Tak lama Reza pergi, Bulan juga merapikan semua barang-barangnya. Dia hanya membawa baju-bajunya dan juga beberapa mainan Bumi yang tidak dibawa oleh Reza. Seperti katanya, dia akan meninggalkan rumah ini. Karena dia merasa tidak pantas untuk mendapatkan rumah dari hasil jerih payah Reza.
Tujuan pertama Bulan adalah rumah orangtuanya, berita perceraiannya pasti sudah didengar oleh keluarga besarnya. Bahkan sebelum keputusan cerai ini diambil, kedua orangtuanya sempat berusaha untuk membujuk Bulan agar mau mengubah keputusannya. Tapi hal tersebut tidak digubris Bulan ataupun Reza.
Tepat jam sembilan malam Bulan menginjakkan kakinya di depan rumahnya. Dia terdiam sejenak. Apakah orangtuanya akan menerimanya kembali?
"Assalamualaikum ..." Bulan mengetuk pintu rumahnya. "Bu ... ibu ..." panggilnya.
Tak lama seseorang membuka pintu rumahnya. Ada lelaki yang sudah berusia hampir 60-an menyambutnya dengan wajah suram. Budi, ayahnya yang selalu menyambutnya dengan hangat, kini membeku menatapnya.
"Mau apa kesini?"
"Aku ... aku pulang. Aku mau tinggal di sini." jawab Bulan terbata.
"Masih berani kamu kesini?"
Bulan tercekat. Semarah itukah orangtuanya.
"Memalukan. Ayah sama Ibu nggak pernah ngajarin kamu jadi perempuan murahan." Budi menarik nafas dalam-dalam. "Ibu mana yang rela memilih selingkuhannya daripada suami yang setia dan anaknya."
Tas yang sedari tadi dipegang Bulan kini terlepas. Darimana ayahnya tahu tentang ini? Apa Reza menceritakan semuanya? hatinya meringis lagi. Kesalahannya memang fatal, tapi sampai kapan semua orang akan menghakiminya seperti ini.
"Pergi kamu dari sini. Ayah nggak pernah punya anak kaya kamu." Budi buru-buru menutup pintu rumah. Untung saja, Ningsih dengan tergesa lari dari dalam kamar, saat mendengar teriakan suaminya yang menggelegar.
"Bulan ... Itu kamu, Nak?" panggil Ningsih.
Bulan menoleh, menatap ibunya berkaca-kaca.
"Apa benar yang orang-orang katakan tentang kamu?" Ningsih memaksa keluar meski tangan Budi mencekalnya. "Ibu nggak percaya sama omongan orang."
Dengan berat hati, Bulan membenarkan fakta yang dipertanyakan oleh ibunya. Dia tidak bisa mengelak. Dia memang selingkuh.
Ningsih langsung memeluk Bulan. "Kenapa, Nak? Kenapa kamu melakukannya?"
Bulan terisak. tapi dia tidak mampu berbicara untuk menjelaskannya. Baginya, kenangan bersama Bintang sudah harus dilenyapkan dalam memori dan juga hatinya.
"Bu ... Dia bukan anak kita lagi. Biarkan dia pergi." Dengan kasar, Budi menarik lengan Ningsih dan membanting pintu rumah dengan kencang.
Bulan terpaku menatap semua pemandangan itu. Orangtuanya pun tidak mau menerima dirinya yang begitu hina. Inilah hukuman untuknnya yang harus dia terima.
***
Kemana dia akan pergi? Bahkan kini orangtuanya sudah tidak mau menerimanya kembali. Kesalahannya memang tidak bisa dimaafkan oleh siapapun. Bahkan Bulan pun hingga kini belum bisa memaafkan dirinya sendiri.
Tanpa tujuan Bulan terus berjalan. Sampai dia lelah dan berhenti di sebuah halte. Malam yang semakin larut membuat suasana jalanan semakin sepi tapi dia masih enggan untuk bergerak lagi.
Sebuah pikiran bodoh terlintas dalam otaknya. Bagaimana jika dia bunuh diri? tapi bagaimana dengan Bumi jika dia mati? dia tidak akan mempunyai kesempatan untuk meminta maaf pada anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Over The Rain
RomanceWARNING : KONTEN CERITA INI SUDAH DIHAPUS UNTUK PROSES PENERBITAN. "Kesalahan terbesarku adalah memercayakan hatiku padamu." Sekuel dari Langit Malam