Si Pengecut Itu, Aku

33 6 7
                                    

Si Pengecut Itu, Aku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Si Pengecut Itu, Aku

Dik, kutuliskan surat ini, tepat di hari ulang tahunmu, di bawah air terjun yang kita kunjungi dulu. Tak terasa waktu sudah berjalan begitu cepat. Jikalau aku tak membuatmu pergi kala itu, mungkin sekarang kamu sedang berdiri di sebuah pesta yang dikhususkan untukmu, mengundang banyak teman, membuat banyak kenangan, dinner bersama sang pujaan hati, dan merayakan sweet seventeen seperti para remaja pada umumnya. Dan kamu akan berkata 'a party to remember once in a life time'.

Sayangnya kakakmu lah yang membuatmu pergi, menghilangkan kebahagiaan yang seharusnya hadir dalam hidupmu. Kakak macam apa aku ini, Dik? Rasanya sangat malu dan tak pantas untuk dipanggil sebagai seorang kakak karena seorang kakak seharusnya dapat melindungi adiknya sendiri, bukan pengecut seperti ini.

Asalkan kamu tahu, Dik, setelah peristiwa itu terjadi, keluarga kita menjadi berantakan dan cerai berai. Mama yang selalu menangisimu tiap malam di kamar dengan harapan kau masih hidup dan akan kembali pulang. Kemudian Papa yang berusaha menenangkan Mama, namun berakhir mendapat bentakan.

"Kamu nggak akan pernah ngerti, Mas!" tegas Mama.

Berita tentang jasad anak kecil yang di temukan di ujung sungai pun menggegerkan warga setempat dan membuat Mama semakin menjadi-jadi. Rumah dipenuhi dengan jeritan-jeritan Mama, penuh dengan suara gaduh dari barang yang dibanting oleh Mama. Papa yang sudah lelah pun akhirnya emosi dan memilih 'tuk pergi dari rumah, menenangkan diri beserta pikiran. Dan itu semua adalah salahku, Dik....

Aku tak segan untuk menangis di depan banyak orang ketika aku kecewa pada diriku sendiri. Masa bodoh dengan patriarki masyarakat yang melarang laki-laki untuk menangis. Kala itu aku sudah cukup besar untuk mengerti semua hal yang dibicarakan, dan mengerti perkataan yang Mama lontarkan.

"Semuanya salah dia!" tangannya dengan tegas menunjuk kearahku. "Kalau saja anak sialan itu tak mengajak Alvan pergi ke pinggiran sungai, mungkin sekarang Alvan masih hidup, Mas!"

Mama yang awalnya sangat baik padaku, yang menganggapku sebagai anaknya sendiri, seketika itu luruh menjadi murka dan seperti tidak ingin melihat wajahku lagi.

Aku mengakui itu semua memang salahku. Aku yang berhak disalahkan. Dik, dengan surat ini aku hanya ingin meminta maaf padamu. Walau hanya dengan selembar kertas, walau surat ini 'tak akan pernah kau baca.

Maafkan aku, kakakmu yang pengecut, kakak yang membiarkan adiknya begitu saja....

Arsenio
-Mei kehilanganmu

Aku menggulung kecil selembaran kertas ini setelah selesai memberi tanda tangan di baris paling bawah sebelah kanan.

Air terjun ini, tampak masih sama. Terjun dengan bebas, lalu menumpahkan air dengan deras tanpa mempedulikan siapa yang berada di bawah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 27, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Manusia BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang