|| 44. Kewajiban? ||

532 110 155
                                    

"Duduklah!" pinta Daniel. Brandon tidak duduk, dia sedikit bingung dengan tingkah Daniel saat ini. Mengapa dia disuruh duduk dibangku itu?

"Kenapa aku suruh duduk? Aku kan ingin membeli makanan buat Donia!" ujar Brandon dengan kebingungan.

"Tidak, aku aja yang beli! Dan kamu temenin Donia sambil duduk di sini! Dan ingat! Jangan melewati duduk ini!" jawab Daniel sambil memperingati ucapannya kepada Brandon.

"Oke, aku akan ingat dengan kata-katamu!" balas Brandon sambil melihat ke arah Daniel. Aurel dan Arvin masih tetap setia ditempat mereka berdiri.

"Ekhem," batuk Aurel kepada mereka bertiga. Donia, Brandon dan Daniel menoleh ke arah suaranya.

"Eh, iya lupa kalau masih ada kalian, hehehe!" ujar Donia terkekeh melihat Aurel. Aurel hanya menatap sinis ke arah Donia.

"Kalau gitu, kami berdua pamit pulang ya!" ujar Arvin sambil bilang kepada Donia. Donia hanya mengangguk kepala.

Arvin dan Aurel segera melangkah membuka pintu kamar rumah sakit, meninggalkan aroma parfum lembut yang mereka bawa. Sebelum benar-benar keluar, Aurel menoleh untuk terakhir kalinya, tersenyum hangat pada Donia yang terbaring di ranjang. "Cepat sembuh ya, Donia!" Dengan nada penuh semangat, suaranya seperti ingin menyuntikkan energi pada gadis yang masih terlihat lemah di sana.

Donia hanya tersenyum kecil, menyembunyikan kelelahan yang masih membekas di wajahnya. Ia terlalu lelah untuk membalas ucapan itu dengan kata-kata. Ia tahu niat baik Aurel dan Arvin tulus, tapi tubuhnya belum cukup kuat untuk merespons lebih dari sekadar anggukan kecil.

Setelah pintu tertutup, suasana menjadi lebih hening. Hanya terdengar suara alat medis yang terus berbunyi monoton di sudut ruangan. Daniel, yang sejak tadi duduk di kursi sebelah ranjang, menatap Donia dengan pandangan khawatir yang sulit ia sembunyikan.


“Aku mau pergi sebentar cari makanan buat kamu,” ujar Daniel akhirnya, mencoba memecah keheningan. Suaranya terdengar pelan, namun jelas mencerminkan perhatiannya.

Donia mengangguk lagi, kali ini sedikit lebih tegas. "Hati-hati, ya!" Nada pelan, hampir seperti bisikan.

Daniel berdiri, merapikan jaketnya sebelum melangkah keluar. Ia tahu, makanan di kantin rumah sakit mungkin tidak akan menarik selera Donia, tapi ia akan mencoba mencari sesuatu yang bisa membuatnya lebih baik. Itu adalah hal kecil yang bisa ia lakukan di tengah situasi seperti ini.

Lalu Daniel melihat Brandon sambil berkata. "Jaga Donia baik-baik ya!" Lalu Daniel menoleh ke arah Donia.

"Abang, perginya gak lama kok!" ujar Daniel sebelum benar-benar melangkah keluar dari kamar.

"Oke, Bang!" balas Donia dengan nada lembut.

Daniel menghilang di balik pintu, meninggalkan keheningan yang kembali menyelimuti kamar.

"Brandon, terima kasih ya," ucap Donia tiba-tiba, suaranya pelan namun cukup jelas.

Brandon, yang duduk di sudut ruangan dengan tangan terlipat, langsung menoleh ke arahnya. Matanya sedikit menyipit, tak menyangka Donia akan mengatakan hal semacam itu. "Terima kasih buat apa?" suaranya terdengar bingung.

Donia menoleh, menatap Brandon dengan mata yang sarat dengan rasa syukur. "Terima kasih karena kamu sudah menemukanku. Kalau bukan karena kamu, aku mungkin sudah mati kedinginan di sana." Suaranya bergetar ketika mengingat kejadian itu malam yang dingin, gelap, dan sunyi, di mana tubuhnya hampir kehilangan kesadaran sepenuhnya.

Brandon terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Sama-sama, tapi, itu sudah jadi kewajibanku untuk menemukanku."

Donia mengerutkan dahi. "Kewajiban? Maksudnya?" Dengan nada terheran.

Brandon tersentak, sadar bahwa ia terlalu banyak bicara. "Tidak." jawabnya cepat sambil mengalihkan pandangannya. Ia tidak ingin Donia tahu alasan sebenarnya, sesuatu yang selama ini ia simpan rapat-rapat.

Donia memandang Brandon dengan alis yang sedikit terangkat. Kata-kata Brandon mengusik pikirannya. Kewajiban? Kenapa dia menyebut itu sebagai kewajiban? Apakah ada sesuatu yang disembunyikan dariku?

"Maksudmu apa, Brandon?" tanya Donia lagi, kali ini suaranya lebih lembut, namun sarat dengan rasa ingin tahu.

"Tidak ada," jawab Brandon singkat, nadanya dingin sambil menghindari tatapan Donia.

Sikap itu membuat Donia jengkel. Ia mengerucutkan bibirnya, menatap Brandon dengan mata yang memancarkan kekesalan.

Brandon, yang kini merasa ada sesuatu yang aneh, menoleh kembali ke arah Donia. "Kenapa wajahmu cemberut begitu?" tanyanya penasaran.

"Kamu, sih!" ketus Donia dengan nada yang sedikit merajuk.

"Loh, kok aku?" Brandon mengangkat alis, menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuk.

"Ya kamu! Kan aku tanya, kenapa kamu bilang itu kewajibanmu untuk menemukanku?" ulang Donia, kali ini nadanya lebih tenang, tapi tatapannya menuntut jawaban.

Brandon menghela napas panjang, menyadari bahwa ia tidak bisa terus menghindar. Ia akhirnya memilih menjawab, meskipun dengan nada yang santai. "Kamu kan temanku. Otomatis, itu sudah jadi kewajibanku untuk mencarimu. Karena kamu itu temanku."

"Oh," gumam Donia pelan. Namun, dalam hati, ia merasa kecewa dengan jawaban itu. Teman? Hanya teman? Bagaimana bisa Brandon hanya menganggapnya teman? Bukankah selama ini Brandon menunjukkan perhatian yang lebih dari sekadar seorang teman?

"Loh, bukannya Brandon menyukaiku?" pikir Donia, hatinya diliputi kebingungan.

Namun, alih-alih merasa lega, ia justru merasakan rasa kecewa yang tak ia pahami. Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Tapi, kenapa aku kecewa? Apakah aku mulai menyukainya? Donia buru-buru menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran itu.

"Tidak-tidak, kau gak boleh menyukai dia, Donia!" batinnya sambil memegangi kepala dengan kedua tangan.

Brandon, yang memperhatikan tingkah aneh Donia, mengerutkan dahi. "Kau kenapa?" Bingung dengan aksi Donia yang tiba-tiba memegangi kepala seperti sedang berusaha menghalau sesuatu dari pikirannya.

Donia tersentak mendengar pertanyaan itu. Cepat-cepat ia menurunkan kedua tangannya dan memaksakan senyum.

"Tidak, aku gapapa kok!" jawabnya sambil membuang pandangannya ke arah lain.

Namun, suasana mendadak berubah canggung. Keduanya terdiam, tak ada yang berkata sepatah kata pun. Hanya suara jam dinding yang terdengar, menghitung detik demi detik yang terasa begitu lambat.

Donia mencuri pandang ke arah Brandon. Di sisi lain, Brandon pun sesekali melirik Donia, tapi keduanya tetap bungkam, seolah takut membahas apa yang sebenarnya sedang berkecamuk di hati masing-masing.


Seketika ponsel Brandon berbunyi dari dalam kantong celananya dan Brandon langsung mengambilnya. Lalu Brandon berdiri menjauh dari Donia sambil mengangkat teleponnya.

Saat ini, Donia langsung melihat aksi Brandon. Dia sempat mikir. "Kenapa harus menjauh dulu dari dirinya? Emangnya yang telepon Brandon siapa? Apakah ceweknya yang menelepon?"

"Tapi, kalau itu ceweknya kenapa Brandon bilang suka kepadaku?" batin Donia lagi.

Bersambungg....

Brandon [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang