14 - Bitter Memories

1K 186 133
                                    

Selamat datang di part 14 yang memiliki 4k+ words. Bacalah ketika senggang ❤️
This part contains thoughts of killing, depression, character death, violance/gore. Please be wise.

Jangan di skip, karena part ini sedikit berisi spoiler mengenai asal usul tanda di mata kiri Ara 👀

***

Kedua pelupuk Ara perlahan tersingkap ketika mendengar suara pintu terbuka. Samar-samar, suara seorang pria disusul suara wanita menyambangi rungunya, membuat Ara berinisiatif untuk bangun dan duduk. Pandangannya tertuju pada dinding putih yang terhias gambar abstrak oleh krayon berwarna hijau dan cokelat di hadapannya, seketika alisnya mengernyit. Gadis Jung serta-merta menoleh ke sana kemari, raut bingung tergambar jelas di wajahnya begitu melihat keadaan sekitar.

"Vance?" panggil Ara. Dia menyingkap selimut, lalu turun dari tempat tidur. "Tuan Wallenstein? Lily?" panggilnya kembali, kini dia mendekati pintu yang tertutup rapat.

Ini bukan kamar yang selalu Ara tempati semenjak dirinya dibeli oleh Anthony J. Wallenstein di black market, jelas hal tersebut membuatnya bingung bukan main sebab secara ajaib; dirinya sudah berada di tempat yang asing. Seingatnya, dia baru saja terbangun dari tidur panjang lantaran sudah menginjakkan kaki di dunia yang seharusnya tidak dia masuki, bertemu dengan orang aneh yang mengaku sebagai raja peri, kemudian tertidur dalam gendongan Vance selama perjalanan pulang. Ara juga ingat bagian di mana Vance mengatakan bahwa sang tuan sangat mengkhawatirkannya hingga membuat Ara tersenyum seperti orang sinting. Lantas, mengapa dia tiba-tiba berada di sini?

Langkah Ara terhenti, gerakannya yang hendak membuka pintu seketika urung tatkala melihat tangan kanannya yang tampak kecil. Tunggu!

Ara memeriksa kedua tangannya, beralih meraba wajah, tubuh, terakhir rambutnya yang pendek. Jelas hal tersebut berdampak pada jantungnya yang berdegup tak biasa, apalagi ketika dia berlari menuju lemari yang mempunyai cermin, Ara langsung jatuh terduduk. Bagaimana bisa dirinya berubah menjadi sekecil ini? Jika diingat kembali, tadi suaranya pun terdengar nyaring bak seorang bocah lima tahun.

"Ara, coba tebak siapa yang pulang."

Yang dipanggil serta-merta menoleh ke arah pintu yang sudah terbuka, menampakkan sosok wanita berambut panjang kecokelatan dengan senyuman di bibirnya. Kedua mata Ara membola, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Cukup lama Ara tidak merespons panggilan wanita tersebut, gadis itu hanya menatapnya dalam diam, lidahnya terasa begitu kelu. Hingga beberapa saat kemudian, mata beriris dark brown itu berkaca-kaca, Ara lekas berdiri dan menghamburkan diri untuk memeluk kaki wanita yang nyaris terjengkang sebab dipeluk secara tiba-tiba.

"Ibu!"

"Ara, ada apa? Mengapa kau menangis?" Sosok yang dipanggil ibu oleh Ara merendahkan tubuh dan menatap gadis yang masih mengeluarkan air mata. Jari-jari itu menghapus air di pipi gembil si gadis, kemudian memberikan pelukan hangat pada gadis kecilnya.

"Ibu, Ara bermimpi buruk. Sangat buruk," ujar Ara masih tersedu-sedu, intonasinya ciri khas bocah sekali. Dia memeluk erat leher sang ibu dengan ingus yang meluber.

Benarkah apa yang dialaminya selama ini hanya mimpi buruk? Bagaimana dengan Anthony J. Wallenstein? Vance dan Lily? Noah Lee? Paman Yuunki? Apa mereka sosok yang dia ciptakan di alam mimpi?

"Ada apa ini?" Suara berat khas pria dewasa seketika menghentikan sedu sedan Ara. Gadis kecil itu mendongak dan menemukan seseorang berpakaian kantoran di hadapannya, memasang wajah khawatir. Pada detik berikutnya, Ara kembali menangis, kini lebih keras sehingga membuat sang ibu yang memeluknya kebingungan, begitu pun dengan pria yang tengah berjongkok menyamai tinggi badannya.

The Last Guardian Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang