Bulan ketiga bekerja bersama, kami saling mengenal dengan baik. Laras banyak bercerita tentang dirinya padaku. Akupun terbuka untuk bercerita banyak hal padanya, dan kami selalu pulang bersama setiap sore usai jam kerja.
"Mampir ke warung nasi dulu, ya, Kak, Mama titip lauk pauk."
"Oke boleh, Ras. Yang sering masak di rumah siapa? Atau memang sering beli makan di luar?"
"Mama biasanya, tapi sudah dua hari ini lagi enggak enak badan. Jadi belum bisa masak", Laras menjawab singkat karena sambil mengingat lagi pesanan Mamanya yang lupa ia catat di fitur catatan telepon genggamnya.
Tiba di warung nasi yang saban hari selalu dilewati Laras dan aku sepulang bekerja, kami disambut dengan fenomena merah jambu. Di warung nasi yang kami datangi ini, terlihat potret manis sepasang muda-mudi yang sedang saling memerah rona wajahnya, kasmaran. Mereka sedang menikmati makan sore dengan menu andalan warung nasi ini ditemani es teh manis yang mungkin menambah manis suasana, membuat mereka tenggelam dalam dunia berdua. Keduanya asik berbincang, sambil tersenyum simpul berkali-kali. Mungkin pemuda itu sedang memuji lesung pipi pasangannya, karena tak sengaja kulihat perempuan itu tersenyum dan tersipu malu, hingga terlihat jelas lesung pipinya.
Aku rasa, Laras pun memperhatikan fenomena itu, meski ia sambil memilih menu favorit ibunya di etalase warung nasi. Ternyata benar, Laras memperhatikan. Hingga saat jalan menuju pulang, ia memulai percakapan.
"Kak, lihat pasangan yang tadi di warung nasi, kan?"
"Lihat, lah, Ras, kan memang hanya mereka tadi yang lagi makan disana"
"Manis banget, ya, jadi ingat dulu masa SMA, pengalaman romansaku enggak pernah manis", Laras tergelak tawa renyah, membuat suasanan ceria, dan mengundang tawaku kemudian.
Laras belum pernah bercerita tentang pengalaman romansa apapun padaku. Selama ini kami hanya bercerita tentang kehidupan, dan tidak dengan sisi romansanya. Karena Laras menyinggung sisi romansa itu, aku juga teringat pengalaman romansa masa laluku yang cukup manis, tapi tidak dengan akhirnya. Yang membuat aku memutuskan untuk tidak lagi menjalin kisah romansa yang cenderung sementara. Maksudku, sepertinya yang baik untukku adalah menunggu waktu tepat untuk menikah saja. Bukan untuk menjalin kisah romansa sebelumnya.
"Kak, pernah punya cerita tentang cowok, gak, dulu di SMA?"
"Aku gak banyak kenal cowok, Ras, di sekolah", ucapku memilih tidak mengatakan yang sebenarnya.
"Serius, Kak?"
"Ya, kamu mungkin lihat juga sampai sekarang aku jarang bergaul dengan cowok, kan?", memang pilihanku untuk mengurangi interaksi dengan laki-laki sejak belajar lebih dalam tentang agama.
"Yah, berbanding terbalik berarti kita. Aku malah suka duluan sama cowok, Kak. Gak wajar banget, ya?" Laras lagi-lagi tertawa. Menertawakan dirinya lima tahun kebelakang, yang lebih dahulu menyukai seorang laki-laki di sekolahnya. "Aku sering dinasehati teman-temanku, guru-guru, katanya, enggak baik perempuan suka duluan ke cowok. Kebalik itu. Gak wajar. Hatiku sudah kenyang pokoknya, Kak, dengan nasihat-nasihat begitu. Lagipula dengan aku suka duluan ke cowok, yang mereka bilang gak wajar itu, gak membuat aku jadi kebalik, kok. Gak membuatku jadi cowok juga. Aku masih perempuan, kok, seutuhnya".
Rupanya laras masih mengingat jelas kenangan tak manisnyaitu di masa sekolah. Mungkin hal ini akan selalu menjadi topik yang dipilih menjadibumbu obrolan kami selanjutnya. Laras sangat bersemangat menceritakan romansanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laras & Saka
Storie d'amoreBagi Laras, Saka adalah dunianya. Bahkan mungkin walaupun Saka tidak pernah merasa dan mengerti bagaimana ia di hidup Laras, Saka tetap segalanya bagi Laras. Hingga ternyata Saka memilih orang lain yang ia cintai untuk membuat dunia mereka sendiri...