Perjuangan tak berujung: diriku di dalam diriku
Seksualitas merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan terkhusus di negara kita ini, Indonesia. Namun, tidak dipungkiri bahwa seksualitas adalah suatu hal esensial, karena seksualitas tidak hanya sekadar aktivitas seksual bermakna negatif seperti kebanyakan stigma orang-orang. Seksualitas sendiri adalah aspek kehidupan berkaitan dengan seks yang memengaruhi individu dalam masyarakat. Seksualitas ada 2 macam, yaitu heteroseksualitas dan homoseksualitas. Dalam realitanya heteroseksual lebih disukai oleh masyarakat daripada homoseksual yang mereka anggap "tidak normal". Akan tetapi, diantara milyaran manusia tidak mungkin menyamakan mereka semua, jika heteroseksual ada maka homoseksual pun sudah pasti ada.
Berbicara mengenai manusia, manusia pasti memiliki impian atau pencapaian sehingga tidak dapat dipisahkan dari yang namanya perjuangan. Setiap manusia pun memiliki perjuangannya masing-masing, perjuanganku tidak akan sama dengan perjuangan kalian, karena begitulah manusia diciptakan memiliki keunikannya sendiri. Perjuangan tentu bukanlah hal mudah semudah membalikan telapak tangan, memerlukan usaha untuk itu. Salah satu perjuanganku yang akan aku angkat sebagai pembahasan essay pada kesempatan kali ini ialah aku dan seksualitasku.
Aku terlahir di keluarga yang seperti kebanyakan keluarga Indonesia lainnya, sangat tabu jika membicarakan hal berbau seks yang sebenarnya merupakan hal penting untuk pengetahuan anak usia dini. Keluargaku menganggap bahwa hal-hal berbau seks adalah urusan orang dewasa atau mungkin saja sebenarnya mereka sendiri paham betapa pentingnya pendidikan seks. Namun, pengetahuan mereka terkait hal tersebut pun masih sangat minim yang hanya sebatas pengenalan gender. Jika sudah seperti ini tentunya para orang tua harus lebih membuka diri terkait masalah ini karena bagaimana pun anak perlu dibekali pengetahuan seks agar tidak terjerumus ke arah seks tidak sehat dan lainnya. Pada kasusku kali ini pendidikan seks merupakan kunci awal untuk mengetahui diriku sebenarnya yang tidak aku dapatkan ketika usia dini.
Aku teringat ketika usiaku menginjak 8 tahun, merasa ada kejanggalan dalam diri yang membuat aku berpikir bahwa aku berbeda dari teman laki-laki sebaya ku. Kala itu anak umur 8 tahun tahu apa? Ketika itu semua yang kurasakan sangatlah membingungkan, aku yang tidak paham dengan diriku sendiri mebuat semuanya benar-benar sulit. Bertanya kepada orang tua pun bingung untuk memulainya dan bagaimana membicarakan nya. Sedari kecil pun, aku sudah terlihat berbeda dari kebanyakan anak laki-laki, jika anak laki-laki umumnya memilih untuk berteman dengan sesama teman laki-laki dan bermain sepak bola atau permainan menantang lainnya, sedangkan aku lebih memilih untuk berteman dengan teman perempuan dan memainkan sesuatu yang lebih kalem, karena hal itu pula anak laki-laki sering mencemoohku. Kata-kata kasar pun tidak pernah absen dari kupingku.
Satu-satunya cara untuk mengetahui diriku ya dengan mencari tahu sendiri dan memohon waktu membantuku menjawab semuanya. Terkadang menyerahkan beberapa hal kepada waktu ialah sesuatu yang harus. Berjalannya waktu perlahan-lahan aku menemukan arti dari kejanggalan tersebut, "homoseksual" adalah jawaban yang selama ini kucari. Bagaimana aku mengetahuinya? Waktu menuntunku untuk tahu dan diriku pun memaksa mencari nya. Apakah diriku senang setelah mengetahui itu semua? Satu sisi dalam perasaanku senang karna misteri dalam hidupku terpecahkan, sedangkan sisi lain melawan. Pikiranku runyam karenanya, emosi tak terbendung berisikan kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan semuanya Bersatu membentuk benang kusut. Semenjak itu, aku selalu teringat akan surah dalam Al-qur'an yang berisikan penyimpangan tersebut. Rasa takut sudah melekat kuat dalam diri, semuanya ku pendam dalam-dalam, membiarkan diriku saja yang tahu.
Bertahun-tahun aku pendam kebenaran dalam diriku tak pernah membiarkan dunia mengetahuinya. apakah kalian tahu bagaimana rasanya? Bagai ribuan diriku di dalam diriku berteriak bersamaan bahwa dirinya tersiksa di dalam sana. Keterpaksaan adalah faktor utama, aku tidak akan membiarkan orang-orang mencemoohku, sudah pasti akan ku dapatkan jika aku tak mengunci rapat diriku yang lain di sana.
Jalan keluar tak kunjung menghampiri, tekanan dari semua sisi tak henti-hentinya menyiksa, orang tua yang harus dijaga perasaannya, kehidupan sekolah yang kutakutkan akan berujung pada porak-poranda, hal tersebut membuat dua sisi diriku berlawanan. Namun, keputusan harus kuambil bukan? Aku memutuskan menyerahkan ini kepada waktu kembali sembari terus mencoba untuk menerima diriku apa adanya, ku namakan perjuangan tak berujung.
KAMU SEDANG MEMBACA
essay gagal
Acakessay pertama ku yang ku kirimkan untuk perlombaan essay nasional dengan tema perjuangan.