Aluka pov
"Jaket yang bagus banci"
Perhatianku langsung teralihkan pada sosok pemuda yang berbicara lantang sambil menepuk bahu Khavi yang sedang mengeluarkan motornya dari barisan motor lainnya. Khavi nampak diam dan hanya menutup kepalanya dengan tudung jaket berwarna biru malam miliknya.
Apakah dia di bully? Pikirku
Aku membalikkan badan untuk lebih leluasa melihat sosok yang tadi berteriak tidak jelas. Ia terlihat dibeberapa kerumunan orang, dan sangat akrab. Mungkin satu kelompok.
Tatapan mereka juga tertuju pada Khavi. Sudah sangat jelas ini pembullyan.
"Ayo naik kak" suara Khavi membuatku menoleh.
Aku menatap sebal kearahnya juga kasian. Sebal karna dia menutupi hal hal seperti ini sedangkan aku selalu menceritakan hal hal yang menjadi bebanku, kasian karna ia terlihat memikul bebannya sendiri.
Dia menatapku karna belum bergerak sama sekali. Alisnya terangkat seolah itu adalah pertanyaan "kenapa belum naik?" Aku menghela napas dan mengumpatinya dalam hati, namun tanpa pikir panjang aku langsung naik dengan bertumpu di bahunya dulu karna ukuran motor ini cukup tinggi bagiku.
Setelah motor berjalan, aku sengaja menatap tajam komplotan tadi sambil mengacungkan jari tengahku kearah mereka. Tidak ada satupun yang bisa menyakiti adikku kecuali diriku sendiri.
●○○○
Sudah sampai, aku turun dari motor dan duduk di kursi teras sambil melepas sepatuku, sedangkan Khavi seperti kebiasaannya. Memarkirkan motor yang dia sebut jagoan lalu akan menghabiskan 2 sampai 3 menit hanya sekedar mengusap dan membersihkan motornya dari debu debu yang ada di kap hitam mengkilapnya.
Sambil menatap sekeliling, ku lihat ibuku sedang membantu pekerjanya mengangkat abu dari kulit padi yang dibakar. Ini adalah teknik membuat batu merah dan itu adalah pekerjaan ibu dan almarhum ayahku. Ini adalah usaha mereka selama bertahun tahun menghidupi diriku juga tiga adikku.
Tiga? Yah aku memiliki tiga pangeran.
Aku punya saudara kembar bernama Lucar, namun dia tinggal dirumah lamaku karna dia cukup malas untuk mengurus surat pindahnya dan tidak suka hal hal yang hanya membuat diri menjadi susah, anaknya sangat keras dan sangat pemberontak. Namun dia sangat pengertian dan selalu menjadi pahlawan untuk kami sejauh ini
Lalu yang kedua adalah, Khavian.
Prestasi adalah nomor satu baginya, dia dikenal cukup pendiam namun bagiku dia hanyalah pelawak handal jika di rumah. Sangat hangat dan penyayang.
Dan yang terakhir ada, Khasa.
Paling bungsu dan paling menyebalkan bagiku. Yah anak seusia sepertinya memang adalah tahap berkembang."Bang, mabar ff yok" suara Khasa membuatku tersadar dari lamungan. Disana si kecil dengan celana merah hatinya tanpa kaos baju menatang Khavi dengan lagaknya yang sangat songong. Itu lucu bagiku.
Khavi mengedikkan bahunya, sambil membuka sepatu miliknya sedikit mengintip kelayar handphone milik Khasa untuk melihat game yang tadi ditawarkan untuknya. "Bantu aku naik ke master" lanjut Khasa.
"Bantu ibu dulu sana" tolak Khavi, tangan besarnya mengacak rambut Khasa yang terlihat kecewa, ia kemudian menatapku sambil tangannya menujuk kearah ponselnya. Aku tau maksudnya dan jawabanku persis seperti Khavi.
"Bantu ibu dulu ya, habis itu kita main" kataku lalu di bantah dengan teriakan khavi
"Belajar deh. Main mulu kerjanya, yah kapan jadi prajurit asli kalau kerjanya cuman perang online"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite Our Dream
Fanfictionketika semesta mungkin menganggap aku mampu dengan tantangannya, kurasa ia salah dalam menilaiku. aku hanyalah manusia, tertawa dalam tangisan, berdiri dengan rapuhnya, satu tapi separuh. Ini adalah kisah tiga remaja yang melawan pukulan hidup masin...