikirnya. Karena membuang-buang waktu saja.
From: ~Hil pake Da
Gua Hilda, lu inget?
Senyumannya terlukis pada wajahnya. Sebentar, kenapa dia tersenyum? Ketika dirinya sadar bahwa setelah mengirim pesan kembali untuk pemilik nomor tersebut. Ada apa dengan dirinya? Ia menggelengkan kepala, meletakkan ponsel dan kembali menonton film kesukaannya.
"Love is just a transaction. You can decide to let go of your love because you know it will bring much more love from the other side."
Ia membiarkan film yang berjudul 'After' itu berjalan. Namun, matanya gagal fokus, sesekali melirik pada ponsel di samping. Sehingga tidak sadar, dia melakukan kesalahan yang sama. Tersenyum karena pesan yang dikirimkan oleh Hilda. Dia juga tidak tahu, sungguh. Kenapa pesan pertama milik gadis itu lain halnya dengan anak kelasnya. Hmm, apa mungkin karena dia dan Hilda telah menjadi perbincangan anak kelasnya?
Dering pesan unik itu mengejutkannya, tangan terkesiap menyambar ponsel. Lihat, kini hati dan pikirannya sudah sejalan. Dia telah menurunkan gengsinya selama ini, karena semasa sekolahnya dulu, dia adalah orang paling menjengkelkan jika ada cewek yang ingin berkenalan dengannya.
~Hil pake Da
Yaelah, kita pernah sekelas masa lu gak inget?
Marchel menjauhkan ponsel, kepalanya terangkat melihat langit kamar. Memangnya kita pernah sekelas? Tapi, kapan ya? Tidak ada satu pun kenangan terbesit masa lalu dalam otaknya, seperti gelap dan tak ada yang mau muncul. Mungkin, karena dia tidak terlalu perduli dengan anak kelasnya dulu. Ya, soal Hilda bilang pernah sekelas. Boleh lah, pikirnya.
*Hil pake Da
Maaf, aku lupa. Tapi, dari nama lengkap kamu. Kayak familiar gitu. Hildha.
Dia meletakkan kembali, tepat di samping laptop. Tangannya menekan tombol 'space' menghentikan tayangan tadi. Ia bersandar, menerawang langit kamar dengan senyuman terlukis di sana. Rasanya beda, pesan tadi membuatnya sedikit tenang dan... sepertinya ini adalah rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
~Hil pake Da
Eh, nama asli gua, Hildha... ada H nya gitu. Kok lu tau sih?
Ia bangkit, meraih ponsel. lain kali digenggam saja ponselnya, supaya tidak ribet bangkit untuk mengambil. Setelah membaca, ia mengerutkan kening. Bukankah nama Hilda itu memang ada 'H' nya kan? Pikirnya sembari mengingat-ingat.
"Ouh, pantes. Di absen kelas gak ada 'H' nya." Ia melihat daftar kelas lewat file yang disebarkan di kelas, setelah dibagikan.
*Hil pake Da
Hmm, ya, aku Cuma ingat nama aja, maaf, ya.
Anehnya yang mengganjal hanya satu, ialah sikap sopan santunnya. Padahal banyak cewek yang mengirim pesan lewat FiaBook, KeyGram dan Bubelem. Tapi ia balas dengan bahasa 'lu gua' terus kenapa pada Hilda saja dia seolah tunduk dan takut membuat gadis itu tersinggung.
~Hil pake Da
Gak masalah, Cuma nama aja udah berarti bagi gua. Eh, lu dah liat SuWe gua?
Ia membaca, menggeser pesan ke story WetShup. Tidak ada. Ouh, iya. Dia lupa untuk menyimpan nomornya. Bagaimana bisa lihat SuWe Hilda? Ia termenung. Jika dipikir-pikir, ada apa dengan SuWe gadis itu? apa mungkin berkaitan juga dengannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Timbul Rasa {On going!}
Roman pour AdolescentsPLAGIAT MINGGIR!!! 'Timbul Rasa based on Story' {Update 1 Bab 1 pekan} Kita memang hanya sekedar teman, namun pendekatan kita seperti layaknya kekasih. Sayangnya, kita tak berani untuk menunjukkan jika kita saling memiliki rasa yang sama. Hilda me...