Menjual Puisi

33 5 0
                                    

Ketika sore menjelang aku menghabiskan waktuku duduk di bawah sebuah pohon rindang. Pohon itu adalah pohon satu-satunya di padang rumput kecil tak jauh dari rumahku. Orang-orang berkata rumput di padang itu sengaja di tanam kakek nenek kami dulunya untuk makanan ternak di kampung kami. Aku senang sekali memperhatikan kambing, kerbau atau sapi yang merumput berkelompok.

Sebenarnya bukan aku saja yang suka duduk di padang rumput itu. Ada seorang laki-laki yang juga sering duduk memperhatikan ternak-ternak itu sambil melakukan sesuatu. Sepertinya ia melukis sesuatu di kanvas yang tiap sore ditentengnya ke padang rumput itu. Menjelang senja ia akan menghalau dua ekor kerbau yang mungkin miliknya beranjak dari padang rumput itu. Ia selalu menaiki salah satu kerbau dan duduk santai di punggung kerbau sementara kerbaunya melangkah pelan-pelan. Ia akan melambaikan tangan ke arahku ketika melewati tempat aku duduk. Lambaian tangan itu menjadi pertanda bahwa aku juga harus segera meninggalkan padang rumput itu kembali ke rumahku.

Suatu sore ia tidak duduk di tempat ia biasa duduk. Ia duduk di bawah pohon rindang tempat kesukaanku. Dia menungguku karena ia penasaran mengapa aku duduk dibawah pohon ini setiap sore.

"Aku menulis puisi," jawabku.

"Aku akan menjual puisi-puisiku," sambungku kemudian.

"Memangnya puisi bisa dijual?"

"Entahlah," jawabku tak pasti.

"Aku ingin melanjutkan sekolahku, Ibu dan Bapak tidak punya uang dan tidak punya apapun untuk dijual, aku hanya punya puisi."

Kemudian aku bertanya padanya apa yang ia lakukan setiap sore di padang rumput ini.

"Aku melukis semua yang bisa kulukis,"jawabnya.

"Aku juga akan menjual lukisan-lukisanku." Dia mencontek jawabanku.

"Kamu ingin melanjutkan sekolah juga? Ibu dan Bapakmu tidak punya uang juga?"

Dia mengangguk kemudian menggeleng.

"Aku sudah tidak punya Ibu dan Bapak," katanya menelangsa.

Laki-laki itu menatapku. Aku membalas tatapannya. Di matanya aku melihat harapan dan cita-cita, seperti yang kulihat di mataku saat berdiri di depan cermin tua di kamarku. Kami berdua sama. Hanya punya harapan.

Sore ini aku kembali duduk di bawah pohon rindang itu. Aku tidak lagi menulis puisi. Aku duduk menegakkan lutut, meletakkan kedua tangan di lututku dan kemudian membenamkan kepalaku di atas tangan. Posisi yang paling enak untuk menyembunyikan tangisku. Aku mengangkat kepala ketika merasa seseorang mencolek pundakku.

"Kenapa kamu menangis?"  Ternyata dia laki-laki yang akan menjual lukisan.

"Tidak ada yang mau membeli puisiku," jawabku.

"Jangan putus asa, kamu cari pembeli lain saja," ujarnya.

"Kata mereka, tubuhku lebih indah dari puisiku, mereka akan membeli tubuhku jika aku menjualnya."

Laki-laki itu diam. Tangannya yang dikepalkan kuat-kuat memperlihatkan kalau ia marah, tapi ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

"Apakah lukisanmu sudah terjual?" tanyaku kemudian.

Laki-laki itu menggeleng. Wajahnya berubah pucat.

"Mereka juga menawar tubuhku." Ia bergumam menjawab pertanyaanku.

"Apakah tubuh laki-laki juga bisa dijual?" tanyaku lagi dengan keheranan.

"Tentu saja, tidak hanya perempuan, banyak laki-laki yang menyukai tubuhku."

"Kau mau?" selidikku.

Laki-laki itu kembali menggeleng. Dia menatapku. Aku tahu apa yang ada di pikirannya.

"Aku juga tidak mau!" Aku membalas tanpa ditanya. "Berarti  kita tidak bisa melanjutkan sekolah." Aku menyambung dengan nada putus asa.

Laki-laki itu mengangguk. Setelah itu aku dan dia duduk dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Setelah senja menjelang, kami sama-sama bangkit, pulang ke rumah masing-masing dengan pikiran kosong. Kami tak lagi punya harapan.

*****



Sekumpulan CerminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang