9)-menjauh

13 4 0
                                    

Perasaan seseorang itu tidak ada yang tahu, tidak tahu untuk siapa hati itu berlabuh, tidak tahu siapa seseorang yang dapat memikat hatinya.

Kita hanya orang lain yang hanya bisa melihat orang itu bahagia dengan pilihannya, mendukung semua yang ia inginkan.

Setelah kejadian tadi di kantin yang membuatnya pilih tempat lain sehingga pisah dari Aksa dan teman-temannya. Ia merasa tak menyangka Aksa akan lebih berpihak pada Dilla dari pada padanya.

Kini Mora duduk di halte sekolah sendiri, memikirkan kejadian hari ini yang sangat tidak masuk akal.

Dia tidak bersama Zalfa, karna tadi Zalfa ada urusan mendadak jadi ia harus pulang cepat.

Menunggu apapun kendaraan yang akan melintas di hadapannya, yang terasa lama. Namun disatu sisi ia juga menunggu kedatangan Aksa.

Ia harus menanyakan kejadian semua ini pada Aksa, maksud sikap Aksa dan maksud perubahannya.

Mora celangak-celinguk menunggunya, lama banget. Saat Mora menatap kanan ada motor yang berhenti tak jauh darinya.

Mora mempertajam penglihatannya, bener ini seseorang yang sedang ia tunggu. Dengan gerakan cepat Mora bangun dari duduknya dan berjalan ke orang itu.

"Ka Aksa," panggil Mora saat sudah di dekat Aksa.

Aksa diam, membeku di tempatnya.

"Ka, Mora mau bicara sama ka Aksa boleh?" tanya Mora pelan tapi ia yakin Aksa masih bisa mendengarnya.

Aksa masih diam, menatap Mora di balik kaca helm-nya. Tak ada satu pun gerakan darinya.

"Ka?" panggil Mora lembut.

"Kenapasih ka, kakak berubah. Mora ada salah ya?"

"Sory ya lama, tadi ada urusan dikit." ucap seseorang datang dan berdiri di belakang Mora.

Mora tahu dan sangat hapal dengan suara ini, Dilla. Pemilik suara itu.

Mora berbalik badan menatap Dilla, ia juga menatap Aksa yang telah membuka kaca helm-nya. Menatap Dilla lalu mengangguk.

Mora yang melihat itu tak habis pikir, Aksa kenapasih? tadi ia ajak ngomong berkali-kali tidak mau jawab giliran Dilla yang baru datang malah langsung merespon.

Mora yang melihat itu refleks terkekeh tak habis pikir, "O-okey..." Mora melangkah mundur mempersilahkan Dilla jika ingin pulang bareng Aksa.

Aksa menatap Mora, sedetik kemudian ia mengalihkan tatapannya.

"Cepet," ucap Aksa dingin.

Dilla menatap Mora lalu tersenyum kemenangan, menaiki motor Aksa dan berpegangan pada perut Aksa.

"Kita nanti jadi ke mall ya sa," ucap Dilla yang masih di dengar oleh Mora.

Aksa yang mendengar itu langsung tancap gas dengan kecepatan full. Meninggalkan Mora sendiri tanpa berkata apapun.

Mora menatap kepergian mereka berdua dengan tatapan yang sulit di artikan, hanya air mata yang bisa menjelaskan keadaanya sekarang.

Ka Aksa jahat banget, batinnya berteriak.

"Kalo emang gak suka kan gak gini juga caranya, enggak ngasih harapan, enggak ngasih perhatian, enggak bikin sakit hati juga."

Berbicara seolah Aksa mendengarkannya, memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Beginilah Mora jika ia merasa sakit dan tidak bisa dikeluarkan pasti dadanya yang akan merasa sakit.

Menghapus air matanya saat melihat taksi akan melintas di depannya. Melambaikan tangannya dan segera masuk kedalam taksi itu.

"Ke Rumah sakit medika ya pak." ucap Mora yang di jawab anggukan oleh supir itu.

AMORA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang