Chapter 0 : Prolog

17 5 1
                                    

Meja itu dipenuhi dengan berbagai macam barang yang disusun rapi. Beberapa kotak tampak terisi dengan alat tulis dan juga buku. Seorang pria berdiri di dekat meja itu. Ia menghela napas, menatap pemandangan itu dengan ekspresi wajah sulit diartikan. Tatapannya kemudian teralih pada orang yang memiliki semua barang-barang itu.

"Kau yakin akan mengundurkan diri, Vanessa?" tanya pria itu dengan ekspresi wajah kusut. Tampak sekali raut keberatan di wajahnya.

Vanessa menghentikan kegiatannya sejenak. Ditinggalkannya mejanya dan berjalan menuju si pria yang notabenenya adalah bosnya sendiri. Vanessa menepuk pelan bahu pria itu, kemudian tersenyum tipis.

"Aku sudah menjelaskan alasanku jauh sebelum hari ini. Dan ya, aku tidak akan berubah pikiran." Senyum masih menghiasi bibir perempuan itu. Vanessa kembali ke mejanya dan merapikan buku-buku yang belum sempat dimasukkannya ke dalam kotak.

"Kau tidak perlu sesedih itu, Justin."

Pria yang dipanggil dengan nama "Justin" itu mendengkus samar. Tatapannya berpindah pada dinding kaca ruangan, memperhatikan gerung-gedung pencakar langit di luar sana. Lagi-lagi Justin menghela napas pelan. Ini tidak semudah yang dikatakan oleh calon mantan asistennya itu.

"Mengapa kau harus berhenti bekerja setelah menikah?" Nada suara Justin terdengar merajuk. Persis seperti bocah lelaki kecil yang hendak menangis karena mainannya direnggut paksa.

Vanessa tersenyum geli. Melihat Justin yang merajuk seperti ini merupakan sesuatu yang langka. Bos sekaligus sahabat baiknya itu lebih sering memasang ekspresi wajah kaku dan jarang menunjukkan emosinya yang sebenarnya.

"Andaikan saja calon suamiku bukan seorang diplomat yang bertugas di Portugal, tentu saja aku akan tetap bekerja untukmu. Setelah menikah nanti aku akan tinggal dengannya." Vanessa menjawab dengan santai. Ia bahkan tidak menatap Justin. Fokusnya masih tertuju penuh pada barang-barangnya di atas meja.

"Sial. Aku melupakan hal itu." Justin memejamkan matanya sejenak dan mengumpati dirinya sendiri. Beberapa menit yang lalu ia sudah menjadi orang bodoh dengan sikap merajuknya.

"Kau sedih karena aku akan meninggalkanmu?" tanya Vanessa tiba-tiba. Raut wajahnya berubah serius dan perempuan itu melipat tangannya di depan dada.

"Of course. I'm about to lose one of the people I trusted, how could I not be sad?" balas Justin sejujurnya. Ia sulit mengungkapkan perasaannya secara langsung, sekalipun itu dengan Vanessa.

"There's no need to be so sad. You will find someone else to trust."

"Who?" ujar Justin dengan nada skeptis.

Sikap Justin yang terlanjur pesimis membuat Vanessa menghela napas pelan. Vanessa tahu seperti apa Justin. Sahabatnya itu termasuk sulit untuk menerima orang-orang baru di sekitarnya, membuatnya tidak mudah mempercayai siapapun. Justin seperti membentengi dirinya dengan tembok tak kasat mata yang membuatnya sulit dijangkau oleh banyak orang.

Vanessa mendadak tersenyum ketika sesuatu terlintas di pikirannya. Perempuan itu membuka tasnya dan mengeluarkan sehelai foto, lantas menyodorkannya pada Justin.

"Ini," ucapnya dengan nada penuh maksud.

Bola mata Justin memicing mendapati tingkah aneh Vanessa. Entah apa yang membuat sahabatnya itu mengangsurkan sehelai foto yang posisinya terbalik. Bagian kertas foto yang seharusnya mencitrakan sesuatu malah menghadap ke bawah.

"Apa ini?" Justin bertanya namun tak urung juga mengambil foto itu dan membaliknya. Spontan kening Justin berkerut saat menatap potret seorang perempuan yang sangat asing baginya.

"Her name is Angelique Ferdinand. That girl will be your new assistant," ujar Vanessa lantas tersenyum semringah. Perempuan itu bertepuk tangan pelan seolah-olah sedang merayakan sesuatu.

Tercenung. Justin terdiam untuk beberapa detik. "Apa maksudmu?" Justin sadar jika itu adalah pertanyaan yang bodoh, namun ia tidak bisa menahan diri untuk mengatakan itu.

"Aku tidak akan meninggalkanmu tanpa persiapan, Justin. Aku sadar jika aku tidak mungkin bisa membuatmu berubah menjadi manusia friendly yang mudah mempercayai orang lain, oleh karena itu aku memilih untuk mempersiapkan pengganti yang sebisa mungkin akan kau percayai seperti kau memercayaiku." Senyum tak kunjung pudar dari wajah Vanessa. Sebagai seorang sahabat, Vanessa ingin membantu Justin semaksimal mungkin.

"Aku bisa menjamin jika Angelique tidak akan mengecewakanmu. Gadis itu lulusan kampus ternama dengan nilai yang baik. Ia juga disiplin dan tegas." Vanessa kembali menepuk bahu Justin, berupaya meyakinkan sang sahabat.

Tatapan Justin tertuju pada potret gadis bernama "Angelique" itu. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah mempercayai Vanessa. Perempuan itu sampai repot-repot mencarikan asisten baru untuknya, tentu Justin tidak bisa menolaknya begitu saja.

"Kau yakin jika gadis ini mau bekerja bersamaku?" Justin berujar sangsi.

Tanpa sadar Vanessa menghela napas lega. Awalnya Vanessa mengira jika Justin akan menolak mentah-mentah, namun pertanyaan pria itu barusan menyiratkan jika saran Vanessa diterima.

"Tentu saja ia mau. Bekerja denganmu tentu saja akan menjadi peluang yang besar baginya."

"Kau bisa menjamin jika ia bisa melakukan tugasnya dengan baik?" Perkataan Justin bernada tendensius. Ia melihat lagi foto gadis bernama "Angelique" itu kemudian meletakkannya ke atas meja. Bukannya kejam, Justin hanya mencoba realistis.

"Ya. Angelique tidak akan mengecewakanmu. Ngomong-ngomong, gadis itu bukan pengangguran. Saat ini ia bekerja di divisi personalia sebuah perusahaan menengah di Boston. Ia setuju untuk keluar dari pekerjaannya dan langsung bekerja sebagai asistenmu setelah aku resmi resign."

"Bagus sekali, Vanessa. Kau mencuri pegawai perusahaan lain dan membuatnya bekerja sebagai asistenku." Justin tidak tahan untuk tidak memutar bola matanya. Terkadang ia tidak paham dengan tindakan Vanessa yang di luar perkiraan.

"Jangan protes! Itu untuk kebaikanmu."

Hope and FALL (Sneak Peek)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang